Lalu. Tiba-tiba Lina mengatakan ingin melupakan masa lalu. Tubuh saya nyeri mendengarnya. Ia terkesan sungguh-sungguh. Seperti menjadi sangat dewasa dalam waktu yang singkat. Kemudian berceritalah ia kenapa memilih demikian. Kenapa menginginkannya mendalam. Ia bukan lagi itik kecil, ia angsa dewasa dengan leher jenjang yang menggairahkan.
“Karena hidup saya tidak di masa lalu”
“Kamu pandai mengatasi masalah”
“Kamu keberatan?”
“Berhentilah mengeluh dan saya akan mencoba memahaminya secara wajar”
Lina tersenyum ganjil. Seganjil langit biru yang sering kami saksikan ketika kota menyanyikan lagu asing di terik yang membakar hari. Lagu asing yang melulu sepi. Melulu jemu. Tetapi Lina menyukainya. Menjadi ganjil konon kebebasan yang tertinggi. Menjadi diri sendiri. Dan di bumi ini yang menjadi ganjil amatlah sedikit. Ia berharga. Dan Lina adalah salah satunya. Ia ingin seseorang mengejar keganjilannya yang satu. Untuk kemudian diajaknya bersenang-senang dalam keganjilan-keganjilan hubungan berikutnya.
Begitulah Lina bercerita di perjumpaan yang pertama.
“Kamu mau melakukannya?” ia bertanya dengan kelebatan cahaya kecil dimatanya.
“Menjadi ganjil seperti yang kamu suka?”
Ia mengangguk. Meremas jemari saya. Saya terperanjat. Entah kenapa semua terbuka dengan luas secara tiba-tiba dan menggetarkan. Perasaan berlebih. Ingin yang menderu. Apa saya terlalu sensitif?
Ah, bukan Lina namanya kalau tidak bisa menangkap segala perubahan. Sekecil apapun. Ia membaca dengan penuh kebanggaan saat wajah saya menyembul merah. Ada gugup yang ditiupkan dengan kencang oleh angin tengah hari. Mengisi lorong hati saya yang kosong. Yang dingin.
Lina mengeratkan genggamannya. Menarik tangan saya menuju tugu di perempatan kota. Di ujung bangunan kami bertengger seperti sepasang burung. Sepasang? Batin saya kembali menggerutu. Kali ini lebih pada menyesali telah diam-diam menyimpan harapan. Harapan kepada sesuatu yang ganjil.
Begitu juga saat Lina melemparkan pandangannya jauh-jauh ke langit. Biru yang menyapu dengan perkasa. Atap kota yang angkuh dan kaku. Katanya ia suka mual-mual dan ingin segera muntah dibuatnya. Tetapi sekali lagi ia katakan tetap menemukan kesenangan berlebih. Keganjilan yang nyaman.
“Perasaan ingin muntah itu membuat saya tenang”
“Saya tidak mengerti”
“Semula saya menyimpan sejumlah ketakutan. Termasuk mengawali pagi adalah rutinitas paling mengerikan dalam hidup saya. Setelah menemukan kebiasaan aneh itu saya merasa tidak takut lagi”
Saya tercenung. Apa yang dikatakan Lina baru saja sedikitpun tidak mampu membuat saya mengira-ngira. Tetapi setelah ia menyebutkan sebuah nama. Dan itu nama lelaki, saya perlahan tahu bahwa ini masalah perasaan. Apakah cinta?
“Kamu tidak sedang berpura-pura bodoh di depan saya kan?” ia bertanya dengan sungguh-sungguh pada saya.
“Tentu tidak. Ia kekasihmu?”
Sungai kecil yang mengalir dari matanya cukup memberi jawaban. Lelaki itu kekasihnya dan mereka baru saja berpisah.
Namun Lina menggeleng. Lelaki itu bukan kekasihnya. Katanya ia orang lain. Orang asing. Seseorang yang dibencinya tetapi juga dikehendaki. Aneh! Perkara hubungan yang pelik sekaligus mengesankan. Bagaimana bisa menyimpan rasa benci dan ingin kepada satu orang dalam waktu bersamaan?
“Tentu saja bisa. Kamu mencintainya dan tiba-tiba ia meninggalkanmu. Itu saja!”
Lina lebih mirip memekik ketimbang bercerita. Langit biru mungkin berubah hitam dan menjadi gerimis dimatanya.
***
Lina, perempuan sembilan belas tahun, sedang patah hati. Sedang mencoba melupakan masa lalu. Memilih menjalani kehidupannya sehari demi sehari. Meski banyak hal yang katanya berubah. Bahkan suara hujan yang ramai di atap rumahnya membuat degup jantungnya tak teratur. Kadang melihat daun-daun jatuh melayang dengan dingin sebelum menyentuh tanah memaksanya menangis. Sendirian. Kesepian.
Apa tidak kasihan dengan semua kenangan? Saya tidak berani menanyakan pertanyaan yang mungkin membuatnya merasa dihakimi itu. Hanya di pertemuan berikutnya ia bercerita sendiri tanpa saya minta.
