NGERI NGERI SEDAP (NNS) yang diproduksi Imajinari berkolaborasi dengan Visionari Film Fund tahun 2022 dan disutradarai Bene Dion Rajagukguk adalah sebuah film Indonesia yang menggugah. Dia adalah karya yang humanis, jujur, mindful, dan provokatif secara bersamaan.
Dalam 64 hari penayangan film ini berhasil mengumpulkan hampir 3 juta penonton. Amazing! Respons penontonpun positif. Kehadiran NNS bagaikan titik terang bangkitnya film Indonesia setidaknya dalam konteks film yang mengusung budaya lokal kental.
Film ini tak hanya menawarkan kebaruan perspektif, namun juga menawarkan optimisme pada kualitas film Indonesia masa depan. Sebagai karya yang humanis kita dapat melihat bahwa isu yang ditawarkan dalam film ini adalah isu manusia dalam konteks yang paling esensial dan eksistensial.
The essence of being menjadi sebuah premis dalam film ini, soal siapa diri kita sebagai manusia. Isu esensial bisa dilihat dari sejauh mana manusia melihat dirinya sebagai subjek dari kehidupannya dan kebahagiaannya sendiri.
Sedangkan isu eksistensial dapat dilihat dari premis kedua dalam film ini, the existence of being yang ditunjukkan dengan pencarian identitas masing-masing karakter untuk meraih tujuan mereka sendiri dengan mandiri. Isu essence dan existence ini adalah isu sentral yang dihadapi semua manusia. Makna menjadi manusia dan tujuan menjadi manusia.
Beberapa adegan dalam film NNS / Foto: Dok. @ngeringerisedapmovie
Dalam bingkai dua premis itu, penulis naskah sekaligus sutradara Bene Dion Rajagukguk dengan cerdas dan cemerlang menyajikan karya ini sebagai sebuah art piece yang mengharukan, menyentuh, dan menggugah.
Yang disentuh Bene adalah relevansi film ini dengan keseharian kita yang sangat kompleks. Persoalan keluarga khususnya menjadi isu sentral yang menggerakkan alur cerita. Siapapun yang memiliki keluarga dengan konteks masing-masing akan terhubung dengan film ini. Ia membangun sesuatu yang dekat dengan audiens, yang mampu menyihir, yang mampu menyindir, sekaligus memaksa berpikir.
Film adalah sebuah bahasa gambar yang mewakili realitas. Realitas mengalami redefinisi dalam film karena dia menjadi realitas baru yang telah melalui serangkaian proses produksi. Bagaimana Bene Dion sebagai penulis naskah sekaligus sutradara menerjemahkan bahasa verbal menjadi bahasa visual? Bagaimana perspektif filsafat melihat bahasa visual?
Dalam pengantarnya untuk buku “Tractatus Logico Philosophicus” karya Wittgenstein (1922) Bertrand Russel mengatakan bahwa ada beberapa persoalan bahasa di mana kata-kata tidak dapat begitu saja mewakili fakta atau realita.
Menurut Russel, Wittgenstein ingin mengajukan sebuah tesis fundamental bahwa harus ada kesamaan antara struktur bahasa dan struktur fakta. Filosofi bekerja jika realita dapat diamati. Karena objeknya adalah klarifikasi logika.
Menurut Wittgenstein gambar adalah representasi realitas atau struktur fakta, karena hanya dengan demikian ia dapat diamati dengan logika. Dalil ketiga dalam tractatus adalah “a logical picture of fact is the thought”. Dalam konteks film, bahan bakar dalam film adalah pikiran sutradara yang diterjemahkan dalam gambar yang logis. Sedangkan dalil keempat adalah “a thought is a proposition with a sense”. Bahwa pikiran disusun dari sebuah gagasan dengan logika.
Jadi alur pikir sutradara Bene Dion dapat diamati dengan jelas lewat bahasa visualnya. Dalam konteks film NNS, logika gambar ini sangat kuat. Bahkan sangat mindful dan meaningful. Kita disuguhi fakta visual Danau Toba yang indah dan menawan, juga alam yang mendukungnya, langit yang cantik, bukit yang permai, dan seterusnya.
Ia memanjakan logika dan rasa dalam diri kita. Lalu bahasa mengalir hadir, tidak hanya melalui visual namun melalui bahasa dialog dengan aksen Batak yang kental, dengan budaya yang filosofis, dan juga membangun kebaruan. Setting rumah keluarga yang sederhana, akrab, dan hangat juga menjadi sebuah realitas visual yang kuat.
