BERITA DUKA datang dari sebuah WAG (WhatsApp Group, red). Penyair Bali IDK Raka Kusuma meninggal dunia Sabtu, 5 Agustus 2023, pukul 20.10 Wita. Sejak meninggalkan Bali akhir 1989, baru tanggal 13 Mei 2023 lalu saya bisa bertemu kembali dengan Mas Raka (begitu saya memanggil Beliau kalau berhadapan langsung dengan orangnya, red), di rumahnya, di Karangasem. Itu pun tak lebih dari 15 menit. Karena kondisi sakit dan tidak bisa duduk lama, hanya bisa berbaring di tempat yang sudah dibuat khusus. Rupanya itu pertemuan terakhir kami. Berita pagi tadi (Minggu, 6 Agustus 2023, red) sungguh sangat mengejutkan. Selamat jalan, Mas Raka. Damailah di Alam Abadi.
Kata-kata itu adalah status Facebook penyair dari Banyuwangi, Gimien Artekjursi, terkait kabar duka berpulangnya sastrawan IDK Raka Kusuma.
Tak hanya Gimien, Raudal Tanjung Banua, sastrawan yang sekarang bermukim di Yogyakarta itu, juga menuliskan duka mendalamnya di Facebook. “… Pagi ini, saya membaca kabar bahwa Bang IDK Raka Kusuma yang lama sakit, yang saya doakan dalam paragraf pembuka esai itu [maksudnya esai Produktivitas di Suatu Masa: Nyoman Rasta Sindhu di Majalah Horison dan Sastra 1969], telah tiada… Duka cita kami yang sedalam2nya untuk keluarga yang ditinggalkan. Semoga lapang jalanmu, Bang.”
Selain Gimien Artekjursi dan Raudal Tanjung Banua, banyak sastrawan menulis status Facebook terkait berpulangnya sastrawan dari Bali timur itu. Belum lagi ucapan duka yang mengalir pada WAG atau WA-WA pribadi.
IDK Raka Kusuma memang sastrawan senior yang disegani dan dihormati rekan-rekan sesama sastrawan, baik yang muda maupun yang juga sama-sama senior.
Sahabat almarhum, I Gusti Made Sukawidana, tidak bisa berkata apa-apa atas kepergiannya. Made Sukawidana mengatakan sangat dekat dengan almarhum pada masa lalu. Menurut dia, Raka sangat bijak dan santun.
“Ketika suatu waktu saya berseteru dengan seorang sahabat di Gedung PWI, saat karya puisi saya dicap bergaya sama dengan puisi dua sahabat lain, almarhum menyebut kami Trio Payau. Kata almarhum, ibarat BTN, puisi kami bentuknya sama, tapi kalau masuk ke dalam, isinya berbeda,” ungkap GM Sukawidana, Minggu, 6 Agustus 2023 ditemui di Jatijagat Kehidupan Puisi, Jalan Tjokorda Agung Tresna, Denpasar.
Penyair sekaligus Redaktur Sastra Balipolitika, I Wayan “Jengki” Sunarta, juga mengungkapkan dukanya yang mendalam atas kepergian IDK Raka Kusuma.
Sama dengan GM Sukawidana, Jengki mengungkapkan penyesalannya karena tak sempat menjenguk almarhum saat sakit. “Saya sempat izin menjenguk ke Kecicang, Karangasem. Ini saya sesali. Beliau menghindar saat hendak dijenguk,” tuturnya, menyesal.
Perjalanan dalam Dunia Sastra
Dalam laman basabali.org, IDK Raka Kusuma memiliki nama asli Dewa Nyoman Raka Kusuma. Ia lahir di Getakan Klungkung, 21 November 1957 dan tutup usia pada Sabtu, 5 Agustus 2023, pukul 20.10 Wita.
IDK Raka Kusuma sudah memiliki kegemaran mengarang karya sastra sejak mengawali menjadi guru di sekolah dasar. Ia adalah salah satu pengarang senior sastra Bali modern.
Semasa hidupnya, Raka Kusuma menulis banyak karya sastra, baik berbahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Dalam bukunya Heterogenitas Sastra di Bali (2021), I Nyoman Darma Putra menyebut bahwa di Bali, yang memiliki kreativitas menulis dalam lebih dari satu bahasa selain IBW Widiasa Keninten, Ida Bagus Pawanasutha, I Putu Supartika dan A.A.A. Mas Rucitadewi, juga tampak pada IDK Raka Kusuma.
Penyair IDK Raka Kusuma awalnya menulis puisi, esai, dan prosa dalam bahasa Indonesia, namun belakangan menulis puisi, cerpen, prosa liris dalam bahasa Bali. Produktivitas Raka Kusuma juga tampak dalam kreativitasnya menerjemahkan puisi Indonesia ke dalam bahasa Bali.
Raka Kusuma memilih puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang termuat dalam antologi Hujan Bulan Juni dan Perahu Kertas untuk diterjemahkan dalam bahasa Bali dan dimuat dalam satu antologi yang diberikan judul Sunaran Bulan Tengah Lemeng (1999).
