24 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Khas
Taufik baju hijau saat diskusi puisi Compok Basi, Singaraja

Taufik baju hijau saat diskusi puisi Compok Basi, Singaraja

Taufikur Rahman Al-Habsyi: Puisi Adalah Rumah Tempat Saya Menemui Ibu

Ahmad Anif Alhaki by Ahmad Anif Alhaki
March 16, 2019
in Khas
27
SHARES

“Puisi adalah rumah tempat saya menemui ibu. Karena di dalam rumah itu saya bangun segenap rasa, maka bergetarlah saya menuliskannya. Setelah ibu saya pergi, Tuhan telah menitipkan kesedihan, dan saat itulah saya membangun kesedihan di dalam puisi,”

.

Itulah jawaban dari Taufikur Rahman Al-Habsyi ketika ada seorang sahabat bertanya apa itu puisi dan kenapa dia menulis puisi. Entah itu jawabannya adalah puisi lisan tersendiri atau hanya sekadar rancauan belaka saja, saya tidak berani untuk menundukkan perkara itu secara pasti. Namun, secara subjektif, saya dapat mengatakan kalau perkataan dia itu adalah puisi.

***

Sebelumnya, izinkanlah saya terlebih dahulu untuk mengatakan kepada saudara-saudara sekalian bahwa tulisan ini saya tulis karena adanya kegiatan diskusi dari sebuah perkumpulan kecil bernama Compok Basi sebuah perkumpulan kecil-kecilan yang dirancang oleh seorang mahasiswa aktivis dari Probolinggo bernama Ahmad Nur Amin.

Pada 15 Maret 2019, Jumaat malam kemarin, Compok Basi melakukan kegiatan diskusi dengan tema Bincang Puisi di sebuah kafe di Singaraja. Kegiatan tersebut dimoderatori langsung oleh Ahmad Fanani alias Karni Ilyas muda alias moderator tetap di Compok Basi, dan diisi oleh dua orang pemantik keren.

Pemantik pertama adalah B.B. Soegiono, penulis buku kumpulan puisi Saga Mentari, dan pemantik kedua adalah Taufikur Rahman Al-Habsyi, seorang penyair muda yang sudah menebar puisinya ke beberapa media, serta penulis puisi Irlya dalam ontologi puisi Sabda Palon, sebuah buku yang mana banyak tercatat nama-nama penyair besar Indonesia di dalamnya.

Kegiatan Bincang Puisi itu, pertama-tama dibuka oleh pemoderator dengan membacakan puisi Aku Berlindung Kepada Rindu karya Taufikur Rahman Al-Habsyi, dengan suara yang sedikit gagap tapi menarik sekali bagi kami ketika mendengarkan. Pembacaan puisi tersebut dilakukan oleh Ahmad Fanani dengan sangat serius. Setelah itu, tepuk tangan kami, sahabat-sahabat Compok Basi, serentak heboh sebagai tanda telah berakhirnya pemoderator membacakan puisi.

Setelah usai membacakan puisi, kemudian pemoderator mengemukakan beberapa kata pengantar, seperti pengenalan pemantik walaupun sebenarnya kami di sana sudah pada kenal, pengenalan karya-karya pemantik, serta pengenalan karya-karya pemantik yang ada di media sosial. Ini tidak berlangsung dengan lama, karena waktu dan kesempatan menyampaikan materi pun kemudian diserahkannya kepada pemantik sebelum dilakukan sesi diskusi bersama.

Pemantik pertama, B.B. Soegiono, dia menyampaikan tentang konsep puisi berdasarkan ajaran-ajaran di dalam pendidikan tidak sepenuhnya dapat menyimpulkan hakikat puisi itu sendiri,

“Hakikat dan arti puisi itu sendiri tidak dapat saya paripurnakan di dalam pendidikan. Puisi itu bukan sekadar bahasa yang indah-indah, meskipun bahasa puisi itu indah. Puisi tidak sekadar bahasa, tapi dia adalah kemisteriusan,”

B.B. Soegiono tidak setuju kalau arti puisi itu hanya dipandang sebagai bahasa yang indah saja, karena menurut dia sendiri arti dari puisi itu adalah kemisteriusan. Arti puisi itu lebih bisa dimengerti dengan rasa karena puisi itu sendiri merupakan persoalan rasa.

