Di jalan itu cuma ada seekor anjing. Hitam. Besar. Bulunya lebat. Ekornya buntung. Matanya tajam seperti mata pedang.
Jalan itu sepi. Jalan kecil yang merupakan cabang dari jalan yang lebih besar. Tadi Kiki berada di jalan yang lebih besar itu, berjalan sendirian sembari membayangkan bagaimana caranya menyelesaikan cerita yang sudah telanjur ditulisnya.
Kiki juga memikirkan mimpinya. Semalam, sebelum tertidur di lantai, dia memang sempat berpikir untuk menulis sebuah cerita. Sudah lama dia tidak menulis, tepatnya sejak dia disibukkan oleh pekerjaan menjadi editor buku-buku praktis. Suatu pekerjaan yang membuatnya bosan bukan kepalang. Kemarin seluruh pekerjaan itu sudah selesai, jadi dia akan punya cukup waktu untuk menulis cerita. Kiki tidak betul-betul ingat sejak kapan dia suka menulis cerita, atau tepatnya suka pada cerita. Tapi dia ingat cerita pertama yang didengarnya adalah cerita dari seorang kawan masa kecilnya tentang seekor anjing. Kata kawannya, anjing itu adalah anjing setan.
Sebenarnya cerita tentang anjing itu tidak pernah tuntas, tak pernah ada kelanjutannya. Cuma sampai pada adegan di mana kawannya itu berhadap-hadapan dengan seekor anjing di sebuah cabang jalan. Setiap kali cerita akan beranjak ke bagian selanjutnya, kawannya itu akan berhenti lantas mengatakan kalau ia ingin kencing, atau merasa lapar, atau tiba-tiba mengantuk. Waktu Kiki sudah dewasa dan terbersit keinginan untuk menjadi penulis, dia berusaha menulis cerita tentang anjing itu, tapi tak pernah berhasil. Dia telah menulis cerita tentang berbagai peristiwa dengan berbagai gaya, semua berhasil diselesaikannya, kecuali cerita tentang anjing itu. Sudah sering bolak-balik dia periksa bakal ceritanya tapi tak juga ditemukan di mana letak kesalahan yang membuat cerita tentang anjing itu selalu macet.
Barangkali karena semalam sebelum tidur dia kembali berpikir untuk menulis cerita tentang anjing itu, dia pun bermimpi tentang anjing. Dalam mimpi dia melihat dirinya sedang berjalan sendirian. Ketika memasuki cabang jalan yang lebih kecil, dia melihat seekor anjing. Hitam. Besar. Bulunya lebat. Ekornya buntung. Matanya tajam seperti mata pedang. Kiki merasa bergairah meski ada pula bagian dirinya yang menggigil ketakutan. Di jalan itu tidak ada siapa-siapa. Tepi-tepinya dibatasi tembok-tembok rumah dengan semak-semak liar tumbuh sehat di bawahnya. Kiki dan anjing itu berhadap-hadapan. Pasti ini anjing setan, pikir Kiki. Tampaknya perkelahian akan segera terjadi kalau saja bunyi spiker dari masjid tak jauh dari rumahnya membuat mimpi itu pecah dan Kiki harus kembali ke dunia nyata.
Terjaga sedini itu sama sekali bukan masalah bagi Kiki, tapi pupusnya mimpi tentang anjing itu membuatnya sedikit jengkel. Dengan malas Kiki naik ke tempat tidur, bergelung memeluk bantal, berusaha kembali memasuki alam tidur. Tidak bisa. Seperti biasa bila sudah terjaga matanya akan senantiasa menolak bila diajak menjejak ke luar alam nyata. Dia bangkit, membuka seluruh pakaiannya lalu dengan telanjang bulat masuk ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya berkali-kali. Diam-diam dia bersumpah, hari ini cerita tentang anjing setan itu harus berhasil dituntaskannya.
Puas mengguyur dan menggosok tubuh dengan sabun Kiki keluar kamar mandi dengan perasaan lebih tenang. Dia sedikit geli dengan ulahnya tadi, memakai tiga macam sabun seakan-akan tubuhnya penuh najis dan butuh lebih dari satu kali bilasan untuk menyucikannya. Tapi dia memang merasa suci setelah itu. Bersamaan dengan perasaan suci itu, dia ingat, sampai berusia tiga puluh tahun ini dia belum pernah menyentuh atau disentuh laki-laki. Bahkan sejauh yang bisa dia ingat, tak pernah ada laki-laki yang mendekatinya dan sebaliknya tak pernah ada laki-laki yang menarik minatnya. Meski begitu tak pernah pula dia berpikir kalau dirinya menyukai sesama jenis. Dia punya beberapa kenalan perempuan -tak pernah ada hal-hal aneh di antara mereka.
Kenyataan yang seakan baru disadarinya itu tak membuat Kiki penasaran. Itu bukan hal yang penting. “Lalu apakah yang penting? Sebentar, mmh, mungkin pekerjaan.” Kiki berpikir-pikir sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk, lalu handuk yang sama menggelung rambutnya yang panjang dan basah. “Pekerjaan juga tidak begitu penting,” ujarnya menyimpulkan. “Aku memang tak bandel dalam pekerjaan. Aku selalu menuruti semua permintaan atasanku. Tapi itu bukan karena aku takut kehilangan pekerjaan. Berhenti bekerja di sana tidak akan menjadi masalah besar. Aku bisa cari pekerjaan lain. Kalau tidak ketemu juga, tidak masalah.”
