Cerpen: Agus Wiratama
KETIKA kupu-kupu kuning itu tiba, air matanya mulai menetes. Setiap hari, tetesan air mata itu tak terhitung jumlahnya. Kedua tangannya mengiringi tetesan itu dengan kepalan. Nafasnya tak teratur, bahkan sesak dadanya, turut mengambil bagian mengiringi kehadiran kupu-kupu kuning itu.
Ia duduk beralaskan sandal jepit. Bersandar pada sebuah tembok usang di bagian rumah tua kami. Sorot matanya tak lagi mewacanakan perannya terdahulu. Tubuhnya, tak lagi bercerita tentang kekuatannya menghadang rezim. Kini, kakinya pun tak kuat menopang bobot tubuh yang tak lebih dari lima puluh kilogram. Rambutnya yang kian memutih, dan kulitnya yang kendur hanya memberitahuku, ia telah lelah. Setiap hari, dari pagi hingga sore bahkan malam, ia hanya memandangi taman yang ada di depannya.
“Apalagi yang kuharapkan, waktu adalah teman setia, sesegera mungkin seharusnya Hyang Widhi memanggilku.” Begitu yang ia ucapkan dari mulut dengan kulit keriputnya.
“Bukankah kata-kata itu bukan dirimu? Kau adalah satu-satunya pejuang pada masa itu yang masih bisa melihat betapa indahnya taman ini. Kau adalah bagian dari sejarah yang bisa kujumpai, Paman”, jawabku ketika kekesalanku justru diundang dengan kata-kata putus asanya.
Ia melindungi sahabatnya, Made Seken dari ganasnya zaman. Aku hanya menduga-duga, pada masa itu, langit merah setiap hari membendung, burung gagak, anjing kelaparan, serta kadal liar menjemput musim untuk berfoya.
“Apakah kau kini bukan Wayan Regeg yang memiliki kobaran api di dalam diri? Di mana jiwamu itu?” sambungku setelah keheningan di antara kami membuatku tak nyaman.
“Paman, benarkah apabila aku menyarankanmu suatu hal untuk mengubah rasa yang mencekikmu kian hari itu? Aku rasa, dalam kehidupan sosial kita, tak pantas diriku melakukan itu. Tetapi, aku tak ingin melihatmu selalu murung bahkan meneteskan air mata. Seolah-olah, canda tawa cucumu tak memberimu kebahagiaan!”
Ia tak juga menjawab pertanyaan dan celotehanku. Matanya memberitahuku kalau ia tak ingin mendengar sepatah kata pun dari mulutku.
Angin kencang dan tetesan air hujan yang lebat telah bercampur dengan komposisi masing-masing yang sangat tepat. Sesekali kulit kami menjadi pangkalan air hujan itu. Angin yang telah bercampur air itu pun akhirnya membuatku tak ingin beranjak dari tempat duduk meskipun udara dingin memerintahkanku agar meninggalkannya. Berbeda dengan diriku dengan kulit yang masih sensitif, barangkali pamanku enggan beranjak karena kulitnya yang mati rasa mebuatnya tak tahu kalau tetesan air hujan telah membelai kulitnya.
Situasi yang seolah-olah mengurung kami dalam sebuah dimensi dan hanya dihuni oleh dua orang, yaitu aku dan pamanku, membuatku mengingat segala hal yang pernah terjadi pada dirinya. Dalam kesunyian itu aku membayangkan kisahnya yang tak pernah mati hingga kini.
“Wayan Regeg adalah patih sesungguhnya di desa kita!” Begitu yang sering aku dengar.
Tetapi, cerita yang paling jelas ditangkap oleh telinga ini adalah cerita dari almarhum nenekku. Ketika itu aku masih duduk di bangku SMA. Nenek sedang membuat kopi di dapur, ia ku cegat begitu saja. Aku penasaran dengan mitos tentang pamanku ini. Aku berharap nenek bisa memuaskan rasa ingin tahuku terhadap dirinya.
Benar saja, ketika ku tanya tentang pamanku, ia mengambil sebuah kursi kesayangannya dengan tergopoh-gopoh. Kemudian,ia duduk di sana dan menyeruput kopi hangat yang baru saja dibuatnya.
“Kenapa kau bertanya tentang dia?” ucapnya samar-samar. “Bukankah dia memang seperti itu sedari dulu?”