Sedangkan pemantik kedua, Taufikur Rahman Al-Habsyi, dia lebih kepada pengalaman apa yang sudah dia alami. Berkenaan dengan itu, Taufikur Rahman Al-Habsyi mengartikan puisi seperti ini,

“Puisi adalah rumah tempat saya menemui ibu. Karena di dalam rumah itu saya bangun segenap rasa, maka bergetarlah saya menuliskannya. Setelah ibu saya pergi, Tuhan telah menitipkan kesedihan, dan saat itulah saya membangun kesedihan di dalam puisi,”

—–

Tulisan Taufik tentang Ibu:

  • Harapan 2018: Kuajak Ibu ke Bali, Lihat Kos dan Kampusku, Tapi Tuhan Mengambilnya

—–

Ini adalah jawaban Taufikur Rahman Al-Habsyi atas pertanyaan seorang sahabat Compok Basi tentang bagaimana pendapat dia mengenai arti puisi dan kenapa dia menulis puisi.

Jawaban tersebut kemudian disambut dengan tepuk tangan yang meriah. Entah kenapa, saya sendiri terpaku dengan jawaban ini, saya pun mencatatnya di dalam buku catatan, dan sekarang ini saya tulis ucapan itu di dalam tulisan saya yang tidak apik ini.

Taufikur Rahman Al-Habsyi juga menceritakan kalau puisinya terlahir karena seorang ibu. Kekuatan puisinya itu bukanlah karena dia yang menuliskan, tapi karena ada seorang ibu di balik puisi-puisi itu, ialah ibu yang sudah pergi. Ia merasa Tuhan menitipkan kesedihan sehingga sampai pada akhirnya dia mampu membangun kesedihan itu menjadi puisi-puisi.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Compok Basi bisa berjalan dengan baik. Banyak sahabat-sahabat Compok Basi yang membacakan puisi-puisi di kafe tempat kegiatan diskusi itu dilakukan. Bahkan ada juga yang membacakan statusnya sendiri yang dia anggap sebagai puisi untuk sementara saja.

Akhirnya kegiatan diskusi usai. Pembicaraan itu ditutup oleh masing-masing pemantik. B.B. Soegiono menutup dengan cara membacakan satu puisinya. Sedangkan Taufikur Rahman Al-Habsyi menutup dengan membagikan pengalamannya ketika menulis puisi. [T]

Tags: Compok BasiibuPuisiSingarajaUndiksha
Ahmad Anif Alhaki

Ahmad Anif Alhaki

Biasa dipanggil Anif. Lahir di Sumatera Barat. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa di jurusan Penidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Tak tahu hobinya apa, tapi merasa senang menulis.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Ilustrasi: Dek Omo
Opini

Kemiskinan dan Upacara, Mendapat dan Memberi

KEMISKINAN, di Bali, bisa berarti sebuah upacara. Warga Desa Trunyan di Desa Kintamani, Kabupaten Bangli, sebelum berperilaku menjadi manusia miskin ...

February 2, 2018
Kilas

12 Jiwa Korban Longsor – Mari Berdoa untuk Kintamani

LUPAKAN sejenak Kintamani yang indah. Mari berdoa agar tak ada susulan bencana longsor, banjir atau angin kencang. Sudah 12 warga ...

February 2, 2018
Dewa Purwita Sukahet.//Time-and-Space
Esai

Apa yang Dilampaui?

Film Doctor Strange, produksi Marvel Cinematic Studio berhasil mempertemukan pemikiran Timur dan Barat tentang ruang dan waktu. Medianya adalah batu ...

October 31, 2020
Tabu Project, peraih hibah Seni Kelola 2019 dalam kategori kolaborasi. Pementasan berlangsung di Cush-Cush Gallery, Denpasar, Bali.
Ulasan

Usai Menonton Tabu Project, Mana Yang Lebih “Tabu”?

Sabtu, 7 Desember 2019 adalah hari kedua dilaksanakanya pementasan oleh Tabu Project, peraih hibah Seni Kelola 2019 dalam kategori kolaborasi. ...

December 12, 2019
Ilustrasi: Putik Padi
Esai

Matahari, Krayon Kuning dan Krayon Orange – Dongeng Pendidikan tentang Warna

MATAHARI terbangun dari tidurnya karena sudah waktunya menyinari bumi. Matahari memberikan pagi yang cerah kepada makluk hidup. Akan tetapi, Matahari ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ni Nyoman Sri Supadmi
Esai

Teknologi Berkembang, Budaya Bali Tetap Lestari

by Suara Perubahan
January 23, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1355) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In