Pan Darma terbangun tengah malam setelah bermimpi buruk dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Di sampingnya, istrinya masih tertidur pulas dengan dengus napas yang teratur. Cahaya lampu dari luar masuk ke dalam kamar menembus kisi-kisi jendela. Ia duduk, berpikir sambil mengatur napas sebelum pelan-pelan menggoyangkan tubuh istrinya. Istrinya menggeliat.
“Esok malam, Bli akan pergi berperang Luh,” kata Pan Darma saat istrinya mulai terjaga.
“Berperang? Dengan siapa Bli?” tanya sang istri yang berusaha untuk lebih menyadarkan dirinya.
“Ni Reneng.” Ia menghela napas sebelum melanjutkan. “Ni Reneng menantang Bli lewat mimpi. Dia menunggu Bli esok malam, saat bulan purnama keempat bulat penuh di atas kuburan desa.”
“Ada masalah apa Bli dengan Ni Reneng? Bukankah selama ini Bli tak pernah berurusan dengan Ni Reneng?”
Pan Darma tak langsung menjawab. Ia menyampingkan selimut dari tubuhnya dan menuju ke arah saklar lampu. Dihidupkannya lampu kamarnya dan ia menuangkan air dari ceret yang ada di atas meja. Diminumnya air itu dua teguk. Beberapa detik ia terdiam dengan tatapan lurus.
“Gara-gara Bli menyembuhkan Ni Rimpeg.”
“Lalu apa masalahnya? Bukankah sebagai seorang balian memang itu tugas Bli?” kata sang istri sambil mengubah posisi duduknya menghadap ke suaminya.
“Sebenarnya yang membuat Ni Rimpeg sakit adalah Ni Reneng sendiri. Bli tidak tahu persis apa masalahnya. Seperti katamu, Bli hanya menjalankan kewajiban menyembuhkan mereka yang sakit. Tapi Ni Reneng tak terima dan menantang Bli adu kesaktian.”
“Tak usah diladeni Bli.”
“Ini demi martabat, Luh. Bli harus datang dan melawannya.”
“Coba dipikirkan matang-matang, jangan gegabah.”
“Jika Bli tak meladeni, sama dengan menjatuhkan reputasi Bli selama ini sebagai balian yang terpandang di desa ini. Dan balian lain pasti akan mencemooh Bli, menganggap Bli sebagai pengecut. Apalagi yang menantang adalah seorang perempuan!”
“Tapi Bli…”
“Ya, Bli tahu kesaktian Ni Reneng setingkat lebih tinggi dari kesaktian Bli. Itu tak jadi masalah, Bli siap dengan segala risikonya.”
Pan Darma tetap kukuh dengan pendiriannya, istrinya tak bisa menghalangi niat suaminya untuk menerima tantangan itu dan memilih untuk pasrah.
Sebenarnya bukan kali ini saja Pan Darma pergi berperang di atas kuburan desa melawan musuh-musuhnya ketika tengah malam. Ia bahkan hampir selalu meladeni tantangan dari musuhnya, apalagi kesaktiannya sudah sangat tersohor bahkan hingga ke luar desa, dan banyak yang datang kepadanya untuk berobat.
Warga yang berumah di dekat kuburan dan tak sengaja melihat ke langit saat pertarungan itu terjadi hanya akan melihat dua bola api menyala-nyala bertarung di angkasa saling menyerang satu sama lain. Beberapa saat kemudian satu bola api akan terlempar yang menjadi pertanda sudah ada pemenang dari pertarungan itu. Dan tentu saja, keesokan paginya akan ada kabar seseorang yang mati mendadak dengan tubuh membiru tanpa pernah memiliki riwayat sakit.
Meskipun kesaktian Pan Darma tersohor hingga ke luar desa, namun ia bukan yang paling sakti di desanya, karena masih ada Ni Reneng. Dan Ni Reneng memang memiliki dendam masa lalu kepada Pan Darma walaupun mereka sebelumnya tak pernah saling menantang dan memilih untuk menekuni jalurnya masing-masing. Hingga ketika Pan Darma berhasil menyembuhkan Ni Rimpeg, Ni Reneng memiliki alasan kuat untuk menghidupkan dendamnya dan sekaligus balas dendam. Dan Ni Reneng pun mengirim tantangan lewat mimpi kepada Pan Darma.
