3 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Khas
Foto: Eka Prasetya

Foto: Eka Prasetya

“Sampi Gerumbungan”, Bukti Bali (Pernah) Menjadi Tanah Agraris

Eka Prasetya by Eka Prasetya
February 2, 2018
in Khas
92
SHARES

HARI masih pagi. Jarum jam baru menunjukkan pukul 08.30. Namun entah mengapa, matahari bersinar begitu terik. Meski begitu, suasana di Lapangan Umum Desa Bebetin, terlihat riuh. Puluhan warga ramai-ramai datang ke lapangan desa, berlomba mencari tempat teduh di sekitar pepohonan.

Pagi itu, Sabtu, 19 November 2016, memang hari yang istimewa bagi warga yang tinggal di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng. Mereka tengah menanti parade sampi gerumbungan, salah satu peninggalan budaya agraris di Bali Utara, yang masih lestari hingga kini.

sampi-gerumbungan_2Untuk parade itu, Sekaa (kelompok) Sampi Gerumbungan Baga Sabali menyiapkan empat pasang sapi (dalam Bahasa Bali disebut sampi). Sepasang diantaranya adalah pasangan sapi juara milik Bau Gede Subandi. Sepasang sapi itu keluar sebagai juara pada Festival Lovina yang digelar beberapa bulan sebelumnya.

Di bawah terik matahari yang semakin menyengat, para anggota sekaa sibuk merias sapi-sapi milik mereka agar terlihat cantik. Sapi-sapi ini memang biasa digunakan untuk membajak sawah. Namun untuk penampilan kali ini, sapi-sapi itu harus tampil secantik mungkin. Mereka akan direkam untuk program acara petualangan di salah satu televisi swasta yang bermarkas di Jakarta.

Dalam penampiilan kali ini, para anggota sekaa bukan hanya menyiapkan lampit(peralatan membajak sawah). Mereka juga harus menyiapkan sejumlah aksesoris lain, yang akan disematkan di tubuh sapi. Intinya, sapi-sapi itu harus tampil secantik mungkin di depan penonton, juga di depan kamera wartawan dan kru televisi.

Budaya sampi gerumbungan memang istimewa. Budaya ini adalah salah satu (dari dua) budaya agraris di Bali yang berkaitan dengan hewan pembajak sawah, entah itu sapi atau kerbau. Di Bali, ada budaya agraris lain yang disebut makepung. Budaya ini dapat dengan mudah ditemui di Kabupaten Jembrana, Bali.

Sampi gerumbungan, sangat berbeda dengan makepung. Makepung, lebih menonjolkan soal kecepatan. Sementara sampi gerumbungan lebih mengutamakan soal kecantikan dan kemolekan. Tak perlu cepat untuk menjadi yang terbaik. Cukup menjadi cantik, molek, dan gemulai.

Sampi gerumbungan tak ubahnya seperti menyaksikan model yang berjalan di atas cat walk. Sepasang sapi berjalan tegak, molek, gemulai, seperti model. Mereka juga menggunakan aksesoris-aksesoris yang menambah kecantikan.

Tak diketahui secara pasti sejak kapan budaya sampi gerumbungan ada di Buleleng. Budaya ini diyakini lahir di Desa Bebetin sejak ratusan tahun silam. Saat ini penggiat yang berkecimpung di sekaa sampi gerumbungan, adalah generasi kesepuluh yang menggeluti budaya ini. Artinya budaya ini sudah ada setidaknya 300 tahun silam.

Masyarakat meyakini sampi gerumbungan adalah budaya yang sangat sakral. Maka, sebelum parade dimulai, harus ada serangkaian ritual yang harus dilakukan. Sapi-sapi yang akan tampil juga harus diperciki tirta (air suci).

Dari cerita turun temurun yang diyakini masyarakat, budaya ini lahir dari sumpah salah seorang nenek moyang ratusan tahun silam. Alkisah salah seorang warga di Desa Bebetin, ratusan tahun silam mengubah lahan perkebunan miliknya menjadi lahan sawah. Kala itu ia berjanji kepada Yang Maha Kuasa, jika sawahnya berhasil panen raya, sapi yang digunakan membajak sawah akan melakukan atraksi pada awal masa tanam berikutnya.

