Cerpen: Ahmad Anif Alhaki
MALAM semakin sepi, tapi kebisingan masih saja berlanjut. Sumpah-serapah bergema di segala penjuru. Tanpa bising itu, bagi Prita, sungguh akan terasa asing di telinga.
Malam sudah menunjukkan pukul 00.00. Prita sudah selesai berdandan. Bibir merah gincu, wajah putih bersih, betis mulus, pakaian seksi, payudara besar, pinggang ramping, bokong padat berisi, dan bersepatu tinggi tumit.
Prita sampai di tempat tujuan. Tak perlu waktu lama berjalan, karena jarak rumah tinggalnya dengan tempat tujuan hanya beberapa meter saja. Seperti biasanya, kedatangan Prita selalu disambut oleh suara yang tak lain lagi bagi telinganya.
“Anak-anak usia tujuh-belas tahun ke bawah silakan pulang!”
Suara itu bersumber dari seberang rel kereta, di sanalah tempat Prita bekerja, sebagai pelacur. Kedatangan Prita bagaikan umpan daging paha bagi singa jantan. Ia yang tengah menyadarinya pun melenggak-lenggokkan panggul kala menyeberang rel kereta, hal itu terlihat karena dibias temaram bulan dan lampu-lampu warung sekitar rel.
“Hei, kontol-kontol sudah pada menunggumu!” ucap Tika, teman Prita yang juga berprofesi sebagai pelacur.
“Malam ini tiga kontol saja cukup!” jawab Prita.
“Lho, kenapa? Pepekmu bermasalah?” tanya Lastri yang juga berprofesi sebagai pelacur.
“Tidak, di rumah anakku sedang sakit!”
“Biarkan saja anakmu, nanti juga akan sembuh sendiri. Tidak usah terlalu diurus, ngerepotin!” sela Tika.
“Jaga tuh mulut! Jangan asal ceplas-ceplos. Urus saja tuh susumu, kecil begitu mana ada yang mau,” tangkis Prita.
Prita berlalu meninggalkan Tika dan Lastri. Berselang waktu singkat, seorang lelaki berkumis melambaikan tangan, Prita menghampiri. Tak ada muncikari, hanya saja dengan kode identik para lelaki pengunjung memberi isyarat memanggil.
Setelah sedikit berbincang, kesepakatan antara keduanya sudah jadi. Prita berlalu dengan perjanjian kamar nomor delapan, karena kamar itu adalah kamar rentalan Prita saban malam kala bekerja. Selang waktu singkat lelaki berkumis pun menuju kamar nomor delapan.
Di dalam kamar, Prita dan lelaki berkumis tengah bercium bibir. Lelaki itu menjilat sekujur tubuh Prita. Kenikmatan keduanya berlarut dengan desahan. Seusai penat menjilat, lelaki berkumis itu membuka semua pakaian yang membalut di tubuhnya.
Ranjang bergoyang, suara mendesah-desah. Lelaki itu semakin gesit, ayunan pinggang semakin kencang bagaikan tusuk-tusuk jarum mesin jahit. Lelaki itu larut dalam kenikmatan. Bercinta hina usai sudah. Lelaki berkumis mengenakan pakaiannya kembali, dan tanpa sapa ia berlalu pergi. Prita pun kembali berpakaian, dan berdandan.
Di atas meja samping tas Prita tergeletak selembar uang merah, seratus-ribu rupiah. Ia masukkan uang itu ke dalam tasnya, lalu keluar kembali untuk mencari mangsa yang akan memangsa. Tidak perlu waktu lama, selang belasan menit saja berlenggok panggul di areal rel kereta, lelaki lain pun datang menawar harga. Tapi Prita sudah tetapkan: tanpa kurang, dan boleh lebih, seratus-ribu rupiah untuk sekali main.
Sesuai target, sudah tiga lelaki menikmati tubuh Prita malam ini. Malam semakin larut, pukul 03.00, dan patut sudah dibilang pagi. Tanpa alasan lain, Prita melangkah meninggalkan tempat pelesiran. Dua-ratus-ribu rupiah sudah di dalam tas sandangnya, berkurang seratus-ribu rupiah sebagai pembayar rentalan kamar. Dengan kerisian hati ia berlalu.
