20 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Cerpen
Lukisan: Komang Astiari

Lukisan: Komang Astiari

Kambing-Kambing

Kim Al Ghozali AM by Kim Al Ghozali AM
February 16, 2019
in Cerpen
11
SHARES

Di mana-mana tebalnya langit selalu sama, begitu juga jaraknya dengan bumi, baik dengan bumi bagian selatan maupun bagian utara.

Yang menjadi pembeda, tentu adalah bagaimana kita memandangi, memposisikan maupun merenungi langit itu. Apakah ia hanya sebagai kanvas biru yang mahaluas, sebagai atap untuk berlindung dari meteor yang jatuh, sebagai batas penglihatan mata kita agar tidak memandangi hal-hal aneh di luar bumi, atau mungkin juga langit sebagai padang luas di mana Tuhan menggembalakan peri-perinya.

Peri-peri dengan jumlah yang ribuan mengepakkan sayapnya dan mengawasi keberadaan manusia di bumi. Mungkin juga ada beberapa peri yang tersesat ke bumi karena melewati batas teritori, lalu menjelma jadi kupu-kupu atau burung perinjak, hinggap di pekarangan yang penuh bunga, dikejar-kejar anak-anak kampung kemudian ditangkapnya, atau mereka tersesat ke kota yang kumuh, pesing dan bising.

Aku yakin langit yang maha luas itu mempunyai ujung dan di ujung sana kerajaan Tuhan berdiri megah, dengan altar dilapisi permadani emas dan mengalir sungai-sungai anggur, sungai-sungai madu, juga taman-hutan di mana pohon-pohonnya berbuah cahaya.

Hal yang seringkali kulakukan ketika berada di padang rumput adalah berlama-lama memandangi langit, lama sekali. Sebab aku merasa, aku sedang memandangi Tuhan di nun sana, dan Tuhan membalas memandangi sambil sesekali mengerdipkan matanya kepadaku. Aku suka berlama-lama tiduran di bawah pohon besar di padang rumput, bercakap-cakap dengan angin semilir dan menyenandungkan syair untuk kambing-kambingku.

Pada hari-hari berikutnya ketika musim kemarau semakin panjang dan rumput-rumput semakin kering, aku masih suka memandangi langit yang berkelir itu. Namun rasa suntuk tak bisa kuhindari, maka setiap pergi ke padang rumput selalu kubawa bekal berupa buku. Buku itu, jika tidak terlalu tebal biasanya aku tuntaskan dalam sehari. Buku yang aku baca pun beragam, ada sejarah, sastra, sosial, biografi, filsafat maupun teologi.

Pernah suatu ketika pada pertengahan musim dingin, di mana rumput-rumput mencapai puncak kehijauannya dan pohon-pohon semakin berat membawa beban daun-daun, aku tertidur di bawah pohon besar saat menggembala kambing-kambingku. Rasanya nikmat sekali, angin memijit-mijit punggungku dan cahaya matahari yang bersinar lewat celah daun-daun memanjakan tubuhku dengan cara menghangatkannya.

Dalam sekilas aku disergap sebuah mimpi aneh, segerombol orang mendatangiku, berjubah cahaya dan bertongkat yang terbuat dari bambu. Mereka mengeliliku namun tidak berkata-kata. Kemudian mereka menyentuh tubuhku, aku merasakan dingin yang begitu hebat. Kulitku seolah ditusuk-tusuk oleh jarum yang terbuat dari bongkahan es batu. Hanya beberapa detik kejadian dalam mimpi itu, aku tersadar dan masih berada di posisi semula, di bawah pohon besar, di antara batu-batu besar dan sebuah buku yang kubawa.

Aku tersentak ketika kupandangi sekelilingku kambing-kambingku lenyap dari pandangan. Tak ada angin, tak ada suara berisik burung-burung. Hanya kabut yang tampak di kejauhan, di bawah gunung-gunung yang menjulang di nun cakrawala sana.

Aku tak mendengar rengekan ataupun melihat jejak kambing-kambingku. Sirna. Tak ada saksi, bahkan langit yang seperti cermin bumi itu pun membisu. Dengan perasaan linglung aku bangkit dan berjalan mencari kambing-kambingku. Kulihat di lereng-lereng di sekitar tapi tak ada. Kutelusuri dan terus kucari di jalanan setapak di antara semak dan pohonan besar juga tak ada.

Hingga akhirnya sampai ke sebuah sungai yang curam di mana lereng-lerengnya dipenuhi pohon-pohon melata dan hampir menutupi sebagian sungai. Namun bukan tempat asing bagiku, sungai itu biasa aku kunjungi di sore hari ketika masih kecil bersama beberapa teman sepermaian. Kami biasa memancing ikan di tempat itu, walaupun  sebelumnya kami seringkali dilarang oleh orang-orang tua untuk pergi ke sana karena orang-orang tua di kampung kami meyakini sungai tersebut adalah tempat para setan berkumpul.

