20 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Sumber ilustrasi: Screen Google

Sumber ilustrasi: Screen Google

“Wangsa” dan Identitas yang Tidak Kunjung Selesai

Komang Armada by Komang Armada
February 2, 2018
in Opini
96
SHARES

WANGSA, trah, soroh, atau apa pun namanya, adalah identitas yang meringkas individu ke dalam rumusan-rumusan yang berdimensi genetis, latar sejarah, profesi, kadang wilayah geografis.

Bicara manusia Hindu-Bali, belum lengkap tanpa menyertakan pergumulan sengit sebagian dari mereka dalam upaya menemukan rumusan-rumusan tadi. Dalam terminologi lokal dikenal sebagai sesulur, kawitan atau silsilah.

***

Perangkat acuannya bermacam-macam. Dari babad, isi lontar, prasasti, simbol-simbol tertentu (Seluang, simbol rasa hormat kepada jejak Mpu Kuturan, contohnya), wangsit hingga petunjuk para wikan yang dianggap memiliki kompetensi di bidang ini.

Menapaktilasi sejarah yang hulunya jauh, ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lalu, selain panduan referensi – tulis maupun lisan – tafsir serta asumsi-asumsi turut berperan. Pada titik ini orang butuh menyeimbangkan antara sisi rasionalitas ilmu pengetahuan dengan endapan pengalaman masa lalu berupa warisan genealogis yang kita terima turun temurun. Orang harus ‘bertempur’, selain dengan dirinya, juga dengan apa yang berasal dari luar dirinya, yakni realitas-realitas berbeda akibat penggunaan variable yang berbeda.

Kemungkinan ‘Salah Peta’

Dalam kosmologi kepercayaan masyarakat Hindu-Bali, persoalan silsilah ibarat keping penting sebuah puzzle. Keping berisi jejak-jejak keberadaan para leluhur yang nantinya merujuk tindakan pengkategorian tertentu. Katakanlah, pura sungsungan, pedarman, petirtan atau sarana-sarana yadnya (misalnya kajang pada waktu pelaksanaan upacara pitra yadnya, ngaben atau nge-yehin).

Yang rumit, belum tentu setiap variable berujung kepada hasil yang sama. Tidak jarang kita jumpai sebuah keluarga yang merasa tidak kunjung ketemu, yang harus melalui jalur berliku dan dibuat pangling oleh peta atau lantaran beragamnya panduan yang dijadikan rujukan. Banyak terjadi, misalnya, sebuah lontar menyebut klan keluarga A berasal dari alur purusa wangsa X. Kali lain, melalui referensi berbeda, didapat temuan berbeda pula bahwa klan keluarga A tadi berasal dari soroh Y atau Z.

Sebagai penawar, semacam jalan tengah, orang-orang tua punya petuah bijak, “napi je kacunduk, nike sampun adungin sareng sami.” Dengannya, benar-salah, tepat-tidak tepat bukan lagi soal yang paling utama.

Sebuah Tawaran Metoda

Saking samarnya cabang dan reranting sebuah pohon silsilah, ilmu pengetahuan modern pun (seperti uji DNA) tidak cukup gamblang mengurai riwayat genetis seseorang. Terlebih sesudah mengalami percampuran dengan anasir gen lain selama proses regenerasi dan evolusi berlangsung.

Kendatipun penelusuran silsilah klan keluarga di Bali ‘disederhanakan’ hanya berdasarkan alur purusa, namun pesan sesungguhnya adalah : tiap individu sejatinya terhubung – setidaknya sangat mungkin terhubung –  dengan individu lain melalui pertautan genetis tak terduga yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Pertalian genetis sering memuat kejutan. Nah, berikut, saya kutip utuh salah satu tulisan Dahlan Iskan di kolom regular, “Hope”, Jawa Pos 15 April 2015, judulnya : Ternyata Ada Darah Lim, Tan, Sudjana, dan Mojahed Garoot. Masih dalam konteks penelusuran silsilah. Hanya berbeda format, tepatnya memakai format sains. Tidak apa-apa, minimal sebagai pembanding. Selamat membaca.

***

Ternyata Ada Darah Lim, Tan, Sudjana, dan Mojahed Garoot

Inilah hasil tes DNA saya. Tiga hari lalu saya menerima hasil tes yang dilakukan tiga minggu sebelumnya di Amerika. Sebagian besar hasil tes itu sesuai dengan perkiraan saya. Sebagian lagi berupa kejutan. Ternyata benar, saya adalah orang Jawa. Artinya bukan orang dari benua lain. Hanya memang tidak jelas-jelas menyebut Jawa. Dalam pengelompokan DNA itu, darah Jawa dimasukkan dalam kelompok Asia Tenggara.

