Jero, jero anak lanang, bagus genjing
Wantah titiang widyadari, Ken Sulasih parab titiang
Napi wenten ngambil busanan titiange
Titiang nyadia mengentosin, antuk jinah. Mas tur mirah
Rajapala parab titiang, truna lara
Yening sweca pekayunan
Makaronan ratu ayu, sareng titiang, truna lara
Mangkin wenten pinunas titiang ring beli
Yening wenten putra adiri
Titiang mapamit ring beli
(Geguritan Rajapala)
ALUNAN geguritan Rajapala mengalun lembut ke sudut-sudut ruangan. Made Arsa masih pulas, tengkurap. Namun tak ada dengkuran terdengar seperti biasanya. Geguritan Rajapala berganti geguritan I Durma. Acara Dagang Gantal di RRI begitu menyejukkan kalbu. Hari itu, Buda Wage, 17 April 1985. Luh Seni, istri Made Arsa masih sibuk di dapur menyelesaikan pesanan jaje uli dan begina untuk persiapan hari raya.
Biasanya setiap pagi Made Arsa bangun pkl.06.00. Duduk sebentar, kemudian berjalan kaki di halaman rumah sekitar 10 menit. Ia sering lupa berapakali ia berjalan mengitari halaman rumah. Akhirnya, ia memiliki ide untuk memetik satu daun, setiap kali menyelesaikan satu putaran. Maka setelah menyelesaikan sesi berjalannya tiap pagi, ia akan menghitung jumlah daun yang ia petik. Dari jumlah daun ia tahu berapa kali putaran ia mengitari halaman rumahnya.
Lelah berjalan, secangkir kopi tanpa gula ditemani jaje laklak sudah menunggu di atas meja untuk disantap. Selesai sarapan, ia memeriksa ayam aduannya satu-satu. Dari muda, hobinya memang adu ayam. Ia senang ikut acara ngrebongdi Kesiman. Tradisi ngrebong atau berkumpul ini biasanya diadakan setiap enam bulan sekali menurut penanggalan kalender Bali. Rangkaian dari acara ngrebong ini adalah adu ayam. Adu ayam yang lain biasanya diadakan di pinggir Tukad Yeh Poh dekat tempat tinggal Made Arsa.
Setiap kali adu ayam, ia sering memberi istrinya oleh-oleh be cundang sebagai bukti kemenangannya dalam adu ayam. Made Arsa memang hebat dalam adu ayam. Jarang ia kalah. Maka setelah sarapan, ia akan mengelus ayam-ayamnya, memeriksa, merawat ayam-ayam perkasanya yang telah memberinya label sebagai orang yang tangguh dalam adu ayam. Ia sangat telaten merawat ayam-ayam aduannya. Kalau tidak ada acara adu ayam, bisa seharian ia mengelus ayamnya sambil mendengarkan acara dagang gantal di radio. Hal ini yang sering menimbulkan pertengkaran dengan Luh Seni, istrinya.
Luh Seni, merasa sering diabaikan karena hari-hari Made Arsa sering dihabiskan dengan ayam dan radio. Mengasah taji dan radio. Mereka memang tinggal berdua. Made Arsa memiliki dua orang anak perempuan. Keduanya sudah menikah. Tak satu pun menantunya bersedia nyentana. Baginya tidak masalah. Toh ia masih sehat dan punya hobi yang membuatnya bahagia. Namun anak-anaknya sering menengoknya, membawakan kopi kupu-kupu bola dunia dan jaje laklak kesukaannya.
Tak jarang, kedua cucunya dari anak pertama menginap di rumahnya. Namun ia tak terlalu dekat dengan cucunya. Ia selalu sibuk mengurus ayam,taji dan radionya. Inilah yang sering membuat Luh Seni meradang sampai puik berminggu-minggu. Made Arsa tak terlalu ambil hati. Sepanjang hari, ia biarkan Luh Seni Mengomel sampai akhirnya diam sendiri.
Malam harinya, ia biasanya merangkul pinggang istrinya yang tak lagi langsing seperti dulu. Kini pinggang itu sudah dipenuhi tumpukan lemak yang empuk kalau di belai. Luh Seni biasanya luluh dan memaafkan Made Arsa. Namun, ini sudah kesekian kalinya. Rangkulan dan belaian Made Arsa tak mampu meluluhkan hati Luh Seni. Luh Seni memutuskan puik dengan suaminya.
“Ayahmu sudah tak perlu ibu lagi, Luh. Dia sudah punya dunianya sendiri,” kata Luh Seni suatu hari pada Luh Yanti, anak sulungnya. “Dia lebih menyayangi ayam, taji dan radionya. Kalau ngga ngurus ayam, asah taji, ya memeluk radio.”