“Iya, memang seperti itu, tetapi dia pasti memiliki masa bahagia. Bukankah setiap manusia berhak atas kebahagiaannya sendiri, Nek?” tanyaku untuk memastikannya memberikanku potongan cerita yang kuharapkan.
Ketika kopinya tinggal setengah, ia memulai cerita tentang pamanku. Cerita Wayan Regeg sesungguhnya dimulai sejak ia berumur empat puluh tahun. Ketika itu kira-kira sekitar tahun 60-an. Tubuhnya yang tegap dan kakinya yang kokoh membuat tak ada satupun pemuda berkeinginan mengundang masalah dengannya. Wajahnya yang rupawan membuat setiap gadis ketika itu bergumam dalam hati.Mereka menyimpan kekaguman pada dirinya.
Ia menjadi dihormati karena ia adalah orang yang tak segan-segan membantu orang lain. Ketika itu, beras merupakan barang yang sangat berharga. Namun, ia banyak menyumbangkan berasnya pada para tetangga yang memerlukan. Beberapa kamben songket pun ia berikan pada tetangga yang tak pernah ke pura lantaran tak punya kamben untuk dikenakan. Wajar saja bila kekaguman orang terhadap dirinya dijaga hingga kini.
Nenek juga bercertia bahwa ia adalah seorang petani yang memiliki banyak sawah. Ia menggarap sawahnya dengan seorang sahabat yang kini sering ia sebut namanya dengan berbisik “Made Seken”. Seken adalah sahabatnya dari kecil hingga dewasa yang sesekali menjadi penasihatnya. Kini, sepasang cangkul yang dulu sehari-hari mereka gunakan,masih tersimpan rapi di samping lumbung kami.
Persahabatan mereka adalah persahabatan yang telah mendobrak jarak. Wajah mereka yang mirip membuat orang yang baru bertemu dengan dua orang itu mengira bahwa mereka adalah saudara kembar. Ada pula tetangga yang mengatakan bahwa pamanku adalah saudara kembar Made Seken yang lahir dari rahim ibu yang berbeda.
Persahabatan yang mereka ukir dari kecil mulai melapuh ketika partai politik masuk ke desa kami. Pamanku telah menyarankan Made Seken untuk tidak terjun ke dunia politik, namun dia bersikukuh berkecimpung di dunia itu. Katanya, demi mewujudkan cita-cita bangsa. Nenekku pun paham betul, bahwa masuk ke dunia politik itu penuh dengan resiko dan kepentingan politik lain yang akan menggerus keberadaan lawannya.
Semenjak Seken bergabung partai politik, mereka tak lagi bersama seperti sebelumnya. Tak ada lagi cerita tentang menyeruput segelas kopi di sawah, atau cerita tentang perjalanan menembus kabut di pagi hari untuk memastikan air membasahi sawah.
Beberapa tahun setelah Made Seken masuk ke sebuah partai, pamanku mendengar kabar bahwa terjadi pengepungan di mana-mana dan banyak korban yang berjatuhan. Penjagalan mewabah dengan liarnya, air sawah pun terkadang bercampur dengan warna merah darah yang masih segar. Hal itu kian hari menjadi sesuatu yang biasa. Made Seken mulai resah dengan peristiwa itu karena ia adalah anggota partai yang akan dilenyapkan. Ia mulai mendekati pamanku lagi dengan maksud minta perlindungan karena semua anggota keluarga Made Seken dianggap tergabung dalam partai itu.
Orang-orang dari desa sebelah yang ada di jalur pemerintah memanfaatkan kesempatan itu untuk memuaskan kebiadaban mereka. Rumah Made Seken akhirnya dibakar. Api berkobar sejadinya. Tangisan keluarganya bercampur dengan kekesalan tak berdaya.hewan ternaknya seperti sapi, babi, ayam, dan bebek telah dibunuh, kemudian dijadikan hidangan untuk berpesta. Untungnya, sebelum pemberangusan rumah itu terjadi, Made Seken dan keluarganya telah kabur ke ladang pamanku. Dari sana ia mengintip kebiadaban orang-orang itu.