Yang juga tidak terlalu mengejutkan adalah saya memiliki darah Tionghoa. Baik dari jalur bapak, lebih-lebih dari jalur ibu. Hanya, persentasenya kecil. Kurang dari 2 persen. Menurut hasil tes DNA itu, dari jalur ibu, saya punya darah marga Lim. Sedangkan dari jalur bapak, saya memiliki darah marga Tan. Atau dalam bahasa Mandarin dikenal dengan marga Chen.

Persilangan dengan darah Tionghoa itu, masih menurut hasil tes DNA tersebut, terjadi sekitar 10.000 tahun lalu. Saya memang masih berusaha tahu darah Asia Tenggara saya itu aslinya dari mana. Jawa? Sunda? Kamboja? Vietnam? Belum ada perinciannya. Rupanya DNA Asia Tenggara itu masuk dalam sub-besar tersendiri.

Sebagaimana sub-besar Asia Timur: Jepang, Korea, dan Tiongkok. DNA Korea dan Jepang adalah perincian dari sub-besar Tionghoa. Hanya, penyebarannya ternyata dari Tiongkok ke Korea dulu, baru ke Jepang. Bukan ke Jepang dulu, baru Korea.

Sub-besar Asia Tenggara belum terperinci sampai ke subkecil seperti itu. Dengan demikian, masih terbuka perdebatan dari mana asal usul sub-besar Asia Tenggara itu. Apakah orang Jawa yang dari Malaysia, Vietnam, dan Kamboja atau orang Malaysia, Vietnam, dan Kamboja yang dari Jawa. Harus diingat satu riwayat bahwa Asia Tenggara itu dulunya satu daratan. Tidak ada laut yang memisahkannya. Bahkan, bukankah buku Atlantis, The Lost Continent menyebutkan, Asia Tenggara itu dulu sebuah benua tersendiri yang sangat makmur? Lalu benua itu lenyap akibat ledakan-ledakan gunung berapi yang mahadahsyat. Juga oleh tsunami-tsunami besar masa lalu.

Dari peta DNA saya itu, terutama dari jalur bapak, peta Jawa di asal usul darah saya terlihat lebih kental daripada peta wilayah lain di Asia Tenggara. Itu saya tafsirkan sebagai Jawa lebih tua daripada wilayah lain. Tentu Jawa pada saat itu bukan Jawa sebagai pulau tersendiri. Sedangkan menurut buku ”benua yang hilang”, pusat Benua Atlantis yang lenyap itu ada di tanah Sunda. Sangat mungkin yang dimaksud Sunda zaman itu adalah Jawa atau yang dimaksud Jawa saat itu adalah Sunda.

Hasil tes itu memang menyertakan peta-peta asal usul penyebaran penduduk. Ada warna-warni gradasi di peta itu yang menunjukkan arah penyebaran DNA. Termasuk arah DNA saya dari mana. Baik dari jalur ibu maupun bapak.

Dunia memang berubah drastis akibat bencana alam. Satu letusan Gunung Tambora saja sudah bisa membuat Amerika tidak mengalami musim panas di tahun itu. Rakyat Inggris kelaparan jadi peminta-minta. Panen apa pun gagal total. Kehancuran lebih hebat di wilayah yang lebih dekat seperti India dan Tiongkok.

Tambora (di Sumbawa) meletus pada 1815. April ini ulang tahunnya yang ke-200. Baru 200 tahun. Tiga bulan lalu saya ke Tambora melihat lahan yang akan ditanami kaliandra. Awalnya tinggi gunung itu 14.000 kaki. Setelah meletus tinggal 9.000 kaki. Bayangkan betapa hebatnya letusan Gunung Toba, entah tahun berapa, yang sampai membuat Gunung Toba hilang sama sekali. Bahkan meninggalkan sebuah danau yang dalamnya sampai 1.000 meter! Itukah yang membuat Benua Atlantis hancur? Yang membuat Asia Tenggara menjadi pulau-pulau Nusantara?

Yang juga masih belum terjawab adalah Taiwan. Menurut penjelasan DNA di situ, suku asli Taiwan ternyata sangat tua dan menyebar ke mana-mana. Termasuk ke Jepang dan Asia Tenggara. Sangat banyak bahasa asli Taiwan yang mirip dengan bahasa Batak.

Kejutan terjadi saat saya melihat hasil tes berikutnya. Saya sampai tertawa ngakak sendirian di depan komputer. Hasil tes itu memang dikirim melalui e-mail yang hanya bisa dibuka setelah memasukkan password. Saya tidak siap dengan kejutan ini. Ternyata, darah saya kecampuran darah suku Indian di Amerika. Atau yang sekarang disebut dengan ras American-Indian. Itu terjadi sekitar 50.000 tahun yang lalu. Masih sulit mencari literatur bagaimana bisa darah asal Asia tercampur dengan darah suku Indian.

