“Mungkin kita kurang menyadari, bahwa setelah tahun 1945 (atau setelah tahun 1942) di tanah air kita tumbuh pula generasi yang kini telah menjadi manusia-manusia baru Indonesia. Mereka yang berumur 22-23-24 tahun (sampai 30 tahun).”—Soe Hok Gie, Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima.
MANUSIA BARU INDONESIA bagi Soe Hok Gie adalah mereka yang lahir setelah tahun ’45, bukan mereka (Pujangga Baru) yang takjub seperti kanak-kanak ketika melihat horizon baru dan kemudian bertengkar sesama mereka—apakah mereka mau ke Barat atau ke Timur?
Generasi baru itu juga bukan mereka para “pemuda bambu runcing” yang percaya bahwa dengan vitalitas dan semangat empat-lima, semua soal dapat diselesaikan. Tetapi, generasi baru itu ialah mereka yang dididik dalam optimisme-optimisme setelah penyerahan kedaulatan, mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan-harapan besar tentang “kejayaan Indonesia di masa depan”. Mereka juga yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” dari periode Sukarno.
Tetapi generasi ini juga yang mengalami kehancuran daripada cita-cita itu. Pendidikan yang merosot dengan cepat, kehancuran struktur politik, kebangkrutan ekonomi dan demoralisasi masyarakat dalam segala bidang. Semua ini membekas dalam dada mereka masing-masing, dan akan mewarnai Indonesia selama dua-tiga puluh tahun yang akan datang. Dan ya, mereka inilah yang kemudian menjadi antek-antek Orde Baru—beberapa masih hidup sampai sekarang.
Sejak Indonesia mengalami hyperinflasi pada 1967, saat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita hanya senilai $53; saat negara ini begitu melarat dan menjadi negara paling miskin di Asia; saat itulah, MPRS mencabut mandat Sukarno (Orde Lama) sebagai presiden dan menunjuk Soeharto (Orde Baru) sebagai pejabat presiden.
Pada tahun setelah goro-goro G30S-PKI itu, menurut data yang dirilis oleh World Bank, pada 1967 Indonesia berada di peringkat ke-3 sebagai negara termiskin di dunia (peringkat 1 di Asia), tepat satu tingkat di bawah Mali dan sejajar dengan negara-negara Afrika. Kita lebih miskin dari India, Vietnam, bahkan negeri konflik macam Afghanistan. Gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan membuat rezim Orde Lama dipaksa mundur dan diganti dengan rezim Orde Baru.
Dan pada Juli 1997, setahun setelah saya dilahirkan, krisis keuangan melanda hampir seluruh Asia Timur. Hal ini mengakibatkan negara-negara ASEAN mengalami kekacauan dan kepanikan, termasuk Indonesia.
Nilai rupiah anjlok terhadap dolar Amerika yang berfluktuasi Rp. 12.000 – Rp. 18.000 dari Rp 2.200 pada awal tahun. Pada 1998 pertumbuhan ekonomi RI terkoreksi -13,1%. PDB per kapita ikut terjun ke angka $572, nominal tersebut seolah membawa perekonomian RI kembali ke tahun 1980 ($673) atau mundur hingga 18 tahun.
Di tengah situasi yang genting itu, pemerintah Orde Baru justru menaikkan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Ekonomi rakyat semakin terpuruk. Soeharto menyiasati situasi rawan pangan dengan kampanye makan tiwul—yang disampaikannya melalui televisi. Kekacauan di mana-mana. Hingga 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya—“Ora dadi presiden ora pateken,” kata Soeharto. Sejak saat itulah, B.J. Habibie—yang notabene sebagai Wakil Presiden Soeharto—kemudian mengambil alih kursi kepresidenan.
Setelah 1998 (runtuhnya Orde Baru), Indonesia memulai masa yang baru; masa reformasi; masa kebebasan demokrasi yang didamba-dambakan setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto—yang otoriter dan menyeramkan. Masa kami (anak-anak reformasi) tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia baru Indonesia—manusia harapan masa depan Indonesia.
Tumbuh-berkembang dan manusia yang diharapkan
Berbeda dengan generasi yang lahir setelah tahun ’45 yang tumbuh dan berkembang oleh semangat “progresif revolusioner” dari periode Sukarno (Orde Lama) dan kemudian menciptakan periode baru bernama Orde Baru dengan segala peristiwanya, kami tumbuh dan berkembang di era teknologi digital dengan sebebas-bebasnya. Oleh karena itulah kami dijuluki Generasi Milenial (mereka yang lahir -1996) dan Generasi Z (mereka yang lahir 1997-2012).
Jika generasi yang lahir setelah ‘45 tumbuh dan berkembang bersama pendidikan yang merosot dengan cepat, kehancuran struktur politik, kebangkrutan ekonomi dan demoralisasi masyarakat dalam segala bidang, kami yang lahir setelah 1998 (atau dua tahun sebelumnya) tumbuh dan berkembang lebih daripada itu.
