Sejak mengetahui keberadaan diri sebagai perempuan, sejak itulah aku selalu berusaha agar aku tidak sampai disebut sebagai Luh Jalir atau Perempuan Jalang. Itu juga sebabnya aku tak terlalu perhatian terhadap pemuda-pemuda yang mendekat kepadaku. Setiap pemuda yang mendekat, pastilah kujadikan teman. Kalau ada yang ingin menjadikanku pacar, kutolak secara halus.
“Aku ingin tekun belajar!” Begitu aku katakan kepada Bli Gede Parwata atau Kakak Gede Parwata. Ia adalah sepupuku yang selalu mengantarku ke sana-sini, sejak masih duduk di sekolah dasar. Walau kutahu Bli Gede mempunyai perasaan padaku, ia tak berani memaksa. Apalagi dia sangat tahu perangaiku yang keras kepala. Itu sebabnya sampai sekarang ia tak berani mengungkapkan perasaannnya, sampai kami menjadi mahasiswa pada universitas yang sama.
Sewaktu-waktu Bli Gede Parwata berkunjung ke fakultas, mengajak ke kantin, dan bercengkrama. Senang juga rasanya, karena teman-temanku yang laki-laki menyangka Bli Gede pacarku. Karena itulah tak ada laki-laki yang berani menggoda, mengajak pacaran.
Sejatinya aku tak memiliki rasa cinta seperti layaknya orang yang berpacaran pada Bli Gede. Rasa cintaku hanya sebatas cinta sebagai saudara, sebagai adik, sebagai teman. Tetapi kubiarkan saja teman-teman menganggapku berpacaran dengan Bli Gede. Kubiarkan saja, agar tak ada yang mengganggu, agar aku bisa cepat menamatkan kuliah.
“Besok-besok kalau sudah tamat dan sudah bekerja, barulah aku akan mencari pacar yang langsung kujadikan suami!” Begitu harapanku. Kalaa hanya sekali berpacaran lantas langsung menjadi suami istri, pasti tak akan ada yang menyebutku luh jalir atau perempuan jalang, seperti yang kerap disebutkan orang kepada ibuku.
Aku marah sekali kalau mendengar orang menyebutkan luh jalir, perempuan jalang, apalagi yang disebut-sebut namanya adalah ibuku, Luh Putri. Sejak kecil aku selalu dinasehati oleh Nenek dan Kakek agar tidak sampai menjadi luh jalir, perempuan jalang seperti Ibu, yang dikatakan selalu mengejar cinta lelaki, ke sana-sini mengobral cinta, sampai-sampai meninggalkan anak dan suami.
Luh Putri Jalir, Luh Putri Jalang, nama itu yang selalu meracuni pikiranku. Nama itu yang sejak dahulu ingin kulupakan, nama itu juga yang senantiasa mengejar perjalanan usiaku. Nama itu juga yang membuat aku tekun belajar dan tegar, tak mau berpacaran.
Sampai berumur duapuluh tahun, aku tak pernah mengenal wajah Ibu. Sesekali terbersit juga rasa ingin tahu, tetapi rasa benciku melampaui rasa ingin tahu, membuatku diam, tak berusaha mencari tahu di mana rumahnya, apalagi untuk bertemu. Suatu ketika ada juga rasa ingin bertemu, ingin tahu bagaimana rupanya, sekaligus menunjukkan diri sebagai anak tanpa asuhan seorang ibu, sekaligus ingin memarahinya. Tetapi lagi-lagi aku berusaha menahan diri.
“Kalau sudah luh jalir, bagaimana caranya memarahi, dengan membenci tak akan bisa mengubahnya, apa gunanya membuang kata-kata,” kataku dalam hati. Kata-kata itu mampu menghalangi keinginanku untuk memarahi Ibu yang bernama Luh Putri itu.
