Kawan : Ais, masa jabatan KPK diperpanjang jadi 5 tahun.
Saya : Wah, Pemilu 2024 makin seru, nih.
MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) pada akhirnya memutuskan menerima permohonan uji materiil terhadap Pasal 34 UU KPK yang berisi soal masa jabatan pimpinan KPK.
Gugatan tersebut sebelumnya diajukan langsung oleh Wakil Ketua KPK periode 2019-2023 Nurul Ghufron.
Dalam permohonannya, ia meminta agar majelis memperpanjang masa jabatan dari dari yang semula 4 tahun, menjadi 5 tahun. Artinya, putusan MK nomor 112/PUU-XX/2022 sudah berlaku dan memiliki kekuatan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan. Setidaknya itulah yang sudah diatur dalam UU 7 tahun 2020 tentang MK.
Apakah putusan ini dapat diterima langsung oleh publik? Oh, tentu saja tidak. Putusan tersebut berhasil membikin publik heboh, memang di tahun-tahun politik seperti hari ini, banyak sekali hal yang membikin heboh.
Respon cukup keras datang dari DPR yang menjadi tempat melahirkan segala bentuk undang-undang, termasuk di dalamnya UU KPK yang disahkan pada tahun 2019 silam.
Beberapa anggota DPR di Komisi III yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan langsung angkat bicara terkait putusan MK yang mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun.
Sebut saja Ahmad Sahroni, Taufik Basari dari Partai Nasdem, dan Benny K. Harman dari Partai Demokrat. Mereka kompak mempertanyakan kapasitas MK dalam putusan tersebut. Mereka juga menyebut bahwa kewenangan merubah isi undang-undang berada di tangan pembuat undang-undang, dalam hal ini adalah DPR.
Preseden Buruk
Kalau dilihat ke masa-masa sebelumnya, ternyata MK sudah pernah menangani gugatan terkait dengan masa jabatan. Tepatnya di tahun 2020, MK menangani gugatan dari salah satu dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Allan Fatchan terkait UU Nomor 7 tahun 2020 tentang MK.
Pada saat itu, Allan menggugat masa jabatan hakim MK yang bisa mencapai 15 tahun. Namun dalam kasus tersebut, MK justru menyatakan bahwa terkait masa jabatan merupakan wewenang pembuat undang-undang atau open legal policy. Lah, kalau dulu putusannya begitu, kenapa sekarang begini?
Melihat fakta bahwa dalam konteks kasus yang sama, MK menghasilkan amar putusan yang berbeda tentu menimbulkan tanda tanya publik. Apalagi ini bisa saja menjadi preseden yang buruk ke depannya.
Saya juga berpikir bahwa masa jabatan lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang tidak diputuskan secara asal-asalan. Segala aspek pasti sudah dipertimbangkan.
Lalu, apakah dengan alasan masa jabatan pimpinan KPK yang lebih singkat dibanding beberapa lembaga non kementerian lain—yang kemudian memunculkan anggapan kalau kedudukan KPK lebih rendah dibanding dengan lembaga non kementerian lainnya—tanpa didukung dengan bukti yang cukup, MK kemudian dengan entengnya mengabulkan permohonan tersebut?
Jika jawabannya “iya”, maka MK harus berlaku sama apabila di masa yang akan datang lembaga-lembaga non kementerian lain, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM, dll mengikuti jejak dari KPK untuk meminta “kesetaraan” dengan lembaga lainnya dan meminta agar masa jabatan pimpinannya ditambah menjadi 5 tahun. Bener nggak sih?
Jujur saja saya agak curiga ketika melihat peristiwa ini. Respon keras terhadap putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK hanya didominasi oleh para anggota DPR yang berasal dari Koalisi Perubahan Untuk Persatuan, seperti Nasdem dan Demokrat.
Apakah perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK hari ini melibatkan tangan-tangan kekuasaan? Benarkah kekuasaan hari ini ingin menghalangi seseorang untuk berkontestasi dalam pesta demokrasi mendatang?
Narasi negatif tentang KPK menjadi alat untuk “mematikan” lawan politik kerap kali berkelindan di tengah masyarakat. Saya akan coba beri contoh kasus Anas Urbaningrum yang juga mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang terlibat dalam korupsi Hambalang.
Kasus ini santer disebut-sebut sebagai cara untuk menjegal Anas yang makin hari makin moncer di dunia politik. Bahkan setelah menghirup udara bebas, pihak Anas siap untuk menjelaskan secara terang benderang tentang kasus yang berhasil mengurungnya di Lapas Sukamiskin selama hampir 10 tahun lamanya.
Penggunaan instrumen hukum untuk “mematikan” lawan politik bukanlah hal baru. Dalam banyak kesempatan, hal ini tidak jarang disampaikan oleh politisi-politisi kawakan di negeri ini.
Kecurigaan ini juga berangkat dari begitu banyak pihak yang menyoroti penguasa dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo yang dianggap terlalu ikut campur atau “cawe-cawe” dalam proses suksesi kekuasaan pada Pemilu 2024 mendatang.
Tentu dapat dimaklumi apabila seorang pemimpin menginginkan penerusnya adalah orang yang satu pemikiran dengannya—hal tersebut juga rasanya yang diinginkan oleh Joko Widodo. Tapi apabila kecurigaan tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK adalah salah satu bentuk cawe-cawe penguasa, maka hal ini tentu akan mengancam demokrasi di Indonesia.
Meski banyak pihak yang menampik hal tersebut dan memberi argumen bahwa KPK adalah lembaga yang murni mengurusi kasus hukum dan tidak terlibat dalam pusaran politik, tetapi hal yang juga tidak bisa dipungkiri, bahwa KPK adalah lembaga yang dihasilkan dari produk politik (baca: undang-undang), dan pimpinannya pun dipilih dari proses lobi-lobi politik di DPR yang isinya adalah orang-orang partai politik. Begitu pun dengan MK.
Semoga saja dugaan saya tidak benar dan saya juga mengajak untuk bersama-sama menjaga KPK dan MK agar tetap menjadi lembaga yang netral, tak terbawa dalam pusaran politik yang makin ke sini, makin kencang dinamikanya.[T]