Matahari semakin matang dan sinarnya mulai tampak redup, sedangkan kambing-kambingku belum ada tanda-tanda, pergi atau dicuri orang. Tapi aku tidak yakin jika kambing-kambing itu kabur begitu saja. Sudah tiga tahun aku menggembala kambing dan tidak sekalipun kambing-kambingku kabur dalam waktu yang singkat dan bersama-sama. Dan aku juga tidak yakin jika kambing-kambingku dicuri orang. Di kampung ini banyak sekali orang memelihara kambing dan belum pernah ada riwayat pencurian kambing selama sepuluh tahun terakhir.

Bumi mulai malam. Aku terus berjalan di pinggir sungai mengikuti aliran air, di bawah pohon-pohon dengan akar-akarnya yang melilit batu-batu cadas yang mesti kulintasi. Gemerincik air seperti nada lirih, terkadang membuat bulu kudukku merinding. Gelap membuat kakiku terbata-bata menyusuri lereng-lereng sungai itu.

Akhirnya aku sampai di sebuah campuhan sungai di mana tempatnya sangat rindang, tak ada pohon dan semak liar mengelilingi, sehingga bulan yang muncul di malam itu mampu menerangi sungai. Di campuhan itu kudapati arus sungai tak lagi deras dan airnya sangat bening bak kaca jendela sebuah hotel, sehingga segala yang ada di dasar sungai menjadi kelihatan. Dan bulan yang bulatnya hampir sempurna, memantul di permukaan air—seperti perawan yang sedang bersolek.

Namun tiba-tiba aku tersentak, mataku terbelalak, aku melihat hutan di dalam air yang bening itu. Aku melihat pohon-pohon aneh dengan ranting yang menjalar dan penuh bunga warna-warni. Aku melihat aneka buah segar bergelantungan. Aku melihat sungai (di dalam sungai itu) dengan aliran air yang tenang dan bening. Aku melihat padang rumput yang luas.

Lalu tiba-tiba mataku menangkap kambing-kambingku berlarian di sana. Mereka tampak lebih gemuk, sangat bersih dan putih sekali bulu-bulunya, juga kelihatan halus bagaikan sutra. Namun aku masih mengenali mereka, masih mengingat ciri-ciri setiap kambingku. Ya, itu kambing-kambingku! Tapi mengapa mereka ada di sana? Di dalam airkah itu atau di langit dan tercermin di sungai yang bening ini?

Aku mendongak ke langit berbulan itu, dari ujung ke ujung. Surgakah di sana?  Namun hampa, tak ada apa-apa. Atau mungkin hanya aku yang sedang bermimpi?

Tidak. Aku tidak sedang bermimpi. Aku melihat dengan mata sadar, kambing-kambingku di sana, di padang rumput yang indah itu. Namun pertanyaan itu mendesis lagi dalam diriku: Surgakah itu?

Bukan! Jawabku sendiri. Kambing-kambingku belum mati, tentu ia tidak mungkin bisa masuk surga karena surga hanya bisa dijangkau setelah kematian. Kambing-kambingku masih ada di sekitar sini, di sekitar aliran sungai ini. Ia hanya tersesat dan tak tahu jalan pulang. Kakinya masih berpijak di bumi, di antara rumput dan kerikil-kerikil basah. Bukan di atas sana di antara peri-peri di padang abadi.

Setelah aku mendongak ke langit dan termenung sejenak, sejurus kemudian kukembalikan penglihatanku ke bawah, ke air sungai itu. Aneh, pemandangan indah yang seolah miniatur surga di dalam etalase dan kulihat sekilas tadi dan kutinggalkan sebentar mendongak ke atas ternyata sudah tak ada lagi. Berganti sungai yang dangkal dengan airnya yang cukup keruh—seperti air yang kujumpai di hulu—serta kulihat batu di sana-sini. Bulan yang bundarnya hampir sempurna tak bercermin lagi.

Ke manakah larinya bayangan itu? Ke manakah perginya penghilatan itu? Atau mungkin tirai ajaib yang melekat di mataku, yang tadi terbuka kini tertutup lagi. Aku berdiam sejenak sebelum akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan, mencari kambing-kambingku.