Ketika nenek merasa lelah bercerita, sejenak ia beranjak dari kursi kesayangannya. Ketika itu pula mataku terasa panas, air mata perlahan membasahi pelupuk. Tetapi, aku tidak berani berkomentar, sebab aku tak tahu kekuatanseperti apa yang menggerakkan pikirkan warga desa sebelah.
Dengan tulang punggung yang tak mampu menegakkan tubuhnya, ia mengambil sapu untuk membersihkan sampah makanan di dapur. Debu dapur yang menghitam, ia siram dengan air agar tak mengganggu penciuman dan penghlihatannya yang tua. Beberapa tetes air matanya turut membersihkan debu yang menempel di pipinya yang keriput.kemudian, Ia kembali duduk di kursi tua kesayangannya sambil mengusap mata untuk melanjutkan cerita.
Suatu hari terdengar isu bahwa warga desa sebelah akan memburu sahabat pamanku lagi. Made Seken lari dengan kakinya yang kurus ke rumah-rumah tetangga untuk menginap. Para tetangga mengizinkannya tidur di lumbung. Tetapi, tak ada yang berani membiarkannya menginap dalam waktu yang lama karena takut dianggap ikut melindungi anggota partai yang menjadi musuh negara.
Ia juga sempat lari ke rumah kami dengan kaki yang gemetar, rambut yang tak rapi seperti biasa, dan keringat yang mengucur dari seluruh bagian kulitnya. Setelah diberi secangkir kopi dan sepiring nasi,nenek pun menyuruhnya pergi karena alasan yang sama dengan tetangga kami.
“Di mana peran paman ketika itu, Nek?” Aku sudah tidak sabar mendengar kisah heroik, Pamanku.
Aku baru paham setelah nenek melanjutkan ceritanya sambil mengunyah buah pinang. Suatu pagi, warga desa sebelah benar-benar ingin menjagal semua anggota partai itu di desa kami. Sembilan keluarga dianggap tergabung partai buruan. Rata-rata setiap keluarga itu terdiri dari enam orang. Siapa pula yang rela jika saudaranya dibantai dengan liar dan masal seperti itu. Pamanku orang yang cerdas, Ia mengatur taktik sendiri. Semua warga ia sarankan untuk mengintipnya dari balik tembok rumah masing-masing.
Ia menunggu kedatangan warga desa sebelah yang hendak melakukan aksi liar itu. Begitu terlihat, ia tatap mata orang-orang itu satu per satu. Suasana begitu mencekik. Yang terdengar hanya suara kaki menghantam tanah dan gesekan batang bambu yang diembuskan angin. Ketika itulah, dengan gagah dan berani,pamanku berteriak sekencang-kencangnya, “Seeerrrbbbuuu!”
Mendengar kata itu, para tetangga ikut berteriak sesuka mereka. Warga desa sebelah itu seketika berlari sekencang-kencangnya karena mengira pamanku telah menyiapkan pasukan yang banyak untuk bertempur. Ketika itu nenekku pun ikut mengintipnya dari balik tembok tetangga.
Dalam hati, sesungguhnya ada pertanyaan yang gelisah, “Tidakkah ia merasa bersalah telah melawan negara dengan melindungi orang-orang partai yang katanya telah melakukan pemberontakan?”
Ketika pertanyaan itu mengawang-awang, nenek langsung menyambar dengan kata-kata yang menjawab pertanyaan itu. “Pamanmu merasa bersalah bila membela pemberontak negara, tapi baginya melindungi nyawa orang-orang di desa kita adalah suatu keharusan. Ia menentang keras cara pemerintah yang keji itu. Membantai orang tanpa penjelasan, padahal belum tentu mereka telah melakukan kesalahan”, katanya.
Jawaban itu membuatku tercengang. Alasan paman itu adalah kobaran api keberanian yang jarang kutemui.
Setelah beberapa tahun, gejolak di mana-mana dan pembantaian akhirnya usai. Mimpi buruk sembilan kepala keluarga di desa kami telah lenyap. Made Seken masih hidup dalam ketakukan meski tak ada satu orang pun yang berhasil dibunuh di desa kami. Memang, di desa sebelah ada beberapa orang yang meninggal karena dianggap berbau partai itu. Mereka diikat tangan dan kakinya, kemudian diseret di atas aspal pada siang hari secara massal hingga benar-benar tak bernyawa. Di desa kami semua nyawa yang terancam telah terselamatkan.
