AKU TAHU mahkota itu, aku melihatnya. Sebuah mahkota Wijaya Kusuma, putih terang dibingkai kuning emas berkilauan, mahkota kemenangan cinta kasih. Sebagai ibu aku ingin segera menyematkannya di atas kepalamu
Tapi kau berkelit, selalu punya alasan untuk berkelit.
“Hidup ini maya, aku tak ingin menjadi raja, Ibu.”
Kata-kata lirihmu memantul pada daun-daun pinus yang berwarna ungu diterpa matahari sore di puncak gunung tertinggi itu. Tapi aku nendengarnya seperi lagu rock and roll yang menyentak berontak.
Ahhh aku lupa, tentu yang kau impikan bukan tangan ibumu yang tua, letih gemetar ini yang menyematkannya. Aku benar-benar lupa yang saat ini menyeruak keluar tak terbendung dari tubuhnya adalah sosok Karna, tokoh dalam Mahabartha yang merindukan Drupadi, perempuan suci yang terlahir dari api persembahan. Yang karena takdir tak kuasa kau miliki.
“Takdir, takdir… .. “
Suara itu bertalu-talu dalam telinganya dari jaman ke jaman, dari yuga ke yuga, dari kelahiran demi kelahiran. Kini ia telah terima takdirnya untuk terlahir kembali demi berbakti pada Ibu Kunti yang bahkan telah membuangnya, untuk menutupi aib.
Saat hawa panas itu menaruh kakinya, menyedotnya dan menghempaskan ke dunia fana ini, ia bahkan tak sempat membuka mata dalam kekusyukan tapanya.
“Ibu masih saja lugu, bodoh dan keras kepala sehingga mudah ditipu para Dewa dengan dalih menyelamatkan dunia. Seperti ayahku dulu menitipiku padamu, hanya untuk menambah peran antagonis yang mengundang rasa iba dalam kisah besar keluarga bharata,” gumamnya dalam diam.
Karena takdir bermasa-masa ia telah belajar dan berhasil melewati kata-kata kutukan yang kasar, juga sesalnya pada ibu bapanya. Ketulusan cintanya yang besar pada penerimaan takdir juga cintanya pada Drupadi telah membebaskannya. Menghadiahkannya mahkota WIjaya Kusuma bunga kemenangan cinta
Dalam diri lelaki gagah itu ada Karna, putra tertua Pandawa, sakti mandraguna terdepan dalam memanah, tak ada satupun sasaran yang meleset dari bidikannya. Hanya Drupadi, hati wanita itu luput, selalu luput dari sasaran panahnya. Tidak saat raja Pancala mencarikan suami bagi putrinya Drupadi. Saat itu Karna yakin menang, sorot mata Drupadi juga menggungkapkan cinta yang dalam dan tulus.
“Bukankah mata wanita sulit menipu?”
Drupadi wanita suci itu telah jatuh cinta, Karna yakin itu. Tapi Karna kecewa, sangat kecewa, nyaris dendam karena mata Drupadi tunduk pada status Karna yang dianggap bukan ksatria, dan tak berhak mengikuti sayembara. Harga diri Karna terhempas, ia merasa dipermalukan. Itu pertama kalinya putra Dewa Surya ini menelan kecewa. Sebagai ksatria tanpa tanding Karna berjanji pada dirinya untuk mendapatkan Drupadi, melalui kelahiran demi kelahiran, yuga demi yuga, dalam tapa brata dan pengekangan diri yang keras dan berat.
Kini Drupadi adalah takdirnya. Setelah kelahiran terakhir sebagai Bung Karno, Putra Fajar yang diberikan hak memimpin kerajaan Astina yang baru, nusantara, semesta telah mempermainkannya, menyembunyikan Drupadi dalam lipatan waktu.
Karna nyaris tak percaya pada karma dan kebenaran dharma, karena perjuangan cintanya yang tulus di abad 8 tak mempertemukannya dengan Drupadi yang ada dalam diri Loro Longgrang.
Karma benar-benar marah, karena ayahnya Dewa Surya justru bersekutu dengan wanita yang dicintainya, untuk menggagalkannya mendapatkan Drupadi. Kemarahan yang besar telah membakar kecintaannya itu menjadi batu. Saat itu Karna yang ada dalam raga Bandung Bondowoso, benar-benar dalam puncak kemarahannya. Sehingga Dewa Surya menghiburnya memberikannya kerajaan demi kerajaan yang tak ia minati.
Kini sungguh Karna juga sudah tak peduli,, dengan kerajaan maupun Drupadi.
Saat bayangan perempuan cantik itu muncul dengan mahkota wijaya kusuma di tangan, Karna tak juga membuka matanya ia masih sibuk dengan lontar-lontarnya dan merakit kisahnya dalam arca -arca peninggalan arkeologi.
Di pura itu, Karna terpana, nyaris tak percaya, mahkota itu disematkan oleh ibunya, bukan Drupadi seperti yang dijanjikan.
“Ibuku adalah Kunti bukan Drupadi, kecintaanku adalah Drupadi bukan Kunti.” Kecerdasan Karna tak mampu menembus teka-teki itu. Karna sedikit merasa lucu, saat ibunya nengerling genit.
“Ingat ibu sudah tua, ingat umur,” ejek Karna yang membuat ibunya keki.
“Ibu masih saja bodoh, lugu dan kepala batu, tugas anak hanya mengungatkan, diterima tidaknya terserah yang diingatkan, ” tandas Karna
“Bukannya kamu yang mengutukku jadi batu dan kepala batu?” Ibunya terkekeh.
Mata Karna mengerjap ngerjap. Mahkota wijaya kusuma itu berpendar-pendar.
Sungguh ia ingin Drupadi, wanita muda dan cantik itu, yang menyematkannya dengan penuh rasa cinta.
Sialan. [T]