*
Sejak pagi istri Pan Darma terlihat tak bergairah. Sambal yang digorengnya hampir gosong, begitupun pancinya nyaris bolong karena air yang dipanaskannya habis akibat lupa mematikan kompor saat air sudah mendidih. Ia memikirkan hari esok, apakah suaminya masih bisa bangun pagi seperti biasa, atau akan digotong kerabat beramai-ramai menuju kuburan. Wajah Ni Reneng yang baru ia lihat beberapa waktu lalu di jalan desa juga terus membayangi pikirannya.
Sementara itu, sejak langit di timur berwarna kemerahan, Pan Darma sudah duduk di depan merajan dengan menggunakan kemben putih dan ikat kepala putih tanpa menggunakan baju. Di depannya ada sebuah wadah yang di atasnya berisi canang dan dupa yang menyala. Hari ini ia menjalani prosesi penyucian diri dan pemurnian jiwa sebelum malam nanti jiwanya melesat ke atas kuburan desa dan berhadap-hadapan dengan jiwa Ni Reneng.
Siangnya, istri Pan Darma duduk di teras rumah sambil memotong janur untuk membuatkan suaminya sesajen. Nasib suaminya esok masih terus saja menari-nari dalam pikirannya. Ia berharap hari ini akan lebih panjang dari kemarin, dan jika bisa ia berharap tak ada malam. Membayangkan malam, seperti membayangkan kematian suaminya.
Saat tengah membuat sesajen, terbesit dalam pikirannya untuk menghubungi anak lelaki satu-satunya yang kini tengah bersekolah di kota. Ia ingin anaknya juga tahu jika malam nanti adalah malam penentuan hidup dan mati sang ayah. Setidaknya dengan mengabarkannya kepada sang anak, beban pikiran itu tak ditanggungnya sendiri. Tak berselang lama, ia kembali berubah pikiran dan tak mau anaknya tahu tentang kegelisahannya hari ini. “Biarlah, apapun yang terjadi esok, biar esok saja dia tahu semuanya, jangan hari ini,” batinnya.
Selesai membuat sesajen, ia mengambil lampu batok kelapa yang selama ini digunakan Pan Darma ketika berperang malam-malam. Kemudian ia membuka penutup batok kelapa yang juga menjadi tempat sumbu lampu. Dilepasnya sumbu itu dan ia memasang ulang. Selain membenarkan letak sumbu, ia juga menuangkan bahan bakar berupa minyak kelapa ke dalam batok kelapa itu.
Sambil membawa lampu batok kelapa, ia menuju ke kamar suci, dan di kamar suci Pan Darma sedang tepekur dan ruangan itu dipenuhi oleh asap dupa dan menyan. Sesajen yang sudah disiapkan kemudian dibawanya ke dalam kamar suci dan disusun di atas dipan tempat pembaringan suaminya melepas jiwa ketika berperang.
Sebelum keluar dari kamar suci, ditatapnya Pan Darma yang tengah suntuk bermeditasi. Ia melihat rambut suaminya yang sudah mulai beruban, otot-otot lengannya yang kekar yang biasanya digunakan untuk mengayunkan cangkul di tegalan ketika sedang tidak ada pasien yang datang berobat. Tak terasa, matanya lembab dan air mengalir membasahi pipinya.
*
Hari mulai gelap. Suara kodok terdengar seperti seseorang yang tengah tertawa mengelilingi rumah Pan Darma. Tak ada orang yang lewat di dekat rumahnya, karena rumahnya memang terletak agak jauh di pedalaman dan terpisah jauh dengan rumah yang lainnya. Beberapa suara burung aneh juga terdengar di atas rumahnya.
Pan Darma sudah mengakhiri meditasinya dan kini tengah duduk di atas dipan di kamar suci. Matanya tertuju ke nyala dupa yang berada di depannya. Sementara di bawah, istrinya duduk di atas selembar tikar dengan gelisah. Raut mukanya pucat dan ada ketakutan yang menyergap ke dalam tubuhnya.
“Bli…”
Suaminya tak menyahut, dan pandangan matanya tak berpaling dari nyala dupa itu.
“Saya belum mengabarkan semua ini kepada anak kita. Dan apapun yang terjadi esok hari, biarkan dia tahu esok saja.”
“Ya,” kata Pan Darma pendek setelah menghela napas dan matanya berkedip beberapa kali.
Hening. Di luar, suara kodok itu masih terus terdengar dan semakin ramai saling bersahutan dengan bunyi burung hantu maupun jangkrik. Mata istri Pan Darma mengikuti gerakan asap dupa yang berkelok-kelok ke atas dan menyebar saat menyentuh plafon rumah yang berwarna agak kehitaman karena sering terkena asap.
