CINTA HENDAKNYA dirawat dan hidup mesti dirayakan dengan cara yang diinginkan, salah satunya dengan bermain kata dalam sebuah sajak cinta.
Bulan Mei seakan membawa semarak cinta, khususnya pada Minggu, 21 Mei 2023, malam. Sedari pukul 18.00 wita, banyak orang sudah memenuhi kursi-kursi kosong di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jl. Pantai Indah III, No. 46, Singaraja, untuk merayakan cinta dan kehidupan
“Hari ini acara yang sangat spesial”, barangkali kata-kata tersebut terpatri dalam benak semua orang yang hadir—bahkan beberapa dari mereka memboyong serta keluarganya.
Tepat pada hari Minggu ketiga bulan Juni—yang menjadi akhir sesi III Tatkala May May May 2023—diadakan pembacaan puisi oleh sepasang suami istri yang mengabdikan hidupnya pada sastra dan memaknai cinta dengan sebait kata dalam sajak sebuah puisi.
Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti saat membaca puisi / Foto: Dok. Tatkala.co
Semua orang menanti-nantikan momen langka tersebut, suasana hiruk-pikuk melukis kebahagian pada setiap wajah pengunjung; bercengkrama dengan kawan lama membahas sastra, kehidupan, bahkan kegelisahan dunia.
Ketika jam menunjukan pukul 18.50an, bunyi setapak kaki dari lantai dua mengalihkan fokus semua orang.
Terlihat seorang wanita cantik dengan dress hitam yang membalut tubuhnya, dan make-up tipis yang menyapu wajahnya, tersenyum menyambut para penonton. Di sampingnya, berdiri seorang laki-laki yang juga mengenakan kemeja hitam, terlihat rapi dan cukup formal.
Pasangan tersebut berbaur dengan pengunjung dan bersenda gurau, hingga sambutan MC yang menandakan bahwa acara akan segera dimulai.
Membacakan empat puisi
Kadek Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Ole berdiri menghadap penonton, di tangannya masing-masing terselip beberapa potong kertas yang berisi bait-bait puisi kehidupan mereka, buah karya sastrawan-sastrawan besar dunia.
Pasangan suami-istri itu membacakan puisi pertama yang bertajuk Titik Mula Puisi karya dari Octavio Paz—seorang penulis, penyair dan diplomat dari Meksiko. Ia mendapatkan Penghargaan Internasional Neustadt Kesusastraan pada tahun 1982 dan Penghargaan Nobel Kesusastraan pada tahun 1990—diterjemahkan oleh Frans Nadjira, seniman sekaligus sastrawan Indonesia.
Barangkali puisi Titik Mulai Puisi sangat diskuai oleh pasangan tersebut, bahkan sebelumnya, di tahun 2020, Kadek Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Ole juga pernah membacakan puisi tersebut, yang diunggah pada akun Facebook So Literacy.
“ini puisi kesukaan kami, puisi ini mempertemukan dan menjalin cinta kami. Dulu saya belajar menulis puisi dari Ole (suami saya),” ujar Sonia Piscayanti, sebelum memulai membacakan puisi.
Kala bait-bait puisi mulai dibacakan oleh pasangan tersebut, semua orang bungkam, suasana hening dan seluruh indra penonton hanya berfokus pada satu titik: sepasang suami istri yang menghayati setiap bait sajak puisi tersebut.
Barangkali, Titik Mula Puisi menyampaikan pesan yang sangat dalam, yang menyatakan bahwa: di mana puisi ada, maka cinta akan terwujud.
Lembar demi lembar halaman digulir, hingga sampai pada puisi kedua yang bertajuk Soneta Cinta XVII—terjemahan dari One Hundred Love Soneta: XVII—karya Pablo Neruda (sastrawan Chili yang memiliki nama asli Ricardo Eliecer Neftalí Reyes Basoalto).
Neruda dikenal dengan sebutan penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun dan dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada tahun 1971. Puisi Soneta Cinta diterjemahkan oleh Mark Eisner dari The Essential Neruda.
Berlanjut ke puisi yang ketiga, kali ini karya dari Made Adnyana Ole—Pimred Tatkala.co sastrawan, sekaligus kekasih Sonia Piscayanti—yang bertajuk Berkebun Dalam Rumah.
Puisi tersebut dibacakan dengan menggebu, binar mata pasangan tersebut terasa sangat hangat, dan tentu saja, penonton bisa merasakan jiwa dari puisi yang dibacakan tersebut.