Bersama beberapa pengarang dari Karangasem, almarhum mendirikan Sanggar Buratwangi dan menjadi salah satu pengelola pada sanggar tersebut. Melalui media majalah Buratwangi, ia mendapat penghargaan Sastra Rancage tahun 2002 karena berjasa dalam pengembangan sastra Bali. Sedangkan lewat “Sang Lelana” (2010) dan “Bégal” (2012), Raka kusuma mendapatkan penghargaan Widya Petaka dari Gubernur Bali tahun 2012.
Dikutip dari dictionary.basabali.org, karangan-karangan almarhum yang berbahasa Bali dimuat pada Bali Orti (Bali Post), Mediaswari (Pos Bali), Bali Aga, Jurnal Kawi, Suara Saking Bali, serta Canang Sari.
Sedangkan karangan-karangan IDK Raka Kusuma yang berbahasa Indonesia dimuat di Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bakti, Warta Bali, Nafiri, Warta Hindu Dharma, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mimbar Indonesia, Suara Nusa, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Sinar Harapan, Berita Buana, Republika, Singgalang, Analisa, Cak, Kolong, Romansa, tatkala.co, basabasi.co, dan sejumlah media lainnya.
Dalam upaya mengarang sajak berbahasa Indonesia, almarhum belajar dari Umbu Landu Paranggi dan mengarang cerita dipelajari dari Putu Arya Tirtawirya.
Mengenai hal tersebut, penyair Jengki Sunarta menilai almarhum berangkat dari proses intim bersama Mahaguru Umbu Landu Paranggi. “Pak Raka adalah murid kesayangan Umbu. Umbu kalau ke Karangasem nginap di rumah Pak Raka. Semasa hidup, Pak Raka banyak memotivasi saya untuk tekun menulis puisi. Beliau sangat rajin memberikan informasi-informasi seputar sastra,” ujar Jengki.
Karangan-karangannya yang diterbitkan menjadi buku, di antaranya Kidung I Lontar Rograg (Prosa Liris Bahasa Bali, 1991, 2001), I Balar (2006), Ngambar Bulan (Cerita Pendek, 2006), Sang Lelana (Prosa Liris, 2010), Rasti (Novelet, 2010), Bégal (Cerita Pendek, 2012), Ngantih Bulan (Puisi, 2013), dan Batan Moning (Puisi, 2014).
Hingga akhir hayatnya, IDK Raka Kusuma menetap di BTN Kecicang Amlapura dan sehari-hari bekerja sebagai guru di SD Saraswati Amlapura hingga pensiun.
Keras Kepala Merawat Sastra
Dalam rubriknya “Sosok”, Harian Kompas pada Sabtu, 7 Maret 2020, menyebut Raka Kusuma sebagai sosok yang “keras kepala dalam merawat sastra”. Artikel yang ditulis Khaerul Anwar itu, menyampaikan bahwa “kecintaannya yang keras kepala kepada sastra Bali modern, membuat IDK Raka Kusuma (63) dicap pengkung alias bandel. Kebandelannya itu justru melahirkan karya-karya yang mumpuni. Ia bahkan menerbitkan majalah sastra Bali.”
Dikutip dari Balipolitika, Redaktur Sastra Balipolitika yang meraih penghargaan Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2021 lewat antologi puisi Jumantara, Wayan Jengki, menyebut almarhum Raka Kusuma sangat tekun mendokumentasikan karya sastra, khususnya yang ditulis sastrawan Bali di berbagai media massa nasional atau koran luar.
“Pak Raka kerap kirim kliping koran ke saya, khususnya yang memuat karya saya. Waktu Beliau sakit parah sekitar 2 tahun lalu, Beliau masih sangat berkontribusi susun buku Umbu Beliau memberikan data kliping-kliping soal Umbu dalam kondisi sakit,” ungkap Jengki.
Sosok Pak Raka, imbuh Jengki, termasuk seorang penyair dan sastrawan yang tekun, baik dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali. Di luar kesusasteraan, Raka Kusuma merupakan dokumentator yang tekun.
“Kadang saat kawan yang tidak punya dokumentasi, beliau punya arsipnya. Beliau menjadi ensiklopedia sastra di Bali; tempat kami bertanya tentang kepenyairan di masa lalu, khususnya saat basis kesusasteraan berupa media cetak. Saya banyak belajar dari karya Beliau yang bertema mistis dan magis,” katanya.
Dalam posisi IDK Raka Kusuma sebagai seorang dokumentator yang mumpuni, Jengki berharap keluarga almarhum “mengamankan” warisan almarhum berupa buku-buku dan arsip untuk publik yang lebih luas. Tak hanya keluarga, Jengki pun berharap Pemkab Karangasem maupun Pemprov Bali juga tergerak untuk “menyelamatkan” warisan IDK Raka Kusuma.
“Ketekunan almarhum sangat jarang dilakukan oleh penyair lain di Indonesia, khususnya Provinsi Bali. Harapan saya data dan arsip ini diselamatkan untuk publik yang lebih luas, misalnya dengan mendirikan rumah baca,” tutupnya.[T]
- Baca esai, cerpen dan puisi IDK Raka Kusuma DI SINI