Kini, rumah Made Seken yang dulu dibakar oleh warga desa sebelah menjadi tempat yang aku senangi, karena tumbuh pohon jambu yang begitu subur dengan buahnya yang lebat. Mungkin, tak kurang dari seminggu, aku dan teman-temanku meluangkan waktu untuk singgah di sana, kemudian memetik beberapa buah jambu untuk dibawa pulang. Sesungguhnya para warga enggan ke sana karena tragedi tersebut. Hanya kami yang berani bermain ke sana karena sebelumnya kami memang tidak tahu tentang sejarah tumpukan bata merah yang menyimpan air mata dan amarah itu.
Kuperhatikan, nenek nampaknya sudah tidak nyaman lagi berada di kursinya yang tua dan kotor. Ku ambilkan ia sebuah bantal. Tetapi, nenek menolak. Ia keluar dari dapur. Tangannya melambai-lambai memanggilku untuk mengikutinya.
Ia berkata, “Senja telah tiba, lihatlah langit yang merah itu. Memang sangat indah, tetapi langit indah itu menyimpan sejuta kesedihan”.
Aku tidak paham apa yang dimaksud nenek. Aku hanya bisa menganggukkan kepala dengan ragu-ragu.
Ia mengajakku untuk duduk di beranda rumah. Kemudian menyuruhku mengambilkannya tembakau dan buah pinang di kamarnya. Di beranda rumah ia melanjutkan kisah tentang pamanku.
“Kesedihannya berawal dari sebuah senja”, ucapnya dengan lugas.
Setelah pembantaian itu berakhir, Made Seken masih bisa menghirup udara bebas. Tidak ada panggilan dari pihak pemerintah. Tidak ada setetes darah pun yang keluar dari kulitnya. Made benar-benar selamat dari kiamat. Tetapi, Made Seken memilih untuk berhenti menjadi guru karena traumanya yang begitu dalam terhadap peristiwa keji itu. Ia memilih untuk berkebun.
Cerita tentang persahabatan pamanku dan Made Seken menjadi berbeda dengan yang sebelumnya. Made Seken merasa sangat berhutang budi pada pamanku. Semenjak itu ia begitu menghormatinya seperti warga yang lainnya di desa kami.
Suatu hari ketika senja tiba, Made Seken tak kunjung pulang. Istrinya menanyakan pamanku tentang keberadaan Seken, tetapi pamanku pun tidak tahu. Ketika itulah semua warga ikut membantu mencari Made Seken. Mereka mencarinya ke setiap tepi sungai yang sering ia lewati, kemudian di ladang miliknya,tapi tak juga ditemukan. Pencarian masih berlanjut, sedangkan cahaya matahari semakin menipis hanya menyisakan warna emas yang begitu mempesona.
Ketika mereka telah putus asa, tak sengaja mereka lewat di ladang pamanku. Made Seken telah tertidur lelap di bawah pohon kelapa gading. Celurit telah menembus perutnya. Matanya terpejam. Setiap daun di sekitarnya dilumuri darah, kelapa gading yang telah ia petik pun dibalut darah segar. Ususnya berkeliaran di atas perut yang menganga. Di ujung robekan luka pada perut itu tertancap celurit dengan sangat rapi. Tetapi, sepasang kupu-kupu kuning dengan setia hinggap di ujung hidungnya.
“Merekalah yang menjemput sahabat pamanmu,” kata nenek dengan suara yang kecil.
Ketika itulah penyesalan pamanku berawal. Ia menahan segala tangisan. Tak ada setetes air pun yang terjatuh dari matanya. Ia hanya mengingat perkataan yang terlontar dari mulutnya di siang hari sebelum Made Seken dijemput kupu-kupu berwarna kuning itu.
“Esok pagi, ketika kita ke sawah, kita sirami padi-padi kita dengan air kelapa gading untuk menebus darah yang pernah mengaliri sawah ini.”
“Kupu-kupu kuning, aku sering melihat mereka bermain di bawah pohon beringin keramat,” gumamku dalam hati.
Ku harap paman bisa melupakan segala kesedihan di umurnya yang renta ini.
“Senja sudah terganti malam, hujan dan angin juga telah beristirahat, sebaiknya kau istirahat di dalam kamarmu, atau kuambilkan secangkir kopi untukmu, Paman?” (T)