Aku menyeberangi sungai. Aku menaiki sebuah lereng rendah. Di balik lereng itu menghampar persawahan. Sawah-sawah kosong sehabis panen jagung. Hanya rumput-rumput kecil yang memenuhi tanahnya. Suara jangkrik seperti menyambutku dengan melagukan himne dewa-dewi penjaga tanaman. Kutaksir waktu sudah sekitar jam sembilan malam. Mulai terasa berat rasanya kakiku karena kelelahan.

Aku melangkah menuju pematang, kemudian duduk di situ, mengistirahatkan badan. Kurogoh tasku—tas yang kubuat sendiri dari kain—mencari rokok dan air botol yang kutaruh bersama buku. Setelah itu aku tak ingat lagi apakah sampai selesai merokok atau aku telah tertidur sebelum rokokku habis.

Hingga akhirnya kudapati diriku di sisi pematang setelah tersadar dari lelap dan matahari mulai meninggi. Ya, sudah pagi lagi. Apakah aku pingsan atau hanya tertidur semalam? Rasanya itu tak terlalu penting, karena ada hal lebih penting yang ‘kan kuceritakan tentang mimpiku semalam: 

Aku merasa berada di ruang hampa. Aku seperti menginjak awan musim kemarau. Putih di sekelilingku dan sunyi sekali. Aku merasa takut namun aku tak bisa berteriak. Hanya mampu berkata-kata pelan, ya pelan sekali, “Di mana aku di sini?”

Aku kira aku sudah mati dan berada di sebuah ruang—mungkin semacam ruang karantina—batas antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Namun  kenapa di sini tak ada malaikat? pikirku saat dalam mimpi itu. Jika aku memang sudah mati, apa penyebab kematianku? Terjatuh ke jurangkah saat mencari kambing-kambingku atau dijahati orang di kegelapan hutan?

Dan dalam mimpi  aku melihat kabut tebal di kejauhan. Selang beberapa detik kabut itu sirna, lalu muncul gerombolan anak kecil yang berpakaian serba putih dan bersayap di punggungnya. Mereka berlarian layaknya anak-anak kampung bermain petak umpet. Satu persatu mendekatiku. Setelah semuanya berada di depanku, mereka serentak berkata:

“Ayah, kami anak-anakmu sudah damai di sini. Ayah tak perlu lagi mencari kami, karena yang demikian itu hanya akan menjadi perbuatan sia-sia. Kami bisa melihat ayah di bawah sana, kapan saja kami mau. Jika sewaktu-waktu ayah merindukan kami, carilah kami di surga!”[T]

Denpasar, 2015

Tags: Cerpen
Kim Al Ghozali AM

Kim Al Ghozali AM

lahir di Probolinggo, Provinsi Madura Swasta dan kini menetap di Denpasar. Menulis puisi, cerpen dan esai.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Raka Sutama disambut meriah di Puspem Badung
Khas

Raka Sutama, Kegembiraan Usai Pilpres, Bayar Kaul Bersepeda Keliling Bali

Bukan Made Raka Sutama namanya kalau tidak menepati janji. Salah satu sifat khas Pak Made Raka adalah selalu menepati janji. ...

May 20, 2019
Ilustrasi Juli Sastrawan
Esai

Cinta Kasih Bisa “Ngambul”, Kasih Sayang itu Abadi

BERBICARA soal cinta memang tidak akan berujung. Rumit iya, sederhana iya, angkuh iya, arogan iya, bahagia juga iya. Atau mungkin ...

February 21, 2018
Foto-foto koleksi penulis
Esai

Cara Asyik Mengajar Sejarah bagi Anak Paud – Imajinatif Tanpa Melenyapkan Fakta

PRAMOEDYA Ananta Toer menyatakan bahwa, Negara yang tidak tahu sejarah adalah negara budak, budak di antara bangsa dan budak bagi ...

February 2, 2018
Opini

Nonton Joged Porno itu Nganu Banget Pokoknya

  SAYA suka nonton joged. Apalagi joged porno. Apalagi joged yang suka naik-naikin kemben sampai di atas lutut terus duduk ...

February 2, 2018
Lukisan Dewa Merta
Khas

Pantai Atuh di Atas Kanvas Dewa Merta

  BERBICARA kecantikan kepulauan Nusa Penida tidak ada habis-habisnya. Keindahan alam yang ditawarkan sungguh mempesona. Pulau yang terpisahkan oleh Selat ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Gowes di jalur Desa Siakin, Kintamani dan -Desa Les, Tejakula
Khas

Dulu & Kini | Desa Les dan Siakin – Jalan Hutan Terasa Dekat, Jalan Aspal Terasa Jauh

by Nyoman Nadiana
January 19, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Bangli Abad XII | Dan Potensi Masa Kini

by IGA Darma Putra
January 20, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1352) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (3) Khas (309) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In