Kami tumbuh dan berkembang bersama digdayanya imperialisme kultural Barat, perusakan lingkungan, disparitas kemakmuran, dehumanisme, lunturnya ideologi dan identias bangsa, ketimpangan pembangunan teknologi dan ilmu pengetahuan, ledakan penduduk, polarisasi, kekakuan sistem negara-negara, ancaman perang nuklir, terorisme, apatisme, korupsi, tumpulnya hukum ketika berhadapan dengan kelompok “elit”, sempitnya dalam berpikir, lunturnya keyakinan terhadap agama, taklid buta, klaim kebenaran, pornografi, dan media sosial yang memberikan panggung bebas kepada siapa pun—panggung bebas itu mempersilakan kami untuk merayakan apa saja; dan mempertaruhkan jati diri tanpa tedeng aling-aling.
Tidak hanya itu, kami juga tumbuh dan berkembang bersama tergusurnya para ahli (kepakaran) dan problematika kebenaran (truth claim dan salvation claim). Kami tumbuh dan berkembang nyaris tanpa sosok teladan.
Dan ya, seperti ungkapan klise tentang generasi masa depan, kami, generasi reformasi, generasi baru, manusia-manusia baru Indonesia, juga digadang-gadang akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia di masa depan.
Kami diharapkan meneruskan spirit perjuangan para pendahulu di tengah-tengah problematika yang semakin kompleks. Katanya, kami punya saham politik yang besar di negeri ini. Ya, secara jumlah, kami hampir setengah populasi. Oleh karena itu, katanya, kami punya kewajiban besar untuk menggalang proyek bersama agar bangsa ini semakin hebat dan gemilang di masa depan (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Tapi, untuk mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tentu tak semudah memecahkan telur dan mendadarnya. Banyak hal harus dirubah; banyak hal harus dipersiapkan; dan banyak hal yang harus perjuangkan.
Sulit rasanya melakukan perubahan di tengah problem kebangsaan yang seambrek tanpa didukung kualitas manusia, infrastruktur, modal-material, dan dukungan moral para tokoh terdahulu—yang peduli akan kemajuan Indonesia.
Apalagi masyarat Indonesia masih banyak yang memelihara pikiran feodal warisan penjajah seperti yang dikatakan Sjahrir dalam Perjoeangan Kita (sebuah pamflet yang ditulis pada akhir Oktober 1945), “…meskipun kita telah berpuluh tahun berada di dalam lalu-lintas dunia modern, meskipun masyarakat negeri kita telah sangat dirubah dan dipengaruhi olehnya, akan tetapi di seluruh kehidupan rakyat kita terutama di desa, alam kehidupan serta pikiran orang masih feodal”.
Bukan hanya soal mental feodal yang masih bersarang dalam kepala orang Indonesia, lebih daripada itu, secara keseluruhan, kualitas manusia Indonesia memang harus segera di-upgrade.
Kemajuan suatu bangsa tidak lagi (hanya) ditentukan oleh penguasaan sumber daya alam berlimpah. Banyak negara membuktikannya. Korea Selatan, misalnya. Negara tersebut dikenal sebagai negara yang sangat miskin sumber daya alam. Tapi, pada 2021, pendapatan per kapita negara ini mencapa 34.998 dollar AS, yang berarti meningkat 20 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1980 yang hanya 1.715 dollar AS. Singapura juga demikian. Negara ini, di samping ukurannya kecil, juga miskin sumber daya alam. Namun, pada 2021, pendapatan per kapitanya sudah mencapai 72.794 dollar AS dan menjadikan Singapura sebagai salah satu negara termaju di dunia.
Artinya apa, kemajuan Korea Selatan, dan tentu negara maju lain, tidak lepas dari peran kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memiliki pengetahuan dan menguasai teknologi. Sebab, pengetahuan dan keahlian tidak dipunyai oleh sumber daya alam. Pengetahuan dan keahlian hanya (dapat) dimiliki oleh manusia. Lantas, bagaimana cara meng-upgrade manusia-manusia baru Indonesia ini supaya dapat berkontribusi dalam kemajuan bangsa dan benar kelahiran mereka memang diharapkan?
Dalam dokumen Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 tahapan pembangunan modal manusia meliputi pemenuhan pelayanan dasar, percepatan pembangunan SDM berkualitas dan inklusif, penguatan daya saing SDM, dan perwujudan manusia Indonesia yang unggul. Mengenai hal-hal besar semacam ini dan saya sulit untuk menjelaskan, lebih baik Anda baca sendiri.
Dan jika dalam Perjoeangan Kita Sjahrir berpendapat bahwa generasi yang pantas memimpin Indonesia setelah Revolusi ‘45 adalah mereka yang bersih dari noda-noda fasis Belanda dan Jepang, maka, menurut saya, pemimpin Indonesia di masa depan adalah generasi yang harus bersih dari didikan “penjajah” bernama Orde Baru.
Generasi-genari baru inilah yang bertugas untuk memberantas generasi tua (Orde Baru) yang mengacau—yang dalam bahasanya Gie, “Menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua”.
Benar, mereka memang pejuang-pejuang reformasi yang gigih. Tapi kini mereka telah mengkhianati apa yang mereka perjuangkan—sekali lagi, meminjam bahasa Gie, “mereka generasi tua yang harus ditembak di Lapangan Banteng”.