Benar saja saat itu sawahnya mengalami panen raya. Padahal sawah itu dulunya adalah ladang dan baru pertama kalinya ditanami padi. Pada awal masa tanam berikutnya, nenek moyang menampilkan sampi gerumbungan yang berjalan begitu moleknya. Sapi itu berjalan selaras. Selayaknya manusia yang tengah berjingkat. Serupa dengan model yang berjalan anggun di atas sepatu hak tinggi.

Awalnya sepasang sapi yang digunakan membajak sawah, hanya berjalan berjingkat dengan peralatan membajak serta seorang pembajak sawah yang mengendarai alat bajak. Seiring berjalannya waktu, berbagai aksesoris menghiasi pasangan sapi yang akan pentas saat sampi gerumbungan dihadirkan. Aksesoris itu bagaikan perhiasan yang mempercantik sapi-sapi yang akan tampil.

Perhiasan itu berupa uga, batang kayu yang biasa dipasang di leher sapi. Uga juga menjadi bagian utama untuk menjaga sapi tetap berjalan berpasangan. Biasanya pada uga juga terdapat beberapa perhiasan yang diberi nama penanggu, pot atau kober, serta penyelah.

Bagian penanggu biasanya berupa ukiran berbentuk Singa Ambara Raja yang notabene lambang Kabupaten Buleleng, pot atau kober adalah bendera, sementara penyelah berupa ukiran khas Buleleng atau pada era kekinian juga digunakan ukiran berbentuk lambang Garuda Pancasila. Namun bagian penanggu dan penyelah bisa juga menggunakan ukiran sosok pewayangan.

Ada pula rumbing yang dikenakan pada tubuh sapi. Rumbing fungsinya seperti mahkota. Belum lagi badong yang fungsinya seperti bandana yang dikenakan pada leher, juga keroncongan yang dipasangan pada bagian leher. Ada juga kerincinganyang dipasang pada kaki sapi.

sampi-gerumbungan_4Saat berjalan, sapi-sapi itu akan berjalan berjingkat dengan tubuh yang montok nan molek, kepala yang tengadah seolah menunjukkan lehernya yang jenjang, serta ekornya yang tegak menunjukkan bagian belakang tubuh mereka. Saat berjalan, sebisa mungkin langkahnya selaras agar terlihat indah. Langkah yang selaras juga membuat suara keroncongan dan kerincingan menjadi selaras, yang semakin menambah keindahan.

“Di situ letak keindahannya. Sampi gerumbungan ini memang beda dengan makepung atau karapan sapi. Cepat itu tidak penting. Yang utama itu keindahan,” ucap Bau Gede Subandi, Kelian (ketua) Sekaa Sampi Gerumbungan Baga Sabali.

Biasanya sapi-sapi yang akan tampil pada parade sampi gerumbungan, adalah sapi-sapi pilihan. Mereka dianggap bibit sapi unggul yang andal dalam membajak sawah. Sapi itu dipersiapkan sejak usia dua tahun, dan sudah siap tampil pada acara parade pada usia empat tahun.

Tak ada latihan khusus. Mereka cukup dilatih berjalan beriringan saat membajak sawah. Sapi-sapi itu juga tak butuh makanan khusus. Cukup diberi rumput atau jerami. Tak butuh vitamin khusus. Cukup latihan yang intens agar bisa tampil dengan baik.

Jika menjadi juara, sapi-sapi itu harganya cukup mahal. Bisa mencapa Rp 50 juta sepasang. Padahal sapi Bali dewasa, harganya hanya Rp 12 juta-16 juta per ekor. “Itu juga kalau ada yang butuh. Kalau nggak ada yang butuh, ujung-ujungnya harga tertinggi di (pasar hewan) Bringkit,” imbuh Subandi seraya tertawa.

Di tanah kelahirannya, sampi gerumbungan ditampilkan sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Dua kali ditampilkan pada awal musim tanam padi dengan diawali prosesi mepiuning di Pura Dalem Desa Pakraman Bebetin. Dua kesempatan lainnya ialah saat hari raya Galungan sebagai simbol kemenangan kebajikan melawan keburukan.

