PULUNG menatap sobekan koran di hadapannya. Entah koran tertanggal berapa. Entah dari mana Pulung mendapatkannya. Sepanjang hari selalu dia sempatkan untuk menatap sobekan koran itu. Morin, ibunya, tahu apa yang dipandangi oleh Pulung. Gambar yang mampu menerbitkan air liurnya dan membawanya merasakan nikmat pada tiap liur yang terbit.
Pizza. Gambar seloyang pizza. Itulah yang ditatap Pulung berlama-lama. Pagi hari ketika baru bangun. Disela-sela waktu bermainnya. Siang saat dia menunggui ibunya bekerja serabutan entah dimana entah kapan. Sobekan koran itu selalu menyertainya.
Malam ketika menjelang tidur, dia akan menempel sobekan kertas bergambar seloyang pizza itu di tembok lembab kamar kost tempat Pulung dan Morin berlindung dalam gelap. Untuk esok harinya, saat diluar mulai terdengar kesibukan pagi hari, Pulung membuka mata dan gambar seloyang pizza itulah yang menyapanya. Menyertai teriakan Morin yang mengajaknya untuk segera bergegas. Jika tak keluar hari ini, maka tak ada uang hari ini. Tak ada uang artinya tidak makan.
Diam-diam Morin selalu memandangi Pulung, bocah lima tahun miliknya satu satunya, saat Pulung sedang lekat memandangi gambar seloyang pizza. Begitu lekat hingga gambar pizza yang sedang tercabik merekah berbentuk segitiga bergetah putih itu seolah bisa ditelannya dengan lahap. Ada irisan daging, dan sebentuk cabe merah dan cabe hijau disana sini. Taburan merica hitam. Irisan bawang, serta lelehan berwarna putih yang Morin tahu bahwa itu adalah keju. Merah warna tomat dan juga bulatan sosis tipis-tipis. Pinggirannya coklat keemasan dengan serpihan tepung putih.
Morin sayang Pulung. Tentu saja. Siapa yang tidak akan menyayangi Pulung. Bocah sederhana, yang tak pernah minta apa-apa. Bertubuh pipih, kecil, rambut kemerahan, kulit pucat. Tubuh dimana rasa iba dengan mudah bisa bersandar. Tak pernah merajuk dan sangat tahu diri saat Morin sedang bekerja. Bahkan tak jarang dia membantu, apa saja yang bisa dibantu.
Seperti tahu takdir dan kehidupannya, Pulung hanya diam dan mengalir apa adanya. Morin bahkan tak pernah mengeluh tentang Pulung, karena tidak ada yang bisa dikeluhkan seperti halnya ibu ibu lain yang mengeluhkan kenakalan anaknya. Hampir Morin tak menyadari bahwa anaknya belum genap 6 tahun.
Pulung tak pernah meminta. Tapi sorot mata Pulung menandakan dia sangat menginginkan pizza itu. Kali ini Morin pun sangat ingin memenuhi keinginan bocah kecilnya. Dia menghitung-hitung uangnya. Diam-diam dia menyisihkan sedikit demi sedikit, dan bekerja lebih keras dari biasanya. Morin membaca angka yang tertera di sobekan kertas itu. Pasti akan tercapai suatu saat. Batinnya.
Dalam bekerjanya yang lebih keras, Morin membayangkan binar mata Pulung ketika menerima seloyang pizza darinya. Morin membayangkan apa yang akan diucapkan oleh Pulung. Morin membayangkan lezat pizza itu ketika dikunyah oleh Pulung. Morin membayangkan mereka akan duduk berdua, berhadapan memakan sedikit demi sedikit pizza itu. Tentu Pulung akan mendapat porsi yang lebih besar. Morin tak jarang tersenyum sendiri saat membayangkan momen itu.
Akhirnya uang Morin terkumpul. Tangan Morin memegang erat kotak pizza yang masih panas di tangannya. Bergegas dia menuju tempat kostnya, dimana tadi dia meminta Pulung untuk menunggunya dan jangan kemana-mana untuk beberapa saat.
Tapi…jantungnya berdegup kencang, saat tempat kostnya hanya berjarak 50 meter dari tempatnya berdiri. Tempat kostnya yang berhimpitan diantara kost kost dan rumah sangat sederhana itu begitu ramai dengan orang-orang yang tidak dia kenal.
Morin mencari-cari Pulung. Dia segera berlari menuju kamar kostnya. Dan dilihatnya Pulung berlari tergopoh-gopoh menyambutnya, sambil berteriak-teriak kegirangan. Morin lega.
“Ibu…Ibu….kita beruntung Bu. Kita beruntung Bu..!”
“Ada apa Pulung..ada apa?”
“Bu, kita dapat banyak sekali makanan seperti yang di gambar itu.”
“Lihat Bu…banyak sekali…” Pulung tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Tangan Pulung menunjuk 4 tumpuk kotak yang diletakkan ditengah kamar kostnya. Kotak yang serupa dengan kotak yang dipegang oleh Morin. Namun 4 kotak itu ukurannya lebih besar. Pulung bercerita ada kakak-kakak yang baik hati yang membagikannya.
Tak berapa lama datang dua orang wanita yang menjelaskan bahwa mereka sedang berbagi dengan anak anak di daerah ini. Mereka ingin berbagi kebahagiaan. Membagikan beberapa kotak pizza ini adalah salah satu program mereka.
Wanita itu menjelaskan kegiatan yang mereka lakukan, siapa yang mereka ajak berbagi, apa tujuan kegiatan mereka, mengapa mereka memilih daerah ini.
Tapi semua penjelasan itu hanya lewat begitu saja. Tangan Morin mencengkeram erat kotak pizza yang terasa makin panas ditangannya. Teringat betapa gugupnya dia memasuki tempat perbelanjaan dengan lantai mengkilap tempat pizza yang seperti gambar pada sobekan koran itu dijual. Bertanya kesana kemari, dan gemetar menunjukkan gambar pizza yang dia inginkan. Menghitung dan memastikan bahwa uangnya cukup untuk membeli seloyang pizza yang diimpikan Pulung. Menggenggamnya erat-erat dalam perjalan pulang menuju tempat kost, seolah benda paling berharga miliknya.
Morin melihat senyum Pulung yang dia bayangkan saat bekerja lebih keras, beterbangan disekelilingnya. Bayangan berbagi pizza, menggigit sedikit demi sedikit, sirna perlahan. Bayangan akan percakapan riang mereka sambil mengunyah pizza, menjauh makin jauh. Diantara lamat-lamat suara ceria penuh antusias dari dua wanita itu.
Morin tidak tahu apakah kali ini dia harus bersyukur atau justru cemburu karena mimpi indahnya yang tercerabut. (T)