Konon aku ditinggalkan oleh Ibu saat berumur dua tahun. Lantas Bapak menikah lagi dengan perempuan cantik bernama Ketut Sriasih, tetapi tak mempunyai anak. Entah bagaimana ceritanya Bapak dengan Ketut Sriasih akhirnya berpisah. Setelah Ketut Sriasih, Bapak menikahi Ni Made Dwi Mayani. Dari ibu tiriku itu, aku mempunyai dua adik, bernama Made Adi Putra dan Ketut Puspanjali.
Sekarang Made Adi Putra sudah duduk di kelas enam Sekolah Dasar dan Ketut Puspanjali baru kelas tiga. Aku sangat mencintai adik-adikku itu, juga ibu tiriku, Ni Made Dwi Mayani. Itu sebabnya aku kaget saat mendengar kabar Bapak akan bercerai dengan ibu tiriku itu.
Kabar itu kuketahui saat pulang Sabtu dua hari lalu. Kulihat adikku, Adi Putra dan Puspanjali, menangis tersedu-sedu. Kupeluk mereka, kupikir mereka telah dimarahi. Kuhibur mereka.
“Kak, Ibu dan Bapak cerai, sudah dua bulan Ibu tidak pulang!” Adi Putra mengadu.
Aku bengong, tak mampu bicara apa-apa.
Benar sudah lima bulan aku tidak pulang karena sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Selain itu aku juga masih marah dengan Bapak yang datang ke kampus dan melarangku bergaul dengan dosen-dosen, terutama dengan Pembantu Dekan Bagian Kemahasiswaan, Ibu L.P Tirtawati.
“Bapak aneh-aneh saja, dulu Bapak melarangku masuk jurusan Antropologi, sekarang tak boleh berhubungan terlalu dekat dengan dosen-dosen di sini, terlalu dekat bagaimana maksudnya? Tenang saja, Pak, aku sudah besar, tahu yang mana benar dan yang mana salah,” sahutku kesal lantas meninggalkan Bapak.
Tak kupedulikan wajah Bapak yang berubah merah, matanya menyala. Aku berani melawannya karena aku merasa tak pernah berbuat salah. Walaupun dekat dengan dosen-dosen, itu hanya untuk urusan kuliah dan kegiatan kampus. Kebetulan aku suka ikut kegiatan di senat mahasiswa. Kendati sibuk, nilai-nilai kuliahku selalu bagus, jadi tak ada alasan untuk tak mempercayaiku.
Sekarang lagi kudengar kabar buruk, mendengar kabar Bapak dan Ibu akan bercerai.
“Ini pasti karena Bapak terlalu curiga pada Ibu, yang membuat Ibu ngambek. Sama seperti cara Bapak mencurigai kedekatanku dengan dosen-dosenku di kampus,” pikirku.
“Ya, Adi dan Puspa tenang saja, Kakak akan bicara dengan Bapak, agar jangan sampai Ibu dan Bapak bercerai,” kataku sambal mengusap-usap kepala kedua adikku itu.
Sampai malam Bapak kutunggu, ia tak kunjung datang juga. Kalau ingat dengan kesedihan adik-adik, terasa kosong ragaku. Tetapi kupaksakan diri agar bisa menaiki motor dengan tenang dan selanat sampai di Denpasar.
Malam itu mata tak bisa kupejamkan. Kepalaku panas memikirkan cara agar Ibu dan Bapak tak sampai berpisah. Kucari-cari di mana kurang lebihnya Ibu dan Bapak. Di mana kira-kira akar masalahnya. Kupikir-pikir, kuingat-ingat perilaku Ibu dan Bapak.
“Bukankah Ibu, Ni Made Dwi Mayani, adalah istri Bapak yang ketiga. Bapak adalah suami pertama Ibu. Apakah mungkin karena Ibu yang umurnya jauh lebih muda dari Bapak berniat mencari bujangan, apakah mungkin Bapak cemburu karena memiliki istri muda dan cantik?” Beraneka macam pertanyaan dalam hati yang tak bisa kujawab sendiri.
