“Sebelum Tsai’Lun menemukan kertas, dan Johann Gutenberg menemukan mesin ketik, kekasihku, peradaban ini dibangun oleh segulungan kisah dongeng. Dan kali ini, aku ingin kau mendongengiku. Tentu saja sebelum aku sendiri yang akan menjadi dongeng itu sendiri.”
Wajah Ben tiba-tiba menyala. Pemuda itu berusia 21 tahun, namun seperti seorang yang sudah hidup beribu tahun. Segala peristiwa terekam dalam benaknya. Melalui buku-buku sejarah yang dia lahap seusai menegak beberapa botol whiskey. Ben. Seorang mahasiswa pecandu alkohol, tukang utang dan, dalam hari-hari terburuknya, ia juga seorang penyair, serta cerpenis pilih tanding di kalangan mahasiswa kampusnya. Dia barangkali adalah manusia terakhirdi muka bumi yang bakal kau mintai nasihat tentang kehidupan, atau nama terakhir yang ingin kau tempatkan dalam deretan orang-orang yang pernah menulis puisi maupun cerita pendek.
Namun tidak dengan Ana. Seorang gadis cerdas keturunan saudagar kaya itu. Ana tergila-gila dengan Ben. Bahkan tidak ragu untuk mengungkapkan kata cinta terlebih dahulu kepada pemuda yang telah banyak melahirkan puisi;Pemuda yang malamnya hampir dihabiskan untuk minum minuman keras dan kadang menuntaskan puisi di komputer usangnya; Pemuda yang kerap kali siuman di lantai setelah pingsan semalam sebelumnya.
Justru fakta itulah yang menjadikan Ben sebagai sosok sempurna untuk menjadi kekasihnya.
Dan sekarang, pemuda penikmat kisah Charles Bukowski itu sedang menatap Ana yang tiba-tiba berkata bahwa dia menginginkan Ben untuk bercerita—apa saja, kata Ana.
“Baiklah,” kata Ben.
Ana tersenyum dengan penum kemenangan.
“Kau mau cerita apa?” Ben bertanya. Ana menjawab: “Apa saja… tapi tunggu dulu, bagaimana kalau kau bercerita tentang Christopher Columbus yang mendarat di kepulauan Bahaman?”
“… Tidak-tidak. Aku tidak suka dengan Columbus. Mending kau mulai bercerita tentang pelayaran pertama yang mengelilingi bumi. Ya, Magellan yang berlayar menuju Amerika Serikat. Kapan itu, ya? Oh iya, pada 20 September 1519. Ketika Antonio Pigafetta, salah seorang yang bertahan hidup berkata: ‘Gusi gigi bawah kami membengkak sehingga mereka tidak bisa makan… dan oleh karena itu, meninggal.’ Yah, aku sudah tahu cerita itu.”
Ben tersenyum melihat kemanjaan itu. Melanjutkan:
“Lalu, kau ingin aku bercerita tentang apa?”
“Kekalahan Armada Spanyol. Atau cerita pada zaman para Shogun, di mana Tokugawa Leyasu memenangi pertempuran Sekigahara? Atau matrikulasi Issac Newton di Universitas Cambridge, pada saat sains modern bermula. Tidak… tidak! Lebih baik kau bercerita tentang pasukan Ottoman yang berhenti mengepung Wina pada 12 September 1683.”
Baiklah. Cerita akan aku mulai pada Juli sampai September 1683, Wina dikepung pasukan Ottoman, pada masa ini pangeran-pangeran Jerman juga menghadapi tantangan dari pasukan Louis XIV di Rhein…” belum selesai Ben bercerita, Ana kembali memotong. “Aku lupa, aku tidak suka peperangan!” Ben hanya bisa kembali tersenyum.
“Bagaimana kalau kau bercerita tentang perjanjian damai Utrecht pada 11 April 1713 itu saja. Akhir dominasi Louis XIV di Eropa. Louis XIV, 68 tahun, berduka bersama François Villeroi setelah kekalahan dari Marlborough pada Pertempuran Ramilies (1706). Itu menarik, bukan?”
“Sayangnya aku tidak tahu perihal itu.”
Ana ceberut. Diam. Sunyi. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Bagaimana kalau aku bercerita tentang Edeavour bertolak dari Plymouth saja?” Ben menawarkan.
“Tentang Kapten Cook menjelajahi Pasifik dan menemukan New South Wales? Oh, sayang, berapa kali kau akan bercerita tentang itu? Sudah berulangkali aku mendengarnya.”
“Baiklah… nah, ini pasti membuatmu tertarik. Pada 29 Maret 1973, kau tahu apa yang terjadi?” Ana menggelengkan kepala. “Baiklah. Pada tanggal bulan dan tahun itu, pasukan terakhir Amerika Serikat meninggalkan Vietnam.” Mata Ana berbinar. Kemudian ia mengangguk dengan senangnya, sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh kekasihnya.
“Dr. Henry Kissinger, penasihat keamanan nasional bagi presiden, menjelaskan dilema militer AS, Januari 1969…” Ben melanjutkan cerita. Dan tak lama kemudian Ana terlelap. Manis sekali. Terlelaplah, sayang. Dalam dekapanku, bersama cerita-ceritaku yang jauh dari kata romantis ini.
***
Mata Klara sebab oleh air mata yang keluar tanpa bisa dibendung.
“Begitu mudahnya engkau menangis,” ucap seorang lelaki separuh baya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit. “Tapi biarlah, seorang seniman terlampau lembut perasaannya. Ambilkan aku minum!”
Klara tak juga bangkit dari kursi. Seluruh tubuhnya hanya terpaku, menatap tubuh ringkih lelaki paruh baya yang berbaring di depannya itu. Akhirnya ia tersadar ketika lelaki paruh baya itu mengulangi ucapannya.
Lelaki paruh baya itu meneguk air dan merasa badannya agak nyaman dan hatinya agak kuat.
“Pulanglah sekarang, aku lelah.”
Klara memperbaiki letak pakaiannya. Mengusap air mata lelaki paruh baya itu dengan hati-hatinya, mengangguk, kemudian lenyap dari kamar.
***
Segera Klara mengunci pintu dari dalam. Segera merubuhkan diri di ranjang dan meneruskan tangisannya. Kehidupan keras dan kejam selama itu telah dijalani kedua orang tuanya dengan keberanian, karena hanya mempunyai modal keberanian. Karena ada modal untuk menghadapinya: keyakinan, bahwa orang tuanya bisa juga hidup dari tangannya sendiri. Tapi dalam kepahitan dan kesakitan saat ini, siapakah yang punya modal untuk menghadapinya? Siapa yang mempunyai kekuatan untuk menyelamatkan ayahnya?
Waktu pintu diketok dan dari luar terdengar ajakan makan, Klara tetap meneruskan tangisnya—menangisi sesuatu yang ia tidak mengerti. Tapi rasa sakit dan kepahitan itu terus membanjirkan air matanya. Dan malam itu adalah malam panjang yang berisi satu tubuh satu jiwa: Ibunya yang abadi dalam tulisan-tulisan juga dongeng sebelum tidur ayahnya dan ayahnya yang divonis dokter tidak akan hidup lama lagi sebab penyakit yang dideritanya. Ia rangkum itu untuk takkan dilepas-lepaskannya untuk selama-lamanya.
Dan tentang dongeng-dongeng ayahnya sebelum ia tidur, akan senantiasa abadi. Dongeng tentang Ana, ibunya. Dan ia kembali menangis, ketika mengingat Ben, ayahnya sedang berbaring lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit. (T)