Apa kabar, kawanku se-Indonesia? Lhoh, kok, diam? Tidakkah ada yang menjawabnya?
Baiklah, sepertinya menyapa dengan Bahasa Indonesia di jaman milenial ini, agak kurang greget. Kalau gitu saya coba menyapa dengan bahasa asing saja, how are you today?
Atau biar lebih greget lagi, Swatdi Khrab. Eits… ada yang tahu bahasa apa itu?
Kalauhow are you saya yakin pasti teman-teman tahu, bahwa itu Bahasa Inggris, kalau orang jawa bilang khususnya di kampungku biasa menyebut dengan bahasa wengsongseng. Apakah itu? Saya juga kurang tahu.
Bagi yang belum tahu ataukah sudah tahu harap diam dulu. Pura-pura saja belum tahu, biar saya bercerita. Jadi gini, Swatdi Khrab adalah Bahasa Thailand yang mempunyai arti ‘halo’, kalau di Indonesia seperti mengucapkan ‘apa kabar’. Karena saya laki-laki jadi saya mengucapkannya ‘Swasdi Khrab’ jika perempuan ‘Swasdi Kha’.
Bagi yang sering nonton drama atau film Thailand pasti tahu. Oh, ya, apabila ada penulisan bahasa mohon untuk dimaklumi hehehe.
Lanjut saja, kenapa saya bercerita sedikit tentang Bahasa Thailand? Karena saya pernah belajar di sana kurang lebih selama sebulan. Jadi tahu walaupun sedikit. Pepatah mengatakan jika tak kenal maka tak sayang, maka saya akan akan memperkenalkan diri.
Nama saya Mochamad Rifa’i teman-teman sering menyapaku Arif, Fai, atau Rifa’i. Dan lebih familiar lagi sering dikenal dengan Arif James, itu nama julukan dari salah satu teman waktu ospek dulu. Saya asli dari Tuban, Jawa Timur.
Saat ini di tahun 2019 saya duduk di bangku kuliah semester enam, Jurusan Pendidikan Olahraga, Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan di Universitas Pendidikan Ganesha. Itulah sekilas tentangku.
Sedikit bercerita, kenapa saya bisa ke Thailand. Gratisss, lhoh. Ceritanya gini, ini adalah program PPL dan PKL Luar Negeri yang diadakan oleh Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LPPPM) Undiksha. Program ini diikuti oleh mahasiswa semester lima dan tujuh se-Undiksha. Yang mana dalam program ini sasarannya ada di Vietnam, Thailand, dan Filipina. Bagaimana, keren bukan? Ya, pasti keren, dong.
Kembali ke pokok bahasan, saya mengikuti serangkaian acara mulai dari test awal hingga akhir. Hinggalah akhirnya saya lolos seleksi dan di tempatkan di Prince of Songkla University, tepatnya di kota Suratthani, Thailand.
Kurang lebih selama sebulan, namun tidak hanya saya sendirian. Ada beberapa teman yang sudah seperti saudara sendiri, diantaranya; Mochamad Abdul Aziz, Muhammad Iqba, dan I Gusti Lanang Agung Angan Byasama, mereka adalah semester lima dari prodi Bimbingan Konseling.
Kemudian ada Gede Pasek, untuk kakak Pasek saya lupa nama lengkapnya, lalu ada Gita Adetian, mereka dari prodi Bahasa Inggris semester tujuh, dan terakhir ada Kadek Angga Heriawan dari prodi Seni Rupa semester tujuh.
Kata yang keluar dari mulutku saat pertama menginjakkan kaki di sekolah tempat saya PPL adalah ‘keren’. Apakah tidak ada kata lain selain keren? Entahlah, pokoknya saya suka aja karena memang benar-benar keren. Nama sekolah tempat kami PPL ini adalah Wittayanusorn Surat Thani School.
Biasanya di Indonesia untuk SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat itu terpisah. Namun di Thailand agak sedikit berbeda. Hanya saja tingkat SD sama seperti di Indonesia yaitu belajar selama enam tahun, jadi kelas satu sampai kelas enam.
Kemudian, ini yang membedakannya, di Indonesia untuk SMP yang telah lulus kemudian melanjutkan ke SMA/SMK, namun jika di Thailand setelah lulus SD mereka langsung melanjutkan ke tingkat sekolah menengah selama enam tahun.
Artinya gini, untuk SMP dan SMA di sana itu menjadi satu tingkatan. Jadi pembagian kelasnya mulai dari tingkatan satu sampai tingkatan enam. Tidak dipisah seperti di Indonesia SMP sendiri dan SMA/SMK sendiri.