Karena generasi baru ini menjadi harapan masa depan, maka jangan sampai generasi baru ini malah menjadi seperti apa yang dikatakan oleh Ahmad Wahib dalam catatan hariannya: “… kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan… Kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah untuk membela beleidnya atau sebagai solidarity marker… Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya dengan argumentasi intelektual”.
Atau “… apakah setelah lepas dari penindasan lama, kaum intelektual Indonesia tidak terjerat dalam bentuk-bentuk penindasan baru yang halus; dan apakah semuanya perlu meninggalkan profesinya sebagai profesional rebels?”
Maka “karena itu kita kaum intelektual perlu membina suatu moral movement yang radikal dinamis dan puritan di kalangan intelektual bebas (seniman, mahasiswa, dosen, para ahli yang mempunyai sasaran kontrol, pemerintah (sic), di samping kekuatan-kekuatan masayarakat sendiri).”
Dan juga jangan sampai menjadi seperti apa yang dikatakan Gie tentang generasi kemerdekaan: “Dengan beberapa kecuali, generasi kemerdekaan ini adalah generasi yang tidak siap untuk mengambil alih tanggungjawab kemasyarakatan. Guru-guru yang tidak cukup terdidik, sarjana-sarjana yang pengetahuannya sepotong-sepotong atau polisi yang tidak tahu tugasnya sebagai penegak hukum. Pada akhirnya mereka akan berpaling lagi pada segelintir yang punya kemampuan dalam bidangnya dan pola masyarakat yang separuh terdidik dengan trials and errors-nya masih akan berlangsung terus.”
Manusia Intelektual Modern
Generasi baru, manusia-manusia baru harus menjadi “Manusia Intelektual Modern”—manusia yang berkeyakinan atas Tuhan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan (memanusiakan manusia), sadar keberlangsungan lingkungan hidup, berbudaya, berkesenian, bersarta, bersatu, berdemokrasi, berkeadilan sosial, berdaulat atas pangan, dan juga terus berinovasi di bidang IPTEK.
Sedangkan untuk ukuran “manusia modern” itu sendiri, dalam esai Mahbub Djunaidi yang bertajuk Modern (1991), seorang guru besar sosiologi Universitas Harvard, Alex Inkeles merumuskan “9 macam potongan orang modern”. Pertama, mempunyai sifat terbuka terhadap perubahan-perubahan. Kedua, mampu mempunyai opini terhadap masalah-masalah yang timbul di luar lingkungannya.
Ketiga, orientasinya tidak ke masa lampau melainkan ke masa sekarang dan masa depan. Keempat, menganggap planning dan organisasi merupakan cara menjalankan kehidupan ini. Kelima, punya keyakinan bisa mempengaruhi, bukannya dipengaruhi oleh lingkungan sekelilingnya.
Keenam, mempunyai kepercayaan dalam diri—yang bisa diperhitungkan dan bukannya ditentukan oleh tingkah laku orang per orang ataupun nasib-nasiban. Ketujuh, orang yang menghargai dirinya dan nilai orang lain. Kedelapan, punya keyakinan akan faedah ilmu pengetahuan dan teknologi, bukannya ramalan dan angan-angan. Sembilan, punya kepercayaan terhadap apa yang disebut distributive justice.
Di samping rumusan sosiolog Harvard, ada pula rumusan lain yang disebut “generasi jaguar”. LB Moerdani menyebut 6 rumusan yang menjadi syaratnya: Pertama, punya jiwa jantan, tidak suka keroyokan. Kedua, aktif, kreatif, baik bagi diri sendiri maupun pendorong teman-temannya, cepat dan cermat mengambil keputusan. Ketiga, gembira dan tidak cengeng dan optimis. Kata Mahbub, “mereka yang senantiasa berdiri di belakang punggung orangtuanya tidak akan tergolong barisan ini.”
Keempat, unggul, pandai dan berwawasan luas. Kelima, akrab dengan lingkungan, senantiasa menghormati orang lain tanpa membeda-bedakan kedudukan sosialnya. Keenam, radikal, berakar, tidak congkak dan mentang-mentang. Mengutip Mahbub lagi, mereka yang punya potongan generasi si Emon dan si Boy, yang dibesarkan oleh fasilitas orang tuanya hanya akan melahirkan generasi acuh tak acuh, akan dengan sendirinya tersingkir oleh seleksi dan persaingan terbuka.
Boleh jadi, rumusan Alex Inkeles dan “generasi jaguar” ini jika digabungkan jadi satu akan membuahkan generasi penerus yang demokratis, berpribadi, berkiblat pada kebenaran ilmu, bukan kebenaran politik. Generasi yang tidak hanya mengenal bangsanya, tapi juga mengenal agamanya (kata Gandhi, “dengan menyebut agama, yang saya maksudkan bukan secara formal, atau secara adat, melainkan sesuatu yang mendasari semua agama, yang akan membawa kita bertemu muka dengan Sang Pencipta”) dan kenal jalur ilmunya. Dan, sebisa mungkin, harus bisa berjalan di tiga jalur ini secara bersamaan.[T]