Saya sudah bilang kepadanya bahwa Ganis tak ada di rumah, tapi dia tetap memaksa masuk. Dia bilang ingin menunggu di dalam. Tempat tinggalnya jauh dan dia merasa tidak masuk akal kalau harus kembali, dan nanti kembali lagi ketika orang yang dicarinya itu sudah datang.
Dengan sedikit berat hati saya izinkan dia masuk. Saya tawari dia teh atau kopi selayaknya tuan rumah kepada tamunya, tapi dia bilang dia tidak minum minuman yang berwarna. Lalu diambilnya botol berwarna hitam dari dalam tas; botol yang sewarna dengan kaos bergambar Che Guevara yang dikenakannya. Diteguknya air itu seperti bintang iklan minuman di televisi. Sungguh berlebihan gayanya, dan saya bayangkan kalau saya lebih ramah lagi padanya, misalnya menawarkan kue sarang semut—spesial dari toko roti saya—yang ada di dapur, mungkin dia akan merasa bahwa rumah ini benar-benar miliknya.
Tetapi setelah dia mereguk hampir setengah botol minumannya, dia bertanya, “Ada asbak?” Sungguh mengesalkan. Pernahkah Ganis memberitahu bahwa di rumah ini bebas asap rokok dan bukan bebas berasap rokok?
“Ada, tapi tolong merokoknya di teras ya.” Dia spontan melihat ke luar. Rumah yang menghadap ke timur ini jelas maksimal menangkap cahaya dan panas matahari, sehingga jam dua belas siang bukanlah waktu yang baik untuk bersantai-santai di teras.
Saya duduk di ruang tamu bersamanya; tidak enak membiarkan tamu seorang diri. Tetapi itu bukan berarti saya bisa ramah padanya. Dia pun seperti tak ambil pusing, dan sesekali bersiul-siul seperti burung jinak, sambil memerhatikan sekeliling ruang tamu, “Tumben ke sini lagi,” ujar saya membuka pembicaraan setelah jeda yang agak lama.
“Ada bisnis dengan Ganis,” jawabnya. Jawaban itu mengantar saya pada bayangan seseorang yang mengenakan jas resmi, serta berdasi, yang kerjanya keliling kampung menawarkan mainan edukasi anak. Saya mau tertawa terpingkal-pingkal, tapi tawa itu hanya naik sebatas tenggorokan, dan saya telan kembali. Tidak enak menertawakan tamu, apa lagi tamu berwajah sedih. Ya, dia orang paling berwajah sedih yang pernah saya temui. Matanya lebih sering merah, sayu, dan tua, seperti korban dari suatu pergaulan, atau mungkin justru pelaku? Mata-mata yang kerap ada di tempat party. Mata dini hari yang seolah bisa lebih terang melihat pada saat temaram. Kulitnya, lalu bibirnya, alisnya, pipinya, dan tulang pipi itu…aih, mengingatkan saya pada punuk unta. Dan tubuh itu, kurus, kering, yang bisa kita perkirakan disebabkan karena jarang berada atau bahkan tidak pernah sama sekali berada di lahan basah. Apakah saya menjelaskan ciri-cirinya seperti hendak mengejeknya? Begini, saya tak hendak membela diri, tapi sungguh, siapa pun yang bertemu dengannya tidak akan bisa menjelaskan ciri-cirinya tanpa nada ejekan.
“Bisnis apa? Berdagang maksudnya?” Cara saya bertanya mungkin akan terlihat datar sekali seperti bagian HRD yang menyeleksi calon office boy.
“Ha ha ha,” tiba-tiba dia yang tertawa. Sungguh saya merasa terhina, sudah capek-capek saya mengedepankan sopan-santun ketimuran tapi dia malah menyemburnya dengan muntahan tawa.
Saya diam. Dia ikut diam. Kami saling diam, dan suara motor yang melintas di luar seperti mengejek kami. Mungkin motor itu hendak berkata, “Ha ha ha…bukan perkara siapa yang lebih pintar di antara kalian berdua, melainkan siapa yang paling tidak bodoh!”
Diam saya adalah diam yang menunggu, dan dia sadar itu. “Bisnis itu bukan berarti jualan, berdagang, atau ingin mendapatkan uang.” Kata “uang” yang ditekan membuat saya agak tersinggung, tapi sebagai orang yang lebih tua saya redam perasaan itu, saya tekan, meski hati saya lah yang harus menanggung sakit.
“Lalu?” Saya berusaha bijaksana.
Tiba-tiba hujan deras. Udara menjadi lebih panas di dalam. Sepertinya hawa panas di luar mencari jalan agar tak punah sama sekali. Mungkin juga hawa panas itu masuk ke sarang-sarang binatang. Tetapi adakah binatang yang saling membenci? Bukan sekadar marah, tetapi benci; perasaan awet tanpa kadaluwarsa, walau peristiwa yang memantiknya telah berlalu lama dan tak menyisakan bekas pada tubuh.
