Edisi 9/9/19
KOPLAK menggaruk rambutnya yang mulai beruban dengan ujung kuku jempolnya yang panjang. Butiran-butiran ketombe menempel diujung kuku juga di dalam kukunya. Koplak menciumnya baunya sedikit apek, untung tidak ada Kemitir jika ada Kemitir pasti gadis cantik kesayangan Koplak itu akan mendelik, mata Kemitir yang bulat dengan bola mata besar berwarna kecoklatan itu pasti akan menatapnya dengan bersungut-sungut.
Sebetulnya Koplak tahu kebiasaan itu adalah kebiasaan buruk yang bagi Kemitir menjijikkan bagi koplak mengasikkan. Dua orang yang tumbuh bersama, bahkan gumpalan daging Koplak juga ada di daging Kemitir ternyata mereka tetap dua manusia yang memiliki keinginan yang berbeda-beda. Keingingan antara yang satu dengan yang lain tidak bergandengan, keinginan yang juga tidak bisa saling mengerti dan bersahabat. Memang berbeda arus, mau disamakan.
Membayangkan Kemitir saja kadang-kadang sudah membuat Koplak merasa diserang vertigo. Bayangkan jika dirinya menjadi Presiden.
“Kau tidak ingin naik tingkat, Koplak?”
“Naik tingkat apa? Aku sudah lama tidak sekolah. Tidak perlu naik tingkat lagi.”
“Maksudku, apa kamu tidak ingin menjadi Camat? Menjadi Bupati? Menjadi Gubernur? Menjadi Menteri… Menjadi…”
“Presiden! Begitu maksudmu?”
“Ya, Presiden sih terlalu tinggi.”
“Maksudku kau tidak ingin jadi Camat? Minimal daerah kekuasaanmu jadi lebih luas sehingga kau makin eksis.”
“Eksis?”
“Ya, eksis! Kau tahu arti kata itu?”
“Lalu kalau sudah eksis aku dapat apa?”
“Kok dapat apa? Pertanyaan bodoh itu. Kau itu kan kepala desa teladan seluruh Indonesia. Kau harus bangga. Aku sebagai warga saja bangga melihat kau bertemu Preseiden, bersalaman dengan Presiden. Lalu kau berdekatan dengan Presiden juga menteri-menteri yang biasanya kulihat di TV. Apa kau tidak bangga sebagai kepala desa berprestasi? Sebali lagi, kau yang mewakili seluruh kepala desa untuk bertemu dengan Presiden. Kau tidak bangga?”
Koplak terdiam. Bibirnya tiba-tiba saja terasa kaku selama ini sesungguhnya dia bekerja ya untuk desanya. Tidak ada keinginan untuk jadi ini-itu lagi. Jabatannya sudah dua kali, desa yang dipimpinnya berkembang dengan baik, karena dana desa yang diberikan pemerintah memang dikelola Koplak untuk membangun kemandirian desa. Koplak tidak ingin latah membangun kantor desa yang mentereng. Dengan pondasi yang dikelilingi pahatan-pahatan Bali yang ribet dan justru membuat warga desanya enggan bertandang ke kantor Desa.
“Fasilitas harus lengkap dulu, minimal kita memiliki ruang besar untuk berkumpul warga desa,” suatu hari kepala desa seberang berkata pada Koplak ketika Koplak bertandang ke kantornya yang mirip hotel kecil megah dan mewahlah untuk ukuran koplak yang sebagian warganya bekerja bercococok tanam dan memelihara ternak.
“Kau tidak ingin membangun kantor desamu megah?”
Koplak tak menjawab pertanyaan kepala desa itu, yang memiliki kursi besar yang selalu diduduki ketika menerima tamu. Bahkan Koplak sempat menyaksikan bagaimana lagak Kades itu ketika seorang warga masuk keruangannya. Gayanya bak raja, bak bangsawan. Koplak pernah mencoba duduk dikursi milik Kades itu hampir saja dia jatuh terlentang ternyata kursi saang Kades memiliki roda. Koplak merengut kalau dia bekerja dengan kursi seperti itu bisa tidak jadi kerja, tetapi sibuk melatih tubuhnya untuk duduk manis sambil mengeser ke kiri ke kanan, kursi sudah bisa meluncur. Itu yang namanya eksis?
Koplak memang merasa senang bisa diundang Presiden dan ikut merayakan hari kemerdekaan di istana negara bersama ribuan orang-orang yang dianggap Presiden berprestasi dibidangnya. Terus kalau sudah dapat penghargaan sebagai kepala desa teladan seluruh Indonesia mau apa? Apa yang warga dapat dari penghargaan yang diberikan negara pada Koplak? Apakah Koplak akan diundang bicara? Tidak juga?
Apakah Koplak akan diberi kesempatan berbagi ilmu agar pikiran untuk memajukan desa sesungguhnya dimulai dari warga desa yang dibuat mandiri. Mandiri dalam arti warga desa memiliki penghasilan tetap disektor informal. Mandiri panganlah minimal dengan menanam beragam sayur dan umbi-umbian di sekitar pekarangan rumah. Itu hal sederhana yang biasa dilakukan orang-orang Bali pada masa lalu Koplak juga yakin itu dilakukan oleh seluruh orang-orang di desa pada masa lalu, mandiri pangan untuk keluarga dulu.
Makanya jadi orang seperti Koplak tidak boleh benyai, mengandalkan petunjuk dari pusat. Koplak dijabtan kedua ini tidak menginginkan apa-apa toh dia tidak lagi bisa maju jadi Kades lagi. Terus jika ada yang tertarik mencalonkannya jadi anggota ini-itu Koplak tidak tertarik. Baginya merawat desa adalah kemampuannya kerja lain tidak bisa. Apalagi berpolitik, wong KPK yang jelas sudah menunjukkan kinerja baik saja terus diotak-atik.
Bahkan di berita Koplak melihat DPR lagi-lagi mengajukan revisi UU KPK meski sudah berkali-kali ditolak publik. Isi revisinya masih berkutat seputar kewenangan penghentian kasus dan pembentukan dewan pengawas. Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Meskipun KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan, namun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen. Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk kepada peraturan perundag-undangan di bidang aparatur sipil negara
KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun, pelaksanaan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK
Bayangkan KPK yang sudah merombak dan mengaduk-aduk koruptor saja tetap disodok kiri-kanan. Apalagi Koplak? Hanya Kades berprestasi tingkat nasional. Kades! [T]