Budaya Orientasi Kehidupan Kampus (OKK) dari tahun ke tahun tidak berubah, sama sekali tidak berubah. Buat tugas, bentak-bentak, jemur di lapangan, dan sebagainya. Sejauh ini, siapa pun yang menyaksikan pasti mereka berpendapat, “Mahasiswa baru diperlakukan seperti budak, atau kambing yang seenaknya disuruh-suruh!”
Jika benar anda berpendapat seperti demikian, mari kita berpelukan. Hal ini tidak bisa dipungkiri, dengan sikap senior yang merasa paling benar, paling pintar, paling suci–tentunya luput dari segala noda dan dosa, dan paling berpengalaman seakan mereka tahu segalanya tentang seluk-beluk kehidupan di lingkungan kampus, dengan kedok ini mereka seenaknya memerintah dan membentak-bentak mahasiswa baru yang bisa dikatakan masih polos (sebenarnya saya juga masih polos, sih), Preett!
Pertanyaannya; apa dampak dari penerapan budaya kuno ini? Dari segi mental, budaya ini sama sekali tidak mencerminkan pembangunan mental atau psikis mahasiswa baru. Malah sebaliknya,–membikin mental dan psikis mahasiswa baru menjadi down. Hal ini bisa kita buktikan (silakan buktikan sendiri), ini dampak pertamanya.
Dampak kedua, tidak menutup kemungkinan munculnya keinginan balas dendam sebagai dasar perlakukan kakak tingkat yang sok jago itu, sasaran balas dendam bisa saja ditujukan kepada kakak tingkat karena perlakuannya, bahkan ditujukan kepada mahasiswa baru atau adik tingkat yang akan datang melalui penerapan budaya turun-temurun ini, atau dengan hati terpaksa saya sebut budaya kuno.
Dua hal ini tidak bisa dipungkiri–apapun bisa terjadi. Bukankah tak ada yang mustahil di dunia ini, Bung?
Apa seharusnya yang dibutuhkan oleh kakak tingkat? Yaitu kakak tingkat atau panitia pelaksana membutuhkan inovasi baru terkait penerapan Orientasi Kehidupan Kampus (OKK) ini. Masa’ kakak-kakak panitia tidak bisa membikin konsep kegiatan yang menarik, menghibur, membikin betah, dan menyenangkan hati mahasiswa baru. Katanya mahasiswa… Mahasiswa itu golongan terpelajar, lho.
Saya juga pernah membaca di salah satu buku, dalam buku tersebut mengatakan bahwa, ‘mahasiswa itu golongan yang tersadarkan, sadar, dan yang akan menyadarkan’. Jadi jangan salah, mahasiswa di mata masyarakat itu sebagai orang yang serba ajaib! Maka janganlah terus-terusan berkutat pada budaya kuno yang semestinya sudah menjadi bangkai, sudah terkubur dalam-dalam, atau bahkan sudah terhempas jauh dibawa zaman.
Lagian, apakah sejauh ini ada manfaat secara langsung yang didapat oleh mahasiswa baru dari penerapan Orientasi Kehidupan Kampus model begini? Ada? Ada? Mana buktinya, tunjukan pada saya.. “Ada, Kak. Manfaatnya mahasiswa baru jadi terbiasa dengan perlakuan dosen pada saat perkuliahan nanti.”
Lah, kalian dosen atau mahasiswa?
Setahu saya, walaupun terkesan agak ‘menyeramkan’, dosen itu ada sisi lembutnya juga, lho… Malah gambaran perlakuan yang kalian peragakan lebih kejam daripada perlakuan dosen yang semestinya.
Kembali lagi ke leptop, apabila masih berkutat pada budaya kuno atau bangke ini, budaya yang dengan berat hati saya katakan sebagai budaya ‘ga’ guna. Kalian sepatutnya berhenti ajalah menjadi panitia pelaksana, bikin malu saja. Ini zaman di mana dikenal sebagai revolusi induatri 4.0, Kawan–sudah melampaui modern. Zaman aja sudah melampaui modern, masa’ kalian dan pikiran kalian masih kuno. Bangun, Bambang!!
Jadi kesimpulannya, mahasiswa-mahasiswa yang akan menjadi kakak tingkat bagi mahasiswa baru ke depannya, berpikir keraslah! Berpikir keras! Berpikir! Berpikir! Berpikir! Bila perlu, sediakan waktu khusus untuk berpikir, merenung, dan membayangkan konsep kegiatan Orientasi Kehidupan Kampus yang wahh–yang modern, inovatif, kreatif, dan tentunya terlepas dari budaya kuno dan ‘bangke’ itu (kesal saya, sumpah).
Setidaknya kita bisa kembali pada esensi daripada mahasiswa itu sendirilah. Kalau kita berhasil memikirkan dan merancang konsep baru dan menarik. Maka yakinlah, Kawan, segala bentuk pujian akan berdatangan baik itu dari masyarakat, dosen, rektor, masyarakat, hingga mahasiswa baru. Namun pujian tidak pantas dijadikan tujuan utama, hal ini tiada lain akan membikin lena, membikin mahasiswa merasa puas dan berakibat pada berhentinya kreativitas pada mahasiswa.
Tujuan kalian hanyalah satu,–MEMANUSIAKAN MANUSIA, karena ini tugas pokok mahasiswa, tugas pokok golongan terpelajar, tugas pokok golongan yang tersadarkan, sadar, dan yang akan menyadarkan, bukankah bigitu? Yakinlah! Jadikan ini sebagai pemecut semangat kalian wahai, Kawan mahasiswaku sekalian! Dan yang paling penting, jangan biasakan diri dengan budaya ikut-ikutan. Indonesia memang unik dari segala macam bentuknya, salah satu dari keunikan itu terdapat pada masyarakatnya, yaitu masih terdapat budaya ikut-ikutan dan malas berpikir.
Nah, kita yang katanya sebagai mahasiswa apalagi golongan terpelajar, yah setidaknya janganlah mencontohkan hal yang kurang baik tersebut. Kita ciptakan inovasi sendiri, kreativitas sendiri yang sedikit tidaknya bisa mencerminkan fungsi dan tugas daripada gelar mahasiswa yang kita sandang.
Jika kalian tidak sanggup memikirkan dan merancang konsep kegiatan Orientasi Kehidupan Kampus yang baru dan modern seperti yang telah dijelaskan di atas, kalau begitu kalian minggir saja, berikan kepada saya waktu untuk memikirkan dan merancang konsepnya. Kalian tinggal duduk, seduh air panas dengan kopi, lalu diminum sambil menunggu hasil dari pada konsep yang saya ramcang dan pikirkan. “Kapan rancangan konsep itu akan jadi, Kak?” Sabar, kita lihat saja nanti. [T]
Singaraja, Agustus 2019