Tidak lama berjalan, ia pun sampai di depan rumah tempat tinggalnya. Di dalam rumah buluk itu, ia dapati anaknya; Nabila sedang duduk di atas ranjang. Prita heran, karena sewaktu ia pergi dari rumah Nabila sedang tertidur. Ia dekati anaknya, terlihat jelas Nabila sedang menangis sedu.
“Kenapa menangis?” tanya Prita pada anaknya.
“Aku takut, Bu!” jawab Nabila sambil terisak.
“Takut apa? Tak ada hantu!”
“Aku selalu sendiri setiap malam. Ibu ke mana aja!” protes Nabila dengan kesal.
“Jangan tanya, aku keluar bekerja untuk hidupmu, hidup kita! Kamu tidak perlu tanya lain-lain, kamu harus istirahat, besok siang kita harus ke dokter. Aku sudah ada uang cukup untuk itu,” balas Prita pada anaknya.
Seusai mandi, Prita mengenakkan pakaian tidur, dan ia berbaring di samping Nabila. Ia rasai kening anaknya yang panas. Penyakit jantung yang bersarang di dalam tubuh Nabila menjadi sumber keresahan baginya.
Nabila memeluk tubuh Prita, ia terlihat amat sayang pada ibunya walau pun tadinya kesal. Prita pun tak bisa elakkan pengartian itu, ia balas rangkulan anaknya. Prita merasakan sembilu rimba yang menyayat-nyayat di kedalaman kalbunya. Kerena ia menyadari Nabila masih belum tertidur, ia pun meraung tangis ke dasar hati. Tangis yang bisu. Rasa ngilu teramat pedih yang ia tanggung. Nabila juga di tengah-tengah keresahan itu.
Prita begitu peka pada keresahan anaknya. Ia tidak paksa Nabila untuk tidur meski esok siang akan ke dokter. Sesisa waktu malam, atas permintaan Nabila ia bungkus waktu dalam cerita:
“Ada seorang wanita yang tersesat di tengah hutan duri. Ia tidak mampu keluar dari sana. Lama sudah duri-duri menancap di sekujur tubuhnya, dia tidak bisa mencabut duri itu, termasuk yang di telapak kakinya sendiri. Ia berjalan dan terus berjalan, ia semakin tersesat. Sebelum pagi datang membawa surya, ia akan ma…”
“Apa dia tidak sakit, Bu?” Nabila memotong cerita Prita.
“Iya, dia merasa sangat sakit. Tapi ada orang yang membuat dia tidak sakit!”
“Siapa, Bu? Orang itu pasti panggeran Surya!” ucap Nabila.
“Oh, tidak!!”
“Lalu siapa?”
“Orang itu adalah kamu!” jawab Prita.
“Ha! Di sana kan tidak ada aku, Bu,” sela Nabila.
“Iya, kamu tidak ada di sana, dan tidak boleh masuk ke sana!” ucap Prita.
Tak peduli duri yang menancap, luka, dan rasa sakit. Hal itu tak penting bagi Prita, karena dia adalah tulang punggung. Yang terpenting baginya, bagaimana Nabila dan dirinya bisa makan, Nabila bisa sekolah, bisa berobat saat sakit, dan bisa memberi sedikit jajan untuk anaknya.
Nabila sudah tertidur. Prita memperbaiki posisi anaknya, lalu mencium kening Nabila. Di atas meja jam sudah menunjukkan pukul 05.00. Prita bangkit, dan berjalan menuju meja itu. Ia tarik laci pada meja, ia ambil obat-obatan pribadinya. Obat itu masih di dalam bungkusannya yang utuh. Dengan segelas air putih obat tersebut ditelannya.
Sehabis menelan obat dengan air, Prita termangu melihat bungkusan obat itu. Seketika terngiang olehnya perkataan dokter seminggu yang lalu, “Obat ini hanya dapat membendung rasa sakit, bukan untuk menyembuhkan! Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyambuhkan penyakit ibu!”
Air mata tak tertahankan, ia menangis. Bukan nyawa yang akan meninggal badan yang dia cemaskan, melainkan dia yang akan meninggalkan Nabila. (T)