“Mungkin kebahagiaan orangtua lebih penting.” Kiki tertawa-tawa saat pikirannya baru saja selesai dengan kalimat itu. “Kebahagiaan orangtua? Ayolah, aku bahkan tidak betul-betul paham maksud kalimat itu,” serunya pada bayangannya sendiri yang terpantul di cermin rias. Tubuhnya telanjang tapi dia tak punya niat sedikit pun untuk mengamati tubuh itu. Meski merasa pikiran tentang orangtua itu menggelikan, dia tetap ingat pada orangtuanya. Ayahnya seorang sipir penjara yang pernah dipenjara gara-gara dianggap lalai membiarkan seorang tahanan kabur. Meskipun ayahnya sudah beratus-ratus kali bilang bahwa beberapa waktu sebelum kejadian itu dia diminta atasannya untuk membeli ayam geprek, tak ada seorang pun yang percaya. Ayahnya memang tak punya bukti yang kuat, sebab kata ayahnya penjual ayam geprek tidak membuka dagangannya malam itu. Ketika penjual ayam geprek dikonfirmasi, dia mengaku kalau malam itu dia membuka dagangannya seperti biasa, bahkan dia juga menambahkan kalau malam itu dia menyediakan lebih banyak ayam geprek dari hari-hari biasanya.
Waktu ayahnya dipenjara, ibunya mengambil tabungan dan membuka usaha. Tak disangka dagangannya laris luar biasa. Konon penjual ayam geprek langganan atasan ayahnya sampai menutup usaha. Atasan ayahnya berpindah menjadi langganan ayam geprek ibunya. Sering ibunya datang ke kantor atasan itu untuk mengantar ayam geprek. Bahkan seluruh staf di rumah tahanan tempat ayahnya dipenjara juga menjadi langganan. Karena itu ibunya jadi sering datang ke rumah tahanan. Tentu saja setiap kali datang dia sempatkan menengok suaminya. Mereka tampak bahagia.
“Mereka sudah bahagia sejak lama, jadi memikirkan kebahagiaan mereka adalah usaha yang sia-sia,” demikian simpulan Kiki sekaligus menutup cerita tentang orangtuanya yang tadi diingat-ingat untuk dirinya sendiri.
Setelah mengenakan pakaian –kaus tipis warna hitam berleher rendah dan celana panjang dari kain lentur warna merah- yang menampakkan bentuk tubuhnya yang matang dan imajinatif, Kiki beranjak ke dapur, membuat roti bakar dengan lapis margarin dan gula pasir, serta setengah gelas susu. Kiki meletakkan makanan dan minuman itu di meja lalu membuka pintu, menyibak hordin jendela dan memandang ke jalanan. Pagi masih mentah, bias matahari dari belakang rumahnya baru sedikit saja tumpah ke halaman. Kiki melihat langit, tak ada apa-apa di sana. Lalu apa yang penting? Mungkin kawan masa kecilnya itu; si pengisah anjing setan. Kiki mau mengingat-ingat soal kawannya itu, tapi langsung dibatalkan. Dia lebih teringat pada sumpahnya tadi; cerita tentang anjing setan itu harus beres hari ini. Di meja yang sama di mana terletak roti bakar dan setengah gelas susu, Kiki lantas membuka mesin tulis dan menulis sederet kalimat:
Di jalan itu cuma ada seekor anjing. Hitam. Besar. Bulunya lebat. Ekornya buntung. Matanya tajam seperti mata pedang.
Kiki membaca pelan-pelan tulisannya. Adegan itu sudah persis dengan mimpinya semalam. Mungkin karena sudah lama tidak menulis, saat akan menulis dia jadi mudah macet. Dia pernah mendengar kalau situasi semacam itu kerap menimpa para penulis. Tapi bagaimana pun juga dia sudah bersumpah, segala upaya harus dilakukan agar cerita tentang anjing setan itu selesai. Kiki segera menghabiskan sarapannya lantas tanpa menaruh perabotan makan di wastafel, dia mengambil sweater dan beranjak keluar. Mesin tulis dibiarkan menyala, bahkan pintu depan tak dikuncinya. Dia perlu berjalan-jalan sebentar untuk memanjangkan tali imajinasinya.
Berada di luar rumah, di tengah-tengah alam dan kenyataan, terasa bagi Kiki seperti berada dalam cerita fiksi. Sesaat dia membayangkan bagaimana kalau dirinya sebenarnya cuma tokoh fiksi yang diciptakan seorang pengarang, yang katakanlah lahir di sebuah kota di mana pernah berdiri pelabuhan lama dan kini sekadar menjadi kota tua semata yang sejak suatu kerusuhan besar semakin sepi dan merana. Katakanlah kota itu bernama Ampenan. “Ya, bagaimana kalau aku sesungguhnya cuma tokoh fiksi yang diciptakan seorang pengarang yang lahir di sebuah kota bernama Ampenan?” Kiki tertawa-tawa kecil meningkahi pikirannya itu. “Kalau memang begitu, dia pasti pengarang yang hebat,” ujarnya lagi.
Jalanan masih sepi. Beberapa penjual penganan pagi belum menggelar dagangannya, kecuali penjual ayam geprek yang mangkal di bawah pohon persis di tikungan menuju jalan yang lebih kecil. Kiki mengamati penjual ayam geprek yang mirip kanak-kanak itu dan teringat sesuatu, tapi dia tetap memusatkan pikirannya pada upaya menyelesaikan cerita yang sudah telanjur ditulisnya. Tanpa disadari dia berbelok ke jalan kecil itu. Jalan yang tepi-tepinya dibatasi tembok-tembok rumah dengan semak-semak liar tumbuh sehat di bawahnya. Kiki terus melangkah. Di jalan itu tak ada siapa-siapa. Di jalan itu cuma ada seekor anjing.*** [T]
Mataram, 23 Januari 2021
_____