Luh Yanti menghela nafas panjang. Setiap ia pulang, selalu hal yang sama dikeluhkan ibunya. Ia bukan tak berusaha. Ia sudah meminta waktu pada ayahnya untuk berbicara. Namun ayahnya selalu sibuk.
“Sabar, Luh. Bapa lagi mempersiapkan sabung ayam dua hari lagi di Pangrebongan, Kesiman.”
Lagi-lagi Luh Yanti menghela nafas panjang.
Suatu hari, Made Arsa memanggil-manggil istrinya, Luh Seni. Yang dipanggil tak kunjung datang. Made Arsa kembali tenggelam dengan radionya mendengarkan acara favoritnya, dagang gantal. Sampai ia tertidur pulas di dipan bambu yang biasa dipakai istrinya untuk menjemur jaje uli yang sudah dipotong tipis-tipis.
Luh Seni memang pintar membuat jajanan khas Bali. Ia bisa membuat jaje uli, jaje begina, jaje sabun, satuh dan masih banyak lagi. Mungkin itu yang membuat Made Arsa jatuh cinta kepada Luh Seni. Di samping memang wajah Luh Seni lumayan cantik.
Perjuangannya mendapatkan Luh Seni memang tak mudah. Ia pernah menantang Tut Simpreg,lelaki yang menaruh hati pada Luh Seni, untuk adu ayam di lapangan dekat tukad Yeh Poh. Mereka sepakat, siapa pun yang menang, pantas memacari Luh Seni, pembuat dan pedagang jaje. Akhirnya Made Arsa berhasil memenangkan sabung ayam itu. Keesokan harinya, Made Arsa langsung meminang Luh Seni, pujaan hatinya.
Ia khawatir Luh Seni digaet orang. Rayuan Made Arsa lewat surat memang berhasil meluluhkan hati Luh Seni. Surat-surat Made Arsa satu bendel tersimpan rapi di bawah dipan kamar mereka. Geguritan Rajapala masih mengalun lembut berganti geguritan Durma. Geguritan Durma memasuki alam mimpi Made Arsa. Made Arsa menangis sesenggukan dan terbangun. Ia meraba matanya yang basah. Hidungnya mencium bau asap menyengat. Ia bangkit ke arah datangnya asap. Ia melihat Luh Seni sedang membakar sesuatu.
“Apa itu Luh?”
Luh Seni melirik sekilas lalu sibuk dengan tongkat bambunya mengaduk-aduk kertas-kertas yang dilalap api.
“Luh, apakah itu surat-surat Bli untuk Luh ?”
Luh Seni mengangguk namun tetap kekeh dalam diam. Tangan Made Arsa mencekal tangan Luh Seni.
“Ke sini dulu, Luh. Mengapa Luh membakar surat-surat itu?”
” Apa Luh ingin membakar kenangan kita?”
Luh Seni berusaha melepaskan diri.
“Bli kan sudah punya pacar. Ayam-ayam itu, taji, radio adalah pacar-pacarmu. Kita tak perlu lagi surat itu. Itu hanya tumpukan sampah di bawah dipan.”
“Ternyata nenek-nenek bisa cemburu juga ya.” Made Arsa tertawa.
“Heh, cemburu? Bukan soal itu. Ini soal dibutuhkan atau tidak? Siapa yang menjadi prioritas? Hidup Bli hanya dari sabung ayam ke sabung ayam. Bli ngga peduli anak, cucu apalagi soal ngayah.” Suara Luh Seni makin melengking.
Made Arsa diam, membiarkan asap membelai rambutnya yang putih dan membiarkan Luh Seni berlalu dari hadapannya.
Sejak peristiwa itu, sebulan lamanya Made Arsa dan Luh Seni tak berbicara satu sama lain. Kedua anak mereka sudah berusaha mendekati keduanya dan memediasi mereka.
“Mungkin belum saatnya, Luh,” jawab Made Arsa sekenanya. “Bapa sudah minta maaf tapi ibumu belum mau berbicara. Ini memang salah bapa. Sejak di-PHK jadi satpam di Kuta, bapa malas bekerja. Dan melaksanakan hobi waktu truna yaitu sabung ayam.”
“Sekarang bapa tak usah sabung ayam lagi. Bapa pelihara ayam, burung atau ikan saja.” Luh Yanti mencoba memberikan solusi. Made Arsa menggeleng. Ini sudah menjadi kebahagiaan bapa. Ayam, taji, radio tidak bisa dipisahkan dari hidup bapa, Luh.”
