BUNUH DIRI DIYAKINI sebagai perbuatan yang tercela. Sebuah upaya untuk mengakhiri hidup dan berpikir mati adalah solusi lantaran masalah yang dihadapi sudah sangat di luar kendali.
Apakah orang yang mau bunuh diri perlu diselamatkan? Yang jelas, kita tidak bisa menghujat orang-orang yang mau bunuh diri, apalagi sampai menghakimi mereka bahwa mereka sudah tersesat dan imannya kurang. Bisa jadi kita yang kurang iman dan kurang ilmu sampai-sampai kurangnya rasa empati dan kebijaksanaan dalam diri.
Persoalan bunuh diri berarti kita berbicara soal depresi. Ini adalah isu yang lekat dengan masyarakat kita. Depresi cenderung disepelekan, penyakit mental dianggap tak lebih berbahaya ketimbang penyakit fisik.
Saat kita membuka obrolan dengan apa kabar, kita menjawab pertanyaan itu dengan kondisi fisik kita, bukan kondisi mental. Karena tidak demam, tidak pilek, dianggap sehat. Kita tidak mencoba melihat ke dalam: apakah aku bahagia? Kalau tidak bahagia, apa penyebabnya?
***
Saya juga bertanya-tanya, apa penyebabnya film Kembang Api ini sepi peminat? Saya tidak tahu di kota lain, tapi di tempat saya, sepertinya Kembang Api tak mampu memikat banyak penonton.
Saya hanya bersama empat orang saja di dalam studio waktu menonton Kembang Api. Padahal tanpa bermaksud melebih-lebihkan, film ini punya “sajian lezat” di tengah perfilman Indonesia yang belakangan cenderung temanya “itu-itu saja”.
Meski Kembang Api merupakan adaptasi dari film Jepang yang berjudul 3 Ft Ball and Souls yang rilis 2017 lalu, bukan berarti menandakan bahwa tak ada kreativitas di sana. Justru sebaliknya, alih-alih mengadaptasi film yang sekadar menghibur, mereka memilih film yang “berisi” dan secara kreatif menyesuaikan situasi kita saat ini sebagai warga Indonesia: banyak yang depresi.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, ternyata lebih dari sembilan belas juta penduduk berusia lebih dari lima belas tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari dua belas juta penduduk berusia lebih dari lima belas tahun mengalami depresi.
Seperti yang kita tahu, orang yang depresi cenderung melakukan hal-hal yang ingin menyakiti diri dan mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Apakah benar bunuh diri itu gampang dan solusi terbaik di saat kita punya banyak masalah?
***
Barangsiapa yang bunuh diri, maka ia akan masuk neraka. Bagi umat beragama pasti meyakini hal demikian. Atau jangan-jangan, banyak yang tidak jadi bunuh diri hanya karena takut neraka?
Waktu menonton film Kembang Api, saya tersenyum kecil. “Yap, that’s absolutely hell,” saya membatin. Empat manusia berkumpul di sebuah gudang untuk bunuh diri berjamaah. Mereka adalah orang asing yang dipersatukan dengan niat yang sama.
Mereka percaya bahwa kematian mereka itu adalah jalan terbaik, bahkan ada yang percaya bahwa kematian mereka akan menguntungkan bagi orang yang disayanginya. Mereka tak pernah menduga bahwa proses bunuh diri mereka akan menjadi siksa, dan gudang itu menjadi neraka bagi mereka.
Kita mengira bahwa neraka itu begitu jauh untuk saat ini. Ia ada di atas sana atau di bawah sana. Kita hanya akan bisa pergi ke sana setelah hari kiamat. Untuk saat ini tidak mungkin kita bisa merasakannya, begitulah keyakinan kebanyakan orang. Neraka itu jauh, tidak mungkin lidah-lidah apinya dapat menyentuh kita selama kita masih ada di bumi.
Sama seperti Tuhan, Dia tidak jauh, Dia begitu dekat dan saking dekatnya kita sampai tak mampu melihat-Nya dan malah mengabaikan-Nya. Neraka dan surga sama: mereka dekat, dan kita tak menyadarinya.
Banyak para ilmuwan yang percaya bahwa neraka dan surga adalah kondisi pikiran (state of mind). Artinya, kita bisa merasakan apa itu neraka tanpa harus mati terlebih dahulu. Bahkan seorang tokoh eksistensialis terkenal seperti Jean-Paul Sartre pernah berujar bahwa “neraka adalah orang lain.”
Anggapan orang lain dapat menjadi neraka bagi kita tentu bukan isapan jempol belaka. Mereka yang merasa depresi bisa jadi karena punya masalah dengan orang lain. Mereka yang berniat bunuh diri bisa jadi takut dengan orang tertentu. Itulah kenapa William Shakespeare pernah mengatakan, “neraka kosong dan semua iblis ada di sini.”
Bumi yang indah ini dapat menjadi neraka bagi kita. Apalagi bagi orang-orang yang tak mampu berpikir jernih dan merasa bahwa tak ada kebaikan atau sesuatu yang layak diperjuangkan di hidup ini; apalagi bagi mereka yang tak mampu mengendalikan dan menaklukkan ego dan nafsu mereka.
Abu Hamid Al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf muslim pernah berkata “yang paling besar di bumi ini bukanlah gunung dan lautan, melainkan hawa nafsu yang jika gagal dikendalikan maka kita akan menjadi penghuni neraka.”
Keempat manusia yang mau bunuh diri di film Kembang Api yakin dengan mati mereka akan terlepas dari siksa beban dan rasa sakit yang mereka rasakan semasa hidup. Dengan bunuh diri, mereka percaya mereka akan berada di situasi yang hening dan tak merasakan apa pun lagi. Sayangnya tidak. “Mau mati aja kok ribet banget sih!” ujar salah satu dari mereka.
Sama seperti balas dendam. Kita berpikir menuntaskan dendam adalah cara jitu menghancurkan belenggu depresi. Padahal tidak. Kita hanya menambah belenggu baru dengan mendendam. Begitu pula bunuh diri. Mereka berempat malah merasakan “neraka” lantaran ingin bunuh diri. Mereka tak bisa menjemput ketenangan dan kedamaian.
***
Urip iku urup, sebagaimana tertulis di bola kembang api yang akan mereka nyalakan untuk mengakhiri hidup bersama. Hidup itu harus menyala, begitu artinya; menjadi cahaya dan memberi manfaat. Ini tak hanya pesan untuk orang yang depresi dan mau bunuh diri, tapi juga menjadi reminder untuk kita yang masih sehat dan waras.
Jika kita menemukan orang yang depresi dan ingin bunuh diri, mari berupaya untuk menjadi cahaya bagi mereka yang terperangkap dalam kegelapan. Hidup ini memang penuh kesulitan dan masalah.
Oleh sebab itu, ayo kita bekerja sama, saling membantu dan belajar bagaimana menjadi manusia sejati yang mampu menciptakan kebahagiaan dari dalam diri. Karena memang, hidup hanya untuk mereka yang mau sadar dan mau belajar. [T]