“Apapun yang kamu bisniskan dengan Ganis, semoga sukses.”
“Terima kasih,” Ia tersenyum. Senyum yang naik di kanan. Seperti menyimpan pitam pada ujungnya.
Ah, mungkin sejak tadi saya yang melebih-lebihkan. Mungkin itu memang gesturnya yang otentik, yang memang akan diperlihatkannya sekalipun pada orang yang paling dicintainya. Ada memang orang-orang yang tak berbakat secara sosial. Tetapi, buat apa saya berprasangka baik pada landasan yang tidak kuat?
“Ganis pernah bilang pada saya, kamu perlu uang untuk membayar indekos.”
“Ya, memang, tapi saya bilang padanya kalau tak ada uang tidak apa-apa.”
“Kamu tahu kan Ganis akan mengusahakannya?”
“Maksudmu? Saya yang harus tahu diri, dan tidak minta tolong padanya?”
“Tinggallah di sini, lagi pula Ibu sudah lama tidak ada.”
Hening. Hujan deras seperti turut membasuh ruangan ini, dan lama-kelamaan menenggelamkan kami dalam pikiran masing-masing. Sejak dulu saya tidak pernah tahu bagaimana jalan pikirannya.
Pernah suatu ketika saya melihat dia merokok di lantai atas rumah kami yang saat itu belum selesai dibangun. Waktu itu dia masih kelas tiga SD dan bersekolah di SD paling favorit dan bonafit. Lalu sewaktu SMP saya pernah menemukan ganja di dalam kamarnya. Apakah permainan anak-anak belum cukup untuknya? Pengalaman macam apa yang hendak ia abadikan? Pengalaman terbang ke bulan? Sehingga tidak ada sekolah di seluruh bumi yang sanggup memenuhinya?
Dia sudah dipindahkan ke lebih dari tiga SMP karena telah banyak membuat onar di sekolah. Dan kalian tahu, kan, setiap kepindahan membutuhkan biaya, dan biaya pendidikan walaupun terlampau mahal, seringkali lebih diusahakan dan dimaafkan daripada dilawan atau ditinggalkan.
“Saya heran ada orang yang mau-maunya menggantikan peran seorang ibu,” ucapnya datar.
“Anggap saja itu takdir saya,” ucap saya, seperti adu datar dengannya.
Saya lihat jam dinding, seharusnya Ganis sudah pulang. Ia akan dengan rapi menaruh sepatu pantofelnya, melepas rok dan baju, dan cuma berkeliling rumah tanpa mengambil apapun dalam lemari. Lantas menengok kolam ikan, dan melihat koi putih favoritnya di sana. Ia masih sama seperti waktu ia kecil dulu; wajahnya yang manis; ada jiwa kanak-kanak yang selalu tertinggal di wajah itu; jiwa yang sudah ada sejak kami tumbuh bersama.
Mengganti Ibu untuk selama-lamanya adalah kutukan; kita tidak bisa pergi dari rasa tanggung jawab. Sudah ribuan kali Ganis pulang-pergi setiap hari. Tetapi setiap hari selalu menggenang rasa khawatir pada diri saya; kasih sayang yang luber, tumpah ke mana-mana.
Perasaan seperti itu juga ada untuk Gendis, walau mereka sama sekali berlainan dalam segala hal, kecuali rupa dan usia. Ya, Gendis lebih mirip Bapak dalam perilaku, tapi untunglah Bapak telah lama pergi sebelum Gendis berhasil menirunya seratus persen. Dan Ganis, ia seperti Ibu, selalu menerima perlakuan Gendis terhadapnya, sebagaimana Ibu selalu menerima perlakuan Bapak, sebelum Bapak pergi begitu saja untuk selamanya.
Ketika saya menggantikan Ibu, mungkin Ganis turut menggantikan peran kakak yang sebelumnya saya jalankan, menggantikan saya untuk Gendis. Ganis pintar mengatur uang, tapi di hadapan Gendis, ia adalah wanita bodoh. Uangnya tak pernah tersisa, itu disebabkan karena ia suka berbagi dengan saudaranya. Sedangkan saya tidak mau membiayai Gendis kalau dia tidak tinggal di rumah. Siapa yang tahu uang saya akan dipakai untuk hal-hal yang tidak baik?
Tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan gerbang. Saya segera mengambil kumpulan kunci di pintu dan bergegas ke gerbang yang garasinya dinaungi kanopi itu.
Ada Gendis,” ucap saya pada Ganis yang langsung tersenyum begitu keluar dari mobil. Kami masuk ke ruang tamu.
Kini, satu keluarga telah lengkap: seorang ibu, seorang kakak, dan seorang adik. Tanpa Bapak. [T]
Gang Metro-Belencong, 12 Maret-16 September 2021
___
Klik dan baca CERPEN lainnya