Bahkan untuk seragamnya sama yaitu dengan atasan putih, bawahan hitam itu digunakan setiap hari. Jika misal mereka hanya memiliki satu seragam saja, itu tidak akan ketahuan. Hehehe. Khusus untuk kelas yang mendapat mata pelajaran PJOK, selama sehari itu mereka mengenakan setelan olahraga.
Yang bikin saya terkejut ketika melihat aktivitas siswa dalam kelas. Dalam ruangan yang ber-AC dan tidak memiliki jendela namun tetap sangat enak dipandang. Banyak hiasan dinding hasil karya siswa. Lebih kerennya lagi bantal mini, selimut, boneka ada di dalam ruangan itu. Tergeleng-geleng ketika saya pertama menyaksikan pemandangan yang unik.
Tidak hanya itu saja, selama saya PPL di sana, hampir kebanyakan siswanya aktif. Begitupun fasilitas dalam kelas LCD proyektor, computer, sound disetiap sudut ruangann. Tak ketinggalan pula sarana prasarana yang lain seperti kolam renang, gedung olahraga yang lengkap, lapangan sepak bola, asrama wajib bagi siswa angkatan pertama, dan masih banyak lagi. Pembelajarannya dilaksanakan pada hari Senin sampai Jumat.
Uniknya, mereka melakukan upacara bendera setiap hari. Guru-guru tidak memakai seragam formal namun informal, hanya hari-hari tertentu saja mereka mengenakan seragam formal.
Selama empat minggu di sana, minggu pertama adalah observasi dan pengenalan lingkungan sekolah. Minggu selanjutnya kami mengajar namun masih didampingi oleh guru pamong. Baru menginjak minggu ketiga dan keempat, kami mengajar secara layaknya seoran guru sungguhan tanpa ditemani oleh guru pamong.
Sistem pembelajaran yang unik bagiku, khususnya pada pelajaran PJOK. Jadi waktu itu saya khusus ngajar tenis meja. Karena pelajaran PJOK di sana itu berbeda dengan di Indonesia. Jika di Indonesia pelajaran PJOK misalnya dalam RPP materi Bola Besar didalamnya ada bola basket, sepak bola, volley, dan lainnya. Kemudian pada pertemuan pertama bola basket, lanjut pertemuan selanjutnya bola volley, begitu seterusnya.
Berbeda dengan di Thailand, misalkan SMP kelas 1 semester ganjil, mereka belajar tentang aktivitas akuatik, yaitu renang. Jadi selama satu semester itu mereka hanya fokus belajar renang selama satu semester. Seperti pengalaman saya, ngajar mata pelajaran tenis meja, jadi selama saya praktik PPL di sana fokus dengan mata pelajaran tenis meja. Begitu seterusnya.
Dan bagusnya itu siswanya memiliki wadah untuk mengembangkan bakatnya. Karena memang sekolah fullday dari jam 08.00 sampai 16.30 waktu setempat. Sehingga pada waktu paruh sore digunakan untuk aktivitas pengembangan, seperti ekstrakulikuler, namun tidak berpatokan pada waktu. Intinya, di paruh sore itu siswa diberikan waktu bebas untuk melakukan kegiatan hal yang diminatinya.
Oh ya, ini yang sering ditanyakan teman-teman. Tak sedikt dari mereka bertanya seperti ini, ‘kok, kamu bisa ke Thailand emang kamu bisa Bahasa Inggris?’ Dengan santainya aku jawab, ‘PeDe aja’.
Jujur, jika dikatakan saya mahir dalam berbahasa inggris tidak juga. Bahkan kalau saya ditanya past tense dan tetekbengeknya itu saya tidak begitu paham. Kuncinya, kok, saya bisa pergi ke Thailand itu adalah nekad dan niat. Bahasa Inggris pas-pasan, cuma saya percaya diri saja bahwa ada niat pasti saya akan bisa. IPK saya juga biasa-biasa saja, karena modal nekad dan niat tadi, syukur saya bisa ke Thailand dan balik lagi ke Indonesia dengan selamat.
Saya akui, saya hanya bisa Bahasa Inggris yang dasar-dasar saja. Untungnya saya mengajar lebih dominan ke praktik, jadi ketika saya kesulitan menggunakan Bahasa Inggris yang baik dan benar, saya menggunakan bahasa tubuh. Yang terpenting siswa yang saya ajarkan itu paham. Toh tujuan menjadi seorang guru tidak hanya bisa menjelaskan saja, namun juga mampu membuat siswanya mengerti dan paham dengan apa yang disampaikan oleh seorang guru. Bukankah begitu? [T]