Rahina Sanicara Umanis Medangkungan Sabtu 2 Maret 2019, di Kota Tabanan ada dua momentum penting yang patut kita apresiasi dan maknai bersama.
Pertama, adanya ajakan Wakil Bupati Tabanan Dr. I Komang Gede Sanjaya, SE., MM untuk mengurangi pengunaan tas plastik di Pasar Tabanan, pagi. Kedua, masih di hari yang sama dilaksanakan upacara Melasti oleh Krama Desa Pakraman Kota Tabanan menyambut Hari Nyepi Caka 1941.
Jika kita apresiasi