Satu lagi yang membuat saya kaget. Ada darah Neanderthal di tubuh saya. Perannya pun lumayan : 2,9 persen. Persentase itu sama besar dengan yang dimiliki teman saya yang orang Amerika kulit putih. Teman saya itu, yang sudah lebih dulu melakukan tes DNA, darahnya campuran antara Jerman dan Inggris dalam persentase yang seimbang. Lalu ada darah Indian 5 persen dan Neanderthal 2,9 persen. ”Kita ternyata masih bersaudara,” teriaknya sambil tertawa. ”Sama-sama punya darah Indian dan Neanderthal,” tambahnya.

Neanderthal adalah makhluk mirip manusia yang hidup di dalam gua-gua yang ditemukan lebih dari 100.000 tahun lalu di dekat Düsseldorf, Jerman. Untuk melihat hasil tes ini, terakhir saya masuk ke ”menu” hubungan keluarga. Saya sudah menduga tidak akan banyak nama dari orang masa lalu yang bisa ditemukan masih punya hubungan keluarga dengan saya. Ini karena penelitian DNA pada tokoh-tokoh masa lalu di Asia masih belum banyak dilakukan.

Kalau misalnya makam-makam para kaisar Tiongkok diteliti untuk diambil DNA-nya, tentu akan banyak kejutan. Akan diketahui siapa saja yang masih keturunan kaisar A atau kaisar B. Apalagi, para kaisar itu dikenal punya banyak selir. Penelitian tokoh-tokoh masa lalu baru menyangkut ”abad ke berapa” atau ”kebudayaan”-nya seperti apa. Belum sampai DNA.

Sebagian mungkin ada masalah keagamaan. Misalnya, apakah mungkin makam nabi diteliti untuk diambil secuil tulang atau bagian apa pun untuk diambil DNA baginda. Ini akan bisa menjelaskan siapa saja yang sebenar-benarnya ahlul-bait. Demikian juga rasanya, tidak mungkin mendapat izin meneliti DNA para ulama besar di zaman dulu.

Ternyata betul. Hanya enam nama yang disebut punya hubungan keluarga dengan saya. Itu pun bukan nama-nama orang terkenal. Ada nama Sudjana, ada nama Muliawati, ada nama Tionghoa, Tan Teng Teng, ada nama Korea, dan ada nama Mojahed Garoot dari Arab Saudi. Saya sungguh terhibur oleh kejutan-kejutan hasil tes DNA saya itu.

***

Tulisan tadi saya harap cukup menjadikan kita tercenung. Kemudian pelan-pelan menyepakati bahwa, sekali lagi, kita semua terhubung. Kalaupun tidak dalam pertalian genetis, paling tidak dalam dimensi kemanusiaan. (T)

Tags: baliDNAorang balisoroh
Komang Armada

Komang Armada

Petani, penikmat kopi dan penyuka sepak bola indah. Bisa dihubungi melalui nyomanarmada@yahoo.com

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi dari penulis
Dongeng

Si Manusia Kodok

by I Ketut Suar Adnyana
April 17, 2021
Esai

KLB Penyakit, KLB Politik, Sama Saja

Jika dalam dunia partai politik ada istilah KLB (Kongres Luar Biasa) maka dalam dunia kesehatan pun ada KLB, namun kalau ...

March 9, 2021
Danau Buyan di Bali. (Foto: Mursal Buyung)
Esai

Bali: Utara dan Selatan #Kolom Made Metera

DALAM konteks dunia, Utara berarti negara-negara industri maju (Developed Countries). Selatan berarti negara-negara sedang berkembang, untuk tidak mengatakan terbelakang (Underdeveloped ...

October 14, 2018
Esai

“Paukon”, Kalender Budaya, dan Imajinasi Kebangsaan

Suku Sunda, Jawa, Bali, dan Lombok bisa dikatakan menjadi suku-suku yang sangat vital posisi tawarnya bagi terbentuknya negara Indonesia. Hal ...

February 2, 2018
Kilas

Bunga Bineka di Taman Penasar RRI Denpasar

  Penampilan Komunitas Seni RRI Denpasar di Taman Budaya Denpasar. /Foto: Istimewa ISU kebinekaan tidak hanya ...

February 2, 2018
Opini

Siapa Dalam Kotak Kosong Pilkada Buleleng? Politisi Hantu atau Kaum Golput

Hai Gess! Kenken Kabare, Gess? Nu inget nyoblos, Gess? Calon Tunggal di Buleleng jani, Gess. Memusuh jak KOTAK KOSONG, Gess. ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Dok Minikino | Begadang
Acara

[Kabar Minikino] – Indonesia Raja 2021 Resmi Diluncurkan Untuk Distribusi Nasional

by tatkala
April 17, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Gejala Bisa Sama, Nasib Bisa Beda

by Putu Arya Nugraha
April 13, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (69) Cerpen (163) Dongeng (14) Esai (1456) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (353) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (343)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In