26 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan

Putu Wijaya Menyambung Lidah Rendra

Made Adnyana Ole by Made Adnyana Ole
February 2, 2018
in Ulasan
53
SHARES

Catatan ini ditulis ketika Putu Wijaya mementaskan monolog Burung Merak di Open Stage Lovina, Buleleng, Bali, Rabu 25 November 2009, malam. Monolog itu dipentaskan untuk memperingati 100 hari meninggalnya Si Burung Merak Rendra. Catatan ini bisa dijadikan pemercik api semangat untuk para pemonolog yang akan meramaikan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, Maret hingga Desember 2017.  

*

SETIDAKNYA terdapat dua pokok pikiran WS Rendra, si Burung Merak, yang seharusnya bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki bangsa ini. Yakni, “Mempertimbangkan Tradisi” dan “Gagah dalam Kemiskinan”.

Jika harus ditambah lagi, maka sederet pemikiran lain dari Rendra bisa secara terus-menerus dihidupkan dalam setiap diri orang Indonesia. Bukan hanya untuk sekadar diingat sebagai baris puisi yang indah, namun juga dikenang sebagai peretas jalan menuju masa depan yang lebih gemilang. Antara lain, “Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata” dan “Kemarin dan Esok adalah Hari Ini, Bencana dan Keberuntungan Sama Saja”.

Pemikiran Rendra bisa jadi sebuah dongeng bagi anak-anak, justru karena kata-katanya mengandung daya sihir yang tak pernah lapuk. Bisa jadi juga sederet falsafah yang membuat orang secara terus-menerus berpikir tentang hidup. Atau bisa hanya sekadar tutur tak luntur, puisi bagus yang membuat seseorang jadi sekadar menggeser posisi hidupnya atau bisa menjungkirbalikkan seluruh hidup.

Dongeng, falsafah hidup, tutur, atau puisi-puisi bagus dari Rendra itu dilontarkan kembali dalam bentuk monolog oleh Putu Wijaya untuk memperingati 100 hari meninggalnya Rendra di Open Stage Lovina, Rabu (25/11/2009) malam.

Lebih dari seratus orang dari kalangan seniman, mahasiswa, pejabat dan orang biasa, menonton monolog yang diberi judul “Burung Merak” itu dengan tekun. Bahkan ketika Putu Wijaya mengajak penonton membuat yel, berteriak dan bernyanyi, maka dengan suka cita semua penonton mengikutinya. Melontarkan kembali pemikiran seseorang yang pernah hidup secara nyata dan terkenal dalam bentuk pementasan di atas panggung boleh jadi merupakan satu terobosan baru dalam monolog Putu Wijaya.

Sebelumnya, Putu memang kerap memperkenalkan berbagai tokoh dalam monolognya, semisal Merdeka dan Zetan. Namun, tokoh itu hanya rekaan, meski — seperti juga Rendra — tokoh-tokoh rekaan itu memiliki pemikiran yang ajaib dan kadang mengejutkan secara logika dan nalar. Lebih Dikenal Di tangan Putu Wijaya, pemikiran dari tokoh nyata semacam Rendra atau pemikiran dari tokoh rekaan semacam Zetan, sama mudahnya untuk diolah jadi monolog yang memukau.

Dalam “Burung Merak”, Putu memulai dengan kisah perjumpaan dirinya dengan Rendra yang meninggal dunia seratus hari sebelumnya. Putu kemudian mencomot, mengurai, mempertanyakan, menganalisa dan menyimpulkan kembali deretan pikiran Rendra yang oleh sebagian orang memang diingat sebagai sebuah landasan, tapi oleh sebagian besar yang lain pikiran itu diabaikan bahkan tak diketahui sama sekali.

Untuk penonton di Singaraja, monolog Putu Wijaya memperkenalkan lebih dari dua hal dalam sekaligus: akting dan ketokohan Putu serta pemikiran dan ketokohan Rendra. Secara emosional, di Bali Utara, Putu Wijaya jauh lebih dikenal ketimbang Rendra. Tentu karena Putu pernah tinggal, bergaul secara kreatif maupun secara sembarangan, di Kota Singaraja pada saat ia masih SMA.

Bahkan orang yang menyiapkan pementasan Putu di Singaraja notabene adalah teman dan kerabatnya, seperti Ketut Englan yang menjadi pemilik Open Stage Lovina sekaligus pengelola Yayasan Budaya Denbukit, Hardika dan Gede Dharma, serta Mang Jung yang dikenal sebagai ponakan Putu.

