Ada orang berbuih-buih bicara soal pertanian organik, tapi tak melakukan apa pun untuk membuat orang percaya pada omongannya. Adanya orang yang diam-diam melakukan sesuatu, agar pertanian organik bisa dipercaya sebagai sistem bercocok-tanam yang lebih baik.
Saya, ketika berkunjung ke Desa Panji, menemukan salah satu orang yang tak banyak omong tapi sukses menciptakan iklim bertanam secara organik.
Dia adalah I Gusti Ngurah Agung Sukertayasa. Sosok anak muda ini dulunya bekerja sebagai waiter di perusahaan kapal pesiar ternama di dunia. Dia bekerja selama hampir 14 tahun. Namun karena kondisi pandemi, dia banting setir menjadi pembuat media organik.
Awalnya Pecinta Bonsai
Pria kelahiran tahun 1983 ini sudah dua tahun terakhir menekuni usaha pembuatan media tanam organik di rumahnya sendiri di Desa Panji, Sukasada, Buleleng. Ide ini muncul begitu saja, dia adalah penggemar bonsai. Saat itu dia selalu membeli media organik untuk tanaman bonsainya.
Lama-lama, timbul niatannya untuk belajar membuat media tanam organik secara mandiri. Gayung bersambut, niatan ini terwujud setelah mendapatkan dorongan dari kakak sepupunya, Gusti Kadek Susila.
Kakak sepupunya ini adalah seorang pendamping petani di perusahaan pupuk nasional, yang sudah lama berkecimpung di dunia pertanian dan sangat memahami permasalahan tanam-menanam di lapangan.
Dengan pengetahuan teknis yang dia dapatkan dari Gusti Kadek Susila, akhirnya membuat Ngurah Agung memberanikan diri untuk bereksperimen di rumahnya. Dia menggunakan dua buah bangunan yang dulunya digunakan sebagai bekas gudang pengeringan tembakau di halaman rumahnya. Perjuangannya tidak sia-sia, akhirnya dia berhasil membuat media organik yang olehnya diberi merk Taman Subur.
Dalam waktu dua minggu, usahanya ini mampu menghasilkan sekitar 5 ton media organik. Untuk pemasarannya sendiri, produk media organik ini sudah merambah kemana-mana, bahkan sampai ke wilayah Bangli.
“Media niki biasanya digunakan untuk tanaman komoditas mulai dari cengkeh, duren hingga tanaman bonsai, tiang dibantu oleh beberapa teman yang juga bergerak sebagai reseller, jadi produk kami sudah tersedia di beberapa wilayah di Bali,” kata Ngurah Agung.
Bahan Baku Tahi Sapi
Kendala yang dihadapi selama ini adalah bahan baku “Kalau musim hujan sangat sulit untuk mendapatkan kotoran sapi, karena kotorannya basah, itu saja yang menjadi kendala ketika saya harus memproduksi pupuk untuk keperluan musim penghujan,” katanya.
Selama ini kebutuhan untuk pasokan bahan baku memang berasal dari sekitar desanya. Ada juga yang didatangkan dari wilayah luar Buleleng seperti untuk cocopit hingga kotoran kambing.
Masyarakat petani di sekitar Panji yang memiliki ternak sapi tentu saja senang dengan usaha yang dirintis oleh Ngurah Agung. Mereka bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari menjual kotoran sapi yang dihargai sekitar Rp. 10.000 untuk satu kampil.
“Masyarakat di sini sudah pada tahu, jadi ketika mereka memiliki stok kotoran sapi, mereka akan datang ke rumah untuk mengambil kampil, dan setelah terisi mereka langsung membawakannya kemari,” kata Ngurah Agung.
Proses Pembuatan
Proses pembuatan media organik ini melalui tahapan yang lumayan panjang. Bersyukur dalam menjalankan usahanya Ngurah Agung dibantu oleh dua orang pekerja yang berasal dari desa setempat.
Bahan baku yang digunakan terdiri dari kohe kambing (kotoran kambing), kotoran sapi, cocopit, kapur, arang sekam serta activator organik. Semua campuran media, kecuali activator organik dihaluskan dengan mesin pencacah sampai hancur, semua bahan lantas diaduk dan dimasukkan ke dalam tempat fermentasi. Untuk activator organik sendiri mesti dilarutkan dalam campuran air, untuk kemudian digunakan untuk menyiram media yang sudah hancur, untuk kemudian dilanjutkan ke tahapan fermentasi.