“Baik, Tapi bapa harus berjanji tidak mengabaikan meme lagi. Bapa harus bisa atur waktu.” Luh Yanti menatap mata Made Arsa. Menunggu jawaban yang diharapkan.
Made Arsa tak menjawab. Ia mengangguk disertai tarikan nafas dalam.
Hari itu, di pinggir Kali Yeh Poh, Saniscara Kliwon, 13 April 1985. Terjadi pertarungan sengit ayam milik Made Arsa dan Tut Simpreg. Tut Simprug adalah lelaki dari masa lalu Made Arsa dan Luh Seni. Kali ini mereka bertemu lagi di arena yang sama ketika memperebutkan pujaan hati mereka. Tak ada kesepakatan apa pun seperti dulu.
Entah mengapa sampai kini, api cemburu selalu mengaliri tubuh Made Arsa tatkala bertemu dengan Tut Simpreg. Apalagi Tut Simpreg telah lama ditinggal mati oleh istrinya. Nalurinya mengatakan Tut Simpreg masih menyimpan perasaan pada Luh Seni meski kini mereka berdua telah menjelma menjadi kakek.
Pertarungan berlangsung sengit. Made Arsa terus berdoa dalam hati sambil menyemangati ayam aduannya. Ia berjongkok di seberang ayam miliknya. Ia berteriak-teriak menyemangati ayam kesayangannya. Namun ia tak pernah menduga, ayam milik Tut Simpreg menerjangnya. Tak ayal taji sepanjang 10 cm itu merobek perutnya. Made Arsa berusaha melepaskan diri. Orang-orang berkerumun berusaha menolong Made Arsa tak terkecuali Tut Simpreg.
Suasana pertandingan berubah menjadi situasi kacau. Ayam milik Tut Simpreg yang memberontak melepaskan diri malah membuat robekan di perut Made Arsa bertambah lebar. Darah segar deras mengucur. Made Arsa segera dilarikan ke klinik terdekat. Setelah mendapat pertolongan, Made Arsa diijinkan pulang. Ia berobat jalan dan disarankan beristirahat oleh dokter dan tak melakukan aktivitas apa pun sampai jahitan luka di perutnya benar-benar sembuh.
Cai Durma pianak bapa paling wayah, tumbuhe keasih-asih, ketinggalan biang, jumah cening apang melah, bapa luas nangun kerti, ka gunung alas idepang bapa mati (Dari Geguritan Durma ).
Alunan geguritan Rajapala berganti Durma mengalun lembut ke sudut-sudut ruangan. Made Arsa masih pulas, tengkurap. Namun tak ada dengkuran terdengar seperti biasanya. Acara Dagang Gantal di RRI begitu menyejukkan kalbu.
Hari itu, Budha Wage, 17 April 1985. Luh Seni, istri Made Arsa masih sibuk di dapur menyelesaikan pesanan jaje uli dan begina untuk persiapan hari raya. Made Arsa masih tengkurap, pulas. Ia lelah seusai insiden yang ia alami pada adu ayam beberapa hari yang lalu. Ia lelah dengan semuanya. Ia ingin istirahat lebih lama.Lebih lama lagi.
Ia keluar menyaksikan tubuhnya yang lelah masih terbaring, menyaksikan luka perutmya yang belum kering, ,menyaksikan darah terus menetes dari luka jahitan di perutnya. Ia lalu mengintip istrinya yang masih sibuk di dapur. Ia mengusap lembut pipi istrinya yang dipenuhi keriput. Membelai rambut putihnya. Membelai pinggang empuknya. Meminta maaf. Namun Luh Seni tak bergeming. Ia tak menyadari kehadiran Made Arsa.
Selanjutnya Made Arsa mengunjungi sudut-sudut rumahnya, ayam-ayamnya, radio kesayangannya. Ia akan merindukan semuanya. Ia mencintai ayam, taji dan radio. Lalu dengan langkah ringan ia pergi meninggalkan asap dapur, suara ayam, taji, arena sabung ayam dan radio yang masih menyanyikan geguritan Durma menyayat hati. Meninggalkan Luh Seni yang menangis histeris berlari ke tetangga karena baru menyadari suaminya pergi. Meninggalkan suka duka yang selalu intim mengisi hari-harinya. Luh Seni menangis memandangi ayam-ayam itu, taji dan radio yang kini tak bertuan.
Hari itu, Buda Wage, 17 April 1985. Pagi belum terlalu renta, mendung bergelayut tipis. Udara segar berdesir. Semburat di ufuk timur begitu cantik. Namun hati Luh Seni mengabu seperti surat-surat yang ia bakar menjadi abu. (T)