“Seseorang kadang menyimpan terlalu banyak hal tidak penting dalam kotak keramatnya”
“Kotak keramat?”
“Ya, kotak kenangan. Yang kadang kita buka sesekali jika rindu menyerang. Dan banyak nama yang tercerai berai dan akhirnya kita menyesal pernah mengingatnya”
Lina seperti lebih tahu hidup daripada saya. Raut mukanya selalu serius saat berbicara. Bagaimana bisa ada laki-laki yang sanggup meninggalkan perempuan matang sepertinya. Apa ada yang salah dengannya? Atau mungkin ada sebutir rahasia getir lainnya yang belum sempat ia ceritakan?
“Kamu menyesal pernah berhubungan dengannya?”
“Sisa hidup saya tidak ada dimasa lalu. Saya hidup sekarang. Saya tidak ingin mengingatnya lagi”
Lina terluka. Lebih dari itu. Sebagaimana sepasang kekasih yang jatuh cinta, mereka juga terjebak dalam permainannya sendiri. Namun saat kehamilannya baru dua bulan laki-laki itu menyuruhnya aborsi. Buah cinta itu membusuk. Jadi cairan tidak sedap yang menggenang di ruang ingatannya. Sekalipun telah dilupakannya dengan segala cara.
Ehm, jika ada cinta kenapa memilih saling melukai. Apa cinta membuat orang gila dan berbuat yang aneh-aneh. Kata Lina itu juga masih dipikirkannya sampai sekarang. Termasuk kenapa ada perasaan terluka kemudian. Bentuk akhir yang paling umum dari hubungan manusia.
“Apa cabang bayi itu ada di kotak keramat yang kau sebutkan tadi?”
Lina tak segera menjawab. Wajahnya lebih mirip orang yang ingin muntah. Dan benar saja, ia mohon diri untuk pulang karena sudah tidak tahan memandang langit biru dari bangunan paling tinggi di kota ini.
“Langit akan segera hitam. Saya sama sekali tak menyukai hujan atau gerimis”
Suaranya terputus-putus. Mungkin bukan itu yang ingin ia ucapkan sebenarnya. Mungkin hatinya berteriak, “Saya tidak suka hujan atau gerimis yang mengingatkan saya untuk menangis”.
Benarkah begitu?
Jika begitu saya sadar kenapa jantungnya berdegup dengan kencang setiap kali mendengar bunyi hujan. Percik darah dari selangkangan waktu proses pengguguran itu ia bilang mirip suara air hujan yang menyentuh genting. Nyaring. Mengiris.
Kesiap daun yang tertiup pelan di udara seperti nafasnya yang naik turun menahan sakit. Maka ia mulai membenci suara halus dedaunan yang sesungguhnya bagi sebagian orang sangat meneduhkan. Lantas ia mencari-cari keganjilan-keganjilan lain yang menenangkan meski orang lain menganggapnya aneh. Ia perkenalkan dirinya pada banyak laki-laki, berpetualang dalam medan yang asing, tanpa sedikitpun terikat.
Kenapa seperti itu Lina? Apa tidak ada yang tersentuh dengan kisahnya?
***
Di pusat kota ada sebuah taman dimana sebuah danau buatan terdapat di dalamnya. Ada beberapa angsa berbulu indah yang berenang dangan bebas setiap hari. Lina mengunjunginya dua kali seminggu. Tepat tengah hari. Kenapa? Ia akan mengulangi kalimatnya dengan mantap berkali-kali, karena di siang hari dari taman itu langit biru terlihat sangat indah.
Ya, langit biru. Ia ingin suatu waktu terbang dalam keleluasaannya.
Saya baru mengetahui tentang kebiasaannya itu hari ini. Dari nyonya Nirmala, ibunya. Dan saya menyesal kenapa baru mengetahuinya sekarang. Menyesal kenapa membiarkannya pulang sendirian siang itu. Saya terlihat bodoh dengan perasaan semacam ini. Entah tersakiti atau terluka.
Ke langit birukah Lina sekarang?
Saya tiba dirumahnya setengah jam sebelum pemakamannya dilakukan. Banyak orang yang menangis. Menurut cerita ibunya mayatnya ditemukan mengambang di danau itu kemarin sore. Lina tenggelam. Mungkin, banyak yang tidak berani mengucapkan kemungkinannya. Bahwa Lina menenggelamkan dirinya. Sengaja mengakhiri hidupnya. Tepat di bawah langit biru yang maha luas dan ganjil. Tepat setelah ia mengatakan ingin melupakan masa lalu.
Beginikah caranya?
Ah, yang jelas ada yang melihat angsa-angsa itu menuntun tubuhnya ke permukaan, menyeruak diantara bunga-bunga teratai yang sedang mekar. [T]
Catatan:
- Cerpen ini termuat dalam buku kumpulan cerpen “Luka Batu” (Mahima Institute Indonesia, 2020).
_____