Malam semakin larut, dan di luar sesekali terdengar embusan angin yang halus dan menjatuhkan beberapa helai dedaunan yang menimpa atap rumahnya yang terbuat dari seng.
Waktunya pun segera tiba. Pan Darma membaringkan tubuhnya di atas dipan di dekat sesajen yang disusun istrinya siang tadi. Dengan tangan yang sedikit gemetar dan detak jantung yang tak teratur, istrinya menyalakan lampu batok kelapa yang diletakkan di antara sesajen. Setelah lampu batok kelapa menyala, ia mematikan lampu listrik di kamar suci.
“Bli akan berangkat sekarang?”
“Bli masih menunggu wangsit. Doakan agar Bli bisa mengalahkan Ni Reneng.”
Istrinya mengangguk.
“Jika nyala lampu itu bergoyang-goyang artinya Bli tengah bertarung dengan Ni Reneng. Apabila bergoyang lebih keras lagi bahkan nyaris mati, itu artinya Bli nyaris kalah. Dan jika lampu itu mati, Bli sudah tiada,” kata Pan Darma tegar.
Istrinya mengangguk, matanya memerah dan lembab, tangannya gemetar.
Setelah berkata demikian, Pan Darma mulai memejamkan mata dan sekejap kemudian jiwanya pun lepas dari raganya, keluar dari kamar suci dan melesat ke langit menuju ke arah tenggara, ke atas kuburan desa. Di langit bulan purnama keempat bulat penuh.
*
Nyala lampu mulai bergoyang-goyang. Sebagaimana kata Pan Darma, pertarungan sudah dimulai. Dengan wajah yang semakin pucat dan napas tak karuan, istrinya terus mengucapkan doa-doa keselamatan sambil melihat nyala lampu. Kadang nyala lampu itu bergoyang cukup keras yang membuat ia gelisah. Kadang nyala lampu itu sedikit tenang.
Tiba-tiba nyala lampu itu bergoyang sangat hebat. Ia kebingungan lalu berdiri dan mencoba menahan dengan tangannya agar lampu itu tidak mati. Bahkan ia memunggungi kisi-kisi jendela agar angin yang masuk tak menyentuh nyala lampu. Namun tetap saja nyala lampu itu bergoyang hebat dan bahkan nyaris padam. Dan tiba-tiba, setelah bergoyang hebat, nyalanya semakin mengecil. Istri Pan Darma pun tak tahu harus berbuat apa melihat kenyataan itu. Ia mulai menangis dan merasa malam ini adalah akhir segalanya. Ia mulai membayangkan, paginya kerabatnya akan mulai berdatangan ke rumahnya dan siangnya atau sorenya beramai-ramai menggotong suaminya ke kuburan.
Saat nyaris mati, tiba-tiba nyala lampu kembali menerang. Sedikit demi sedikit semakin terang dan tenang. Dan pada titik tertentu, nyalanya benar-benar terang, bersih dan tenang. Dan saat itu, istri Pan Darma menjadi lega. Ia tak gelisah lagi dan berpikir jika suaminya adalah pemenang dari perang ini. Paginya tentu saja akan terdengar kabar jika Ni Renenglah yang mati secara mendadak. Dirinya pun berencana untuk datang melayat ke sana. Kini ia menunggu jiwa suaminya kembali ke dalam tubuhnya dan suaminya yang terbaring di atas dipan akan terbangun lagi.
*
Nyala lampu masih terang dan tenang. Pagi sudah menjelang dan suara ayam akan segera terdengar. Namun jiwa Pan Darma tak kunjung kembali ke dalam raganya. Istrinya sudah lama menunggu dan kini perasaan tenang dan senangnya perlahan-lahan berubah menjadi perasaan jengkel. Dan perasaan jengkel itu kemudian berubah menjadi rasa amarah yang tak tertahankan. Ingatan masa lalu kembali berkecamuk di dalam kepalanya. Ia ingat penuturan seorang kerabat jauh Pan Darma, jika dulu Ni Reneng sempat menjadi kekasih Pan Darma, namun tak direstui oleh orang tua Pan Darma.
Dengan rasa amarah yang tak bisa dikendalikan, ia meniup lampu batok kelapa itu. Padam. [T]
Maret 2022
Keterangan:
- bli: panggilan untuk kakak laki-laki, abang, kakanda dalam bahasa Bali
- balian: dukun
- merajan: pura keluarga
- canang: sesajen yang terbuat dari janus yang dibentuk dan di atasnya diisi bunga
_____