Di mata penonton yang lebih mengenal Putu ketimbang Rendra, bisa jadi Rendra dianggap tokoh rekaan dalam lakon baru. Rendra bisa saja dianggap sama dengan tokoh ciptaan Putu yang lain seperti Merdeka, Maya atau Zetan.

Ketika Putu mencomot pemikiran Rendra tentang tradisi yang seperti kasur tua lapuk, hal itu seperti sebuah pemikiran yang baru saja diciptakan. Maka, monolog “Burung Merak” di Singaraja punya semangat dan makna yang berbeda dengan ketika ia pentas di Yogyakarta, Bandung atau Jakarta. Di kota besar itu, di mana penonton mengenal Rendra dan Putu dengan kadar yang seimbang, maka monolog Putu bisa menjadi semacam pengingat kembali kecemerlangan kata-kata Rendra.

Di Singaraja, Putu lebih bermakna sebagai penyambung lidah Rendra. Melalui Putu, Rendra yang sebelumnya hanya dikenal melalui puisi-puisinya, kini bisa dikenal secara lebih dalam, termasuk “penderitaannya” sebagai sastrawan di negeri yang tak terlalu menghargai sastra.

Selain “Burung Merak”, di Singaraja Putu juga mementaskan monolog “Zetan” dan “Perkutut”. Dua monolog ini sebenarnya sudah beberapa kali dipentaskan di sejumlah tempat di Singaraja, namun penonton tetap saja seperti mendapatkan hal baru dari pementasan Putu, meski seniman yang lahir di Tabanan itu kini sudah menunjukkan ketidakkuasaannya melawan umur yang terus bertambah. (T)

Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di Bali Post 29 November 2009

Ketut Englan (budayawan dan tokoh pariwisata) dan Gede Dharna (sastrawan dan veteran) yang disebutkan dalam tulisan ini adalah pecinta tetaer di Buleleng, yang kini sudah berpulang. Semoga beliau berbahagia di surga.

 

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologRendraTeater
Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi Florence W. Williams dari buku aslinya  dan diolah oleh Juli Sastrawan
Cerpen

Si Ayam Betina Merah | Cerpen Florence W. Williams

by Juli Sastrawan
February 24, 2021
Nyoman Erawan, Shadow Dance 18
Puisi

Nunung Noor El Niel# Puisi: Jemari Waktu, Igauan Selembar Daun

. JEMARI WAKTU jemari waktu merangkum dalam hening senja dan ranting ranting pohon tertunduk sunyi terbaca syahdu dari untaian awan ...

February 2, 2018
Agus Wiratama || Ilustrasi tatkala.co || Nana Partha
Esai

Niat Baik Mahasiswa dan Pesan Orang Tua

Setelah pulang dari Singaraja, Grudug tiba-tiba tergelitik oleh perkataan, “Mahasiswa pulang kampung pasti lupa dengan idealismenya”. Istilah yang agak kasar ...

July 6, 2020
Cerpen

Monolog dan Kekasih Satu Tahun Lalu || Mencincang Pesan

Monolog dan Kekasih Satu Tahun Lalu - Cerpen Eva Lailatur Riska _____ Cempaka. Denpasar, Desember 2017 Kita berkenalan setelah hujan ...

January 6, 2021
Esai

Dadong Berencana Golput – “Adenan be sing milih, pang sing pelih pas nyoblos!”

PEMILIHAN Umum tinggal menghitung hari. Sebagai warga negara yang baik, nenek saya, Dadong Norit, selalu berpartisipasi. Namun sepertinya tahun ini, ...

April 6, 2019
Made Adnyana Ole [Ilustrasi Nana Partha]
Esai

Bandar Udara atau Bandar Tanah

Sudah sejak 10 tahun lalu, rencana pembangunan Bandar Udara (Bandara) Internasional Bali Utara  diobrolkan secara iseng-iseng, atau didiskusikan secara serius. ...

January 9, 2021

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jaja Sengait dari Desa Pedawa dan benda-benda yang dibuat dari pohon aren [Foto Made Saja]
Khas

“Jaja Sengait” dan Gula Pedawa | Dan Hal Lain yang Bertautan dengan Pohon Aren

by Made Saja
February 25, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Menjangan Seluang [Foto: Michael Gunther]
Esai

Kenapa Orang Bali Tidak Memuja Arca-Lukisan Penulis Kitab?

by Sugi Lanus
February 26, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (155) Dongeng (11) Esai (1413) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (340) Kiat (19) Kilas (196) Opini (477) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (101) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In