Sampi gerumbungan adalah bukti bahwa Bali pernah menjadi tanah agraris dengan berbagai budayanya yang adi luhung. Kenapa disebut “pernah”? Karena harus diakui kini Bali mengalami semacam kebingungan identitas, apakah masih layak disebut sebagai tanah agraris di tengah merosotnya lahan sawah dan tergerusnya sumber-sumber pangan maraknya laihfungsi lahan.

Apakah Bali tetap layak disebut tanah agraris ketika masyarakatnya tak lagi bermimpi soal panen raya dan pesta gembira di tengah sawah, melainkan bermimpi tentang hidup mewah di tengah hotel megah dan gelimang dolar? Jika pun masyarakat masih melestarikan tradisi sampi gerumbungan, itu lebih sebagai sebuah kenangan bahwa tradisi itu pernah hidup dan tetap dipertahankan hingga kini.

Untuk itu, baik benar jika mendengar ungkapan Gede Subandi: “Bali seharusnya tidak mengemis pada pariwisata, apalagi mau diubah menjadi industri pariwisata. Semestinya hal-hal agraris ini yang dipertahankan.”. (T)

 

Tags: balibulelengpertanianpetanisampi gerumbunganTradisi
Eka Prasetya

Eka Prasetya

Menjadi wartawan sejak SMA. Suka menulis berita kisah di dunia olahraga dan kebudayaan. Tinggal di Singaraja, indekost di Denpasar

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi diolah dari gambar Google
Cerpen

Bagaimana Surat Pertama Ditulis | Cerpen Rudyard Kipling

by Juli Sastrawan
March 3, 2021
Lukisan karya Kabul Suasana
Ulasan

Karya Rupa Kabul Suasana: Titik Instropeksi Diri dan Kegaduhan Rumah Rakyat

KEHIDUPAN kini makin dinamis, apalagi diimbangi dengan kemajuan teknologi. Bahkan ada yang lupa telah masuk dalam dimensi teknologi itu. Kuatnya ...

February 2, 2018
Ulasan

Drama Tragedi Komedia Absurd ala “Bangun Pagi Bahagia”: Hidup adalah (Bukan Sekadar) Kenangan

Membaca Eswe selalu membuat saya berhasil tersenyum. Bahagia. Namun bahagia bukanlah datang sendiri tanpa rasa lainnya. Bahagia justru muncul tak ...

October 8, 2019
Awan yang tampak seperti boneka anjing di sekitar puncak Gunung Agung. /Foto: Wayan Paing
Esai

Boneka Anjing di Mata Anakku & Dialog Imajiner Anjing Penjaga Gunung Agung

UNTUK iseng-iseng dan memenuhi keingintahuan sendiri, saya memasang kamera video (tentu tak terlalu canggih) yang menyorot aktivitas puncak Gunung Agung. ...

February 2, 2018
Ilustrasi by Inok
Ulasan

Membaca “Perempuan Tanpa Nama”, Mencoba Mengenal Diri

Judul Buku : Perempuan Tanpa Nama Pengarang : Kadek Sonia Piscayanti Penerbit : Mahima Institute Indonesia Tahun Terbit : 2015 ...

February 2, 2018
Ulasan

Kisah Pelacur dan Beberapa Eksperimen Jurnalistik dan Politik – [Tentang Cerpen-Cerpen “Foto Bupati di Kamar Pelacur”]

Pengantar Siapa Yahya Umar? Ia lahir di Bangkalan, Madura, 25 September 1968. Nama Yahya Umar—dikenal sebagai seorang wartawan lepas (freelance), ...

June 21, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jro Alap Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa di Desa Les, Buleleng
Khas

Jro Alap, Kemuliaan Tukang Panjat Kelapa di Desa Les

by Nyoman Nadiana
March 2, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M.Hum
Opini

Tergerusnya Demokrasi Indonesia

by I Made Pria Dharsana
March 3, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (157) Dongeng (11) Esai (1419) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (196) Opini (480) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (337)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In