Pagi-pagi aku bangun tergesa-gesa, takut terlambat untuk mengikuti diskusi. Hari ini ada mata kuliah seminar yang kusuka. Mata kuliah yang selalu kutunggu-tunggu, akan kujadikan pegangan pada saat menyusun skripsi. Usai mata kuliah seminar aku suntuk mengikuti diskusi dengan kakak-kakak kelas. Tanpa kusadari cepatnya perjalanan waktu, sampai siang, sampai kampus sepi. Hanya ada Ketut Raka dan Made Budiasih yang tertinggal, paling akhir denganku keluar dari aula. Sambil menutup pintu aula, kulihat ada mobil sedan Bapak. Aku tersenyum.
“Mungkin Bapak sudah rindu padaku, mungkin marahnya sudah reda padaku.”
Ke sana-sini kucari Bapak tak kutemukan juga. Aku melewati ruangan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan, L.P. Tirtawati. Pintunya sedikit terbuka. Iseng ingin kutengok. Di depan pintu aku diam, kudengar ada yang bercakap-cakap. Aku tersenyum sendiri merasa seperti pencuri yang mengintip dosenku itu. Pada saat hendak beranjak, terdengar namaku disebut-sebut.
“Lupakan Luh Putu Yuliasih, dia tidak apa-apa tak punya ibu. Aku bisa mencarikan ia ibu yang lebih baik dari kamu, aku bisa memeliharanya lebih baik dari kamu. Jangan ganggu ia, kalau kamu mengganggunya, akan saya pindahkan ia dari sini!” Begitu kudengar kata-kata Bapak. Aku diam, tak mengerti makna kata-kata itu.
“Tidak bisa, Luh Putu Yuliasih itu putriku. Sembilan bulan aku mengandungnya, kulahirkan, kenapa aku tak boleh mengakuinya sebagai anak? Sudah sembilan belas tahun kamu mencuri anakku, sudah sembilan belas tahun kamu dan keluargamu memfitnahku, mengata-ngatai aku sebagai perempuan busuk yang sampai hati meninggalkan anak dan suami. Serupa kamu telah membunuhku. Tetapi Luh Yuliasih sekarang sudah besar, tak bisa lagi kamu menutupi asap. Walaupun sekarang kamu bisa mengancamku, agar tak mengatakan bahwa ia adalah anakku, lama kelamaan ia pasti akan tahu!” Begitu kudengar Ibu L.P Tirtawati. Suaranya agak pelan. Mendengar hal itu, dadaku rasanya bergemuruh.
“Pokoknya tak banyak aku berkata-kata, kalau Luh Yuliasih sampai tahu siapa ibunya, pasti dari kamu, dari teman-teman dan saudara-saudaramu, tetapi ingat, kalau sampai ia tahu, kamu akan rasakan akibatnya. Bukan saja kamu akan disebut Luh Jalir, tetapi kamu akan saya penjarakan, orang tuamu, semua….!” suara Bapak keras.
“Saya tidak takut, dulu kamu memfitnahku berselingkuh, tetapi kamu yang sesungguhnya banyak punya selingkuhan. Tak henti-hentinya kamu menyakitiku, saya hanya diam, biar hukum karmanya saja yang berlaku, waktu akan membuktikannya!” Keras, tegas dan kental suara Ibu Pembantu Dekan itu.
Suara L.P Tirtawati kurasakan seperti tindihan batu besar. Hatiku juga serasa dijatuhi batu besar. Sakit sekali. Kepalaku berputar-putar. Tanganku menggapai-gapai daun pintu. Kuperlebar bukaan pintu itu. Bapakku menoleh. L.P Tirtawati menoleh. Kedua wajah orang itu, orang tuaku itu, merah padam. Aku tak ingat apa-apa lagi. [T]
- Catatan: Cerpen ini adalah terjemahan dari cerpen berbahasa Bali yang berjudul Luh Jalir, diambil dari buku berjudul Luh Jalir yang diterbitkan Pustaka Tarukan Agung (2008). Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Made Adnyana Ole
[][][]