Proses fermentasi dilakukan dalam rentang waktu dua minggu, dan proses pengadukan mesti lakukan dengan rutin karena fermentasi ini menggunakan teknik aerob atau memerlukan bantuan udara untuk membantu proses fermentasi dan pelapukannya.
Untuk membedakan media yang sudah jadi dengan yang masih fermentasi gampang sekali, masukan tangan, kalau media masih panas itu artinya media masih mengalami proses dekomposisi. Sementara jika sudah dingin , itu artinya media sudah siap digunakan.
Karena penasaran, saya masuk ke ruangan fermentasi, dan memang di dalam terasa suhu agak panas. Sementara untuk mengecek media yang sudah jadi, saya memasukan tangan ke media yang sudah jadi, dan memang terasa sangat lembut dan juga sejuk.
“Untuk satu kampil yang terisi 10 kilogram media organik ini, saya menjual dengan harga Rp. 15.000, jika mau ngambil dalam partai banyak, tentu akan diberikan harga khusus,” kata Ngurah menambahkan.
Tanpa berpikir lama, saya memutuskan untuk memesan sekitar 10 kampil media organik, rencana media organik ini akan saya gunakan untuk campuran media tanam projek percontohan Lumbung Pangan Keluarga dengan menanam tanaman komoditas jahe merah di kebun belakang rumah saya.
Suka Berkebun Juga
Tidak hanya melihat tempat pembuatan media organik, saya juga penasaran dengan isi pekarangan rumahnya, lalu kami putuskan untuk keliling sejenak. Di sana saya melihat areal kebun vanili, tepatnya di sebelah barat rumah Ngurah Agung, dia menceritakan kalau vanili ini hanya sekadar untuk memanfaatkan pekarangan yang tersisa saja. Ngurah lantas mengajak saya melihat areal taman bonsai.
Di depan halaman rumahnya saya juga melihat beberapa koleksi tanaman alpukat yang dia tanam di pot. Ngurah Agung tampaknya memang hobi berkebun, lengkap sekali koleksinya.
Belum puas menunjukkan koleksi tanamannya, Ngurah Agung mengajak saya ke belakang untuk melihat peternakan ayam kampung, dan memang ayam kampung itu dilepas liarkan dalam petakan lahan yang di sekitarnya juga ditanam tanaman pisang lokal.
“Lumayan juga beternak ayam kampung, telornya bisa saya jual di warung tetangga untuk tambahan kebutuhan keluarga,” gumam Ngurah Agung.
Melihat apa yang dilakukan Gusti Ngurah Agung Sukertayasa, saya teringat dari program kemandirian pangan dari pekarangan yang selama ini menjadi impian semua orang, bagaimana masyarakat mesti berperan aktif dalam mengusahakan urusan pangan secara mandiri.
Dan itu bisa dimulai dari pekarangan rumah tangga masing-masing, kalau kami di Koperasi Pangan Bali Utara menyebutnya dengan program Lumbung Pangan Keluarga.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Ngurah Agung ini benar-benar sangat menampar, dia tidak hanya telaten dalam urusan hospitality services di dunia pariwisata, tapi dalam dua tahun dia bisa membuat hasil karya yang sudah bisa memberikan sumbangsih bagi masyarakat. Pandemi ini membawa berkah bagi mereka yang selalu melihat hal positif dari sebuah peristiwa. [T]
___
Baca artikel lain dari jurnalis warga TOBING CRYSNANJAYA
Percayalah, Berkebun di Halaman Rumah Bisa Sebabkan Listrik Gratis
Bermainlah ke Mandul di Panji | Ada Jahe Merah Hangat dan Mariani yang Petani
Cerita Nasi Jinggo Ayam Kampung dari Kopabara untuk Warga Isoman di Buleleng
Tok, Tok, Tok…! Sudang Lepet Made Suarti pun Pipih dan Gurih
Kopi Susu + Telur Ayam Arab Setengah Matang | Legenda Ngopi di Kota Tua Singaraja