Di sinilah kekuatan lain hadir. Mindfulness. Mindfulness adalah sebuah gagasan yang dimunculkan oleh Ellen J Langer, seorang pakar psikologi yang menawarkan konsep ketenangan dan kedamaian sebagai benih evolusi budaya. Menurut Langer (1989) mindfulness dapat dicermati dari empat indikator mindfulness yaitu mencermati kebaruan, menemukan konteks, menjadi fleksibel, dan membuat sebuah kategori baru.
Dalam indikator kebaruan, film NNS memberikan kebaruan yaitu mengangkat isu humanisme dengan narrative yang baru, di mana sebuah budaya patriarkis dikritisi dengan cerdas dan menggunakan pendekatan yang baru yaitu pendekatan kultural Batak. Dalam film ini kita akan menyadari bahwa secara mindful film ini menyajikan kondisi budaya Batak dengan dominasi laki-laki yang kuat seperti tergambar dalam karakter Pak Domu yang keras kepala.
Ia selalu mendominasi keputusan keluarga, khususnya mengendalikan kehendak istrinya dan anak-anaknya. Yang konyol, dia memiliki ide pura-pura bercerai dengan istrinya agar anak-anaknya yang jauh merantau mau pulang dan mendamaikan.
Nahasnya, kebohongan tercipta hanya untuk menciptakan kebohongan baru, dan perlahan kondisi makin runyam. Kendali Pak Domu makin kuat dan makin tak masuk akal sehingga Mak Domu merasa lelah dan iapun membongkar semua kebohongan Pak Domu.
Beberapa adegan dalam film NNS / Foto: Dok. @ngeringerisedapmovie
Kebaruan lain dalam film ini kemudian terletak pada bagaimana kendali itu perlahan memudar dan goyah seiring dengan perlawanan Mak Domu (istri Pak Domu) yang mengatakan cukup lelah dengan semua tekanan yang terjadi dan memilih menentukan sikap untuk berpisah dari Pak Domu dan kembali ke rumah ibunya.
Perlawanan Mak Domu adalah pendobrakan terhadap dominasi patriarki sebagai kebaruan dalam konteks budaya patriarki. Hal ini diikuti oleh kepergian semua anaknya yang merasa telah dibohongi dan dikendalikan dengan tak masuk akal. Keharuan hadir ketika adegan Pak Domu kesepian dan merenungi rumahnya seorang diri, makan sendiri di meja makan, dan tampak bersedih.
Indikator kedua dalam mindfulness adalah berakar pada konteks. Konteks yang terjadi dalam film ini adalah sebuah konteks budaya di mana budaya Batak digambarkan dengan kuat dan indah, di mana ada dominasi patriarki dan dengan natural dikritisi oleh film ini melalui karakter Mak Domu dan anak-anaknya yang mendobrak dominasi Pak Domu dan memberinya pelajaran.
Karakter Pak Domu yang egois dan keras kepala menjadi memudar dan sadar pada dirinya bahwa ia masih membutuhkan keluarga. Bahwa essence of being-nya adalah menjadi seorang ayah. Dan the existence of being-nya adalah menjadi ayah yang baik dan mampu diterima anak-anaknya.
Indikator ketiga dalam mindfulness adalah fleksibilitas. Fleksibilitas dalam film ini digambarkan dengan karakter Pak Domu yang akhirnya mau menerima perubahan dan mau mengakui kesalahannya.
Ia mengakui bahwa ia terlalu mendominasi dan mengakui kesalahannya. Ia meminta maaf dengan tulus kepada anak-anaknya dan Mak Domu, memahami kondisi yang menyebabkan anak-anaknya dan istrinya memberontak kepadanya. Fleksibilitas ini adalah sebuah ciri mindfulness yaitu dapat berubah menyesuaikan dengan kondisi.
Indikator keempat dalam mindfulness adalah creating new category atau membuat kategori baru di mana film ini menyajikan sebuah realitas baru di mana isu humanisme tentang essence of being dan the existence of being dapat disajikan dengan kesegaran budaya Batak yang kental namun dibungkus dengan kritik yang membangun. Sebuah narrative baru lahir di mana dominasi patriarki dapat dikritisi dengan perspektif baru dan bahwa perubahan dapat terjadi jika diusahakan bersama-sama.
Adegan happy ending menutup film ini, di mana Pak Domu sekeluarga makan bersama dan bahagia. Simbol adegan ini adalah lahirnya harapan baru, kebahagiaan baru, dan kesempatan baru.[T]
Daftar pustaka:
- Langer, E. J. (1989). Mindfulness. Merloyd Lawer. http://www.perseusbooksgroup.com
- Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico philosophicus. Harcourt, Brace and Company, Inc.