Dari puisi tersebut bisa tergambar bagaimana kehidupan berumah tangga yang sesungguhnya, dari bait-bait sajak tersebut tercecap pedas, manis, asin, pahit dan kecutnya hidup berumah tangga. Bagaimana memadamkan ego, merawat luka, dan saling menjaga.
Setelah puisi ketiga usai dibacakan, terjadi jeda sejenak. “Puisi selanjutnya akan kami bacakan setelah sedikit jeda, karena puisi terakhir membutuhkan energi yang sangat besar,” terang Sonia Piscayanti.
Selama jeda, di selingi dengan penampilan musikalisasi puisi karya Made Adnyana Ole yang telah terbit dalam buku kumpulan puisi Dongeng Dari Utara (2014), yaitu puisi bertajuk Interior Danau dan Dewi Padi, yang dibawakan oleh Wah Surya dan Mila Romana, dari Komunitas Mahima.
Wah Surya dan Mila Romana saat mementaskan musikalisasi Interior Danau dan Dewi Padi / Foto: Dok. Tatkala.co
Seusai musikalisasi puisi tersebut, Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Ole menyambung kembali penampilan yang sempat terjeda, dengan membawakan puisi Rick Dari Corona karya W.S. Rendra—penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater berkebangsaan Indonesia, yang telah mendirikan bengkel teater di Yogyakarta pada tahun 1967.
Diawali dengan pembacaan judul hingga bait demi bait puisi, semua fokus penonton terkunci pada pasangan maniak sastra tersebut (Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti).
Sesekali penonton menahan napas, kala sajak-sajak puisi tersebut dibacakan dengan menggebu dan nada suara yang sangat tinggi. Bahkan sesekali tenaga pasangan tersebut terlihat terkuras, namun tak mengurangi sedikitpun jiwa dari puisi yang dibacakan.
Ketika puisi tersebut telah mencapai bagian akhir, riuh tepuk tangan, cuitan-cuitan haru dan terkesima dari para penonton, membuat malam menjadi semakin semarak. “Begini kalo ahlinya sudah turun tangan langsung,” cuitan dari salah satu penonton.
Barangkali yang dimaksud oleh penonton tersebut yaitu seperti ini penampilan dari ahli puisi ketika membawakan sebuah sajak-sajak puisi. Menghidupkan jiwa yang terkungkung dari beberapa kata yang tertaut menjadi sebuah sajak.
Puisi favorit
Sonia Piscayanti mengaku, bahwa puisi-puisi yang bacakan adalah puisi-puisi favorit mereka—dia dan Made Adnyana Ole. “Bahkan pembacaannya pun kami susun sedemikian rupa, dari puisi apa yang kami gunakan sebagai pembukan hingga penutup,” ujarnya.
Menurut Sonia, puisi Rick Dari Corona karya W.S. Rendra, menjadi puisi yang relate dengan suaminya—menurtnya Rick seperti Ole. “Padahal, puisi ini tercipta dari kegelisahan Rendra terhadap kehidupan dunia malam di Amerika,” papar Sonia Piscayanti dengan tersenyum hangat kepada para penonton.
Made Adnyana Ole, Kadek Sonia Piscayanti, dan Yahya Umar (moderator) saat sesi diskusi / Foto: Dok. Tatkala.co
Sementara itu, Ole mengaku bahwa dalam hal membaca puisi, dirinya tak sebagus seperti menulis puisi. “Saya tidak terlalu bagus dalam membaca puisi dan saya membacakan puisi karya orang lain, supaya kalian (penonton) tahu, seperti apa puisi yang bagus,” imbuhnya dengan tertawa.
Dari penampilan pasangan tersebut kita bisa melihat bahwa sehebat itu kata-kata dalam menumbuh atau merawat cinta untuk merayakan kehidupan.
Dengan begitu, perayaan cinta pada malam tersebut berakhir dengan tepuk tangan riuh penonton, dan sudut pandang baru untuk merayakan cinta sangat bisa dengan satu-dua bait puisi.
Tentu saja, puisi tidak sesederhana susunan kata yang dibuat dengan indah, namun ada jiwa yang merawat kehidupan di baliknya. Selamat merayakan cinta dan merayakan kehidupan. Dari pasangan suami-istri ini, kita mendengar bagaimana puisi bekerja.[T]