21 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Bebunyian: Berangkat dari Mana, Berhenti Entah di Mana – Catatan Sutradara Sebelum Pentas

Jong Santiasa Putra by Jong Santiasa Putra
February 2, 2018
in Esai
8
SHARES

 

SETIAP pementasan memiliki pesan, nilai, misi yang ingin disampaikan kepada penonton. Setiap pementasan memiliki ruang interpretasinya masing-masing: seluas apa, sesempit apa, itu haknya sang penikmat/penonton, entah suka atau tidak suka itu urusan kesekian. Begitulah salah seorang kawan menasihati saya pada suatu kesempatan di bulan Juni waktu lalu.Atas dalil itu, saya berusaha menjawabnya melalui pementasan yang tidak pada jalur kereta pada umumnya (setidaknya di Bali).

Bersama 8 pemain inti (termasuk saya), yakni Iin Velentine (Teater Orok), Trees (Teater Orok), Damar (Teater Orok),  Anang (Teater Orok), Jecko (Teater Kini Berseri), Novy Rainy (Teater Angin), Wisnu Negara (Teater Kalangan) dan saya. Hampir sebulan terakhir ini kami berdiskusi, di warung kopi, di warung lalapan, di tempat latihan, usai menonton pementasan, saat membuat panggung bahkan sampai di rumah kami tetap berpikir, menggodok ide, konsep, adegan, bunyi apa saja yang ingin dimasukan, pada produksi pementasan yang kami beri judul “Bebunyian”. Bisa dikatakan hampir 70% waktu kami gunakan untuk berdiskusi pada berbagai kesempatan.

Akhirnya kami sepakat untuk mengusung Bali dengan segala kegelisahannya sebagai lini utama pementasan.“Bebunyian” ingin menyampaikan pendapatnya tentang Bali, menerka Bali, mengisahkan Bali, bahkan lebih jauh meramal Bali melalui jejeran fakta, fenomena yang saat ini sedang bergolak. Terutama hal-hal yang menyangkut tentang ikatan manusia terhadap alam sekitarnya. Menjadi topik hangat yang sedang dibicarakan di mana-mana, bolehlah kami para pencinta teater juga membawanya ke ranah  pemanggungan. Namun dengan pendekatan yang berbeda, tidak melalui tata logika narasi yang teratur dan harmonis.Melainkan dengan keliaran bahasa bunyi, bahasa gerak, bunyi tubuh dan bunyi tak bernada, namun sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Lompatan-lompatan peritiwa tentang Bali, kami hadirkan dalam adegan yang terkesan sedang berlompatan dari waktu ke waktu. Benang merahnya mungkin samaratau sama sekali tidak terlihat, namun kami berusaha untuk merajutnya agar (terasa) terlihat hangat. Terlebih lagi sebagian besar dari kami dibesarkan di Bali, tentu akan menjadi sah-sah saja saat kritik disampaikan kepada saudara sendiri (autokritik) untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Di tengah latihan kami sering berbincang tentang gerakan Bali Tolak Reklamasi; petani garam tradisional  Amed yang terhimpit pembangunan pariwisata; pedagang arak yang sering masuk penjara padahal dia menjaga kearifan lokal Bali; tentang gebogan buah yang didominasi minuman kaleng; tentang tumpek bubuh, tumpek kandang, tumpek wayang yang semakin hari kehilangan esensinya dan seterusnya.

Proses Kreatif

Satu hal yang penting pada pementasan kali ini  adalah  keberadaan naskah. Kami sama sekali tidak berangkat dari naskah utuh. Kami berdelapan membangunnya di tengah proses latihan, sembari menimbang kemungkinan-kemungkinan estetika di atas panggung. Naskah hanya berupa coretan-coretan di atas kertas nasi, catatan di ponsel pintar, buku sketsanya Rizky Wahyu yang kebetulan suka menggambar. Lalu coretan-coretan itu kami satukan perlahan  (diketik ulang) agar mudah diingat dan dipahami.

Ketidakberadaan naskah memberi ruang luas untuk berdebat antar pelaku. Metode ini melatih kami dalam mengambil keputusan agar tidak menyakiti satu sama lain. Jika salah satu orang tidak setuju dengan adegan (gerakan) yang diajukan, ia bisa menyampaikan keberatannya dengan segala alasan yang masuk akal, bukan hanya berdasarkan perasaan kurang “sreg” saja.

Secara tidak langsung kami melatih teater sistematis berdasarkan logika peristiwa, bukan bertumpu berat pada adegan improvisasi.Yang sering terjadi, misalnya satu adegan dianggap kurang, yang lain ikut menambahkan, yang satu menginterpretasi, yang satu mencari respon gerak, yang satu mencari respon bunyinya. Kerja kolektif seperti ini memang membutuhkan kesabaran, keikhlasan serta  keberanian untuk mengatakan cukup, sebab kita berangkat dari nol, kapan berhenti pun kadang kita tidak pahami secara sadar. Mengerikan!

Dalam produksi kali ini saya cukup banyak berbincang dengan Rizky Wahyu (Jecko) seorang penari dubstep di Denpasar.Ia memberikan banyak masukan kamus gerakan dan tarian kepada kami. Hampir seluruh gerakan di setiap adegan merupakan cikal bakal dari idenya, kemudian kami “goreng” bersama untuk mencapai energi yang diinginkan.Selain Jecko saya sendiri banyak terpengaruh dari sejumlah pementasan teatar eksperimental seperti Payung Hitam, Teater Garasi, Creamer Box yang saya tonton secara berulang di cannel Youtube.Kendati referensi dari luar Bali, wacana ke-Bali-an tetap kami junjung tinggi sebagai pondasi bangunan pementasan.

Sementara komposisi bunyi banyak mendapat asupan gizi dari Wisnu Negara yang saat ini menempuh studi musik di Amerika. Dari Wisnu, kami belajar banyak tentang musik klasik, komposisi harmonis, atonal dan segala macam teknik-teknik yang tidak kami pahami sebelumnya. Ini menjadi tantangan bagi saya selaku sutradara (hanya formalitas) untuk menyatukan segala macam komponen menjadi satu genggaman pukulan yang baik. Ramuan antara bunyi  dan gerak agar tidak saling menonjol, tapi berjalan beriringan, namun juga  menghadirkan kejutan-kejutan  yang tak terduga bagi penikmatnya.

Terus terang garapan ini masih sangat muda, tapi menarik menjadi variasi tontonan di tengah jagat perteateran di Bali, Denpasar khususnya.Saya mencoba menggarap pementasan di ruang-ruang yang kurang lazim. Konsep tersebut terinspirasi dari pertunjukan musik grup Band Sigurros dari Islandia yang sering pentas musik di gedung tua, di perbukitan, di café kecil, dan lain sebagainya.Kalau di Denpasar biasanya ada Dramawan Abu Bakar yang menyajikan pentas teater rumahan.Pak Abu mengeksplorasi bagian rumah sebagai panggung pementasan.

Memilih lahan pentas secara acak seperti yang kami lakukan tentu memiliki resiko yang cukup tinggi, terutama kami harus observasi lebih dalam atas faktor eksternal tempat pementasan, seperti meminta izin tetangga, kepala dinas, kelian adat, serta pecalang. Selain itu di lahan pentas pun kami mesti melakukan adaptasi ruang dari awal, membuat setting dengan penuh kesadaran agar tidak terlalu banyak mengubah lahan yang sudah ada. Alih-alih membuat bangunan  baru, lebih baik mendayakan alam yang sudah ada. Lahan pentas “Bebunyian” adalah tanah milik salah seorang sahabat saya, rencananya di lahan tersebut akan dibangun gudang untuk usaha properti miliknya. Kami memerawani tanahnya terlebih dahulu sebelum dipakai pemiliknya.

Pementasan “Bebunyian” ini, belum utuh sepenuhnya, saya sendiri agak enggan mengatakan pementasan ini adalah akhir, melainkan awa untuk pementasan yang lebih matang, mungkin satu-dua-lima bulan, bahkan setahun lagi.Bagi kami, itu sah sah saja.setiap adegannya masih dapat dikembangkan sampai titik batas tertentu. Untuk itu, perlu masukan dari penonton/undangan yang hadir. Kemudian kami jadikan ramuan untuk pentas berikutnya. Entah kapan, tapi PASTI! Selamat  menikmati.

Teater Kalangan 2017

Baca juga: Catatan Penata Bunyi Sebelum Pentas

Tags: musikTeaterTeater Kalangan
Jong Santiasa Putra

Jong Santiasa Putra

Pedagang yang suka menikmati konser musik, pementasan teater, dan puisi. Tinggal di Denpasar

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi dari penulis
Dongeng

Si Manusia Kodok

by I Ketut Suar Adnyana
April 17, 2021
Kilas

12 Jiwa Korban Longsor – Mari Berdoa untuk Kintamani

LUPAKAN sejenak Kintamani yang indah. Mari berdoa agar tak ada susulan bencana longsor, banjir atau angin kencang. Sudah 12 warga ...

February 2, 2018
Opini

Ayoo…, Diet Internet Awal Tahun!

“AKU lagi diet instagram bulan ini, jadi nggak tahu informasi yang lagi hits,” jawab seorang kawan dengan ketus, saat saya menanyakan ...

February 2, 2018
Ilustrasi by Inok
Opini

Pidato Bekas Mahasiswa: Skripsi Penting bagi Tukang Print

Berbahagia sekali saya masih diberi kesempatan untuk bernapas, kemudian tadi pagi masih berak dengan lancar, dan menyusun pidato ini dengan ...

February 2, 2018
Sepeda gunung milik Amie Priyono yang digunakan untuk mengangkut sampah. (Foto: Amie Priyono)
Esai

Kegilaan Bersepeda dan Sampah yang Semakin Berserakan

Salah satu aktivitas masyarakat yang mencolok di tengah pandemi Covid-19 adalah bersepeda. Fenomena tersebut mulai terasa tidak  lama sejak diumumkannya ...

August 6, 2020
Karya Puritip Suriyapatarapun
Acara

“Boundary of Freedom“, Karya Grafis Puritip Suriyapatarapun dari Bangkok di Bentara Budaya Bali

Pembukaan : Jumat, 12 Januari 2018, pukul 19.00 WITA Workshop & Diskusi Seni Grafis : Sabtu, 13 Januari 2018, pukul ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Dok Minikino | Begadang
Acara

[Kabar Minikino] – Indonesia Raja 2021 Resmi Diluncurkan Untuk Distribusi Nasional

by tatkala
April 17, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Gejala Bisa Sama, Nasib Bisa Beda

by Putu Arya Nugraha
April 13, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (69) Cerpen (163) Dongeng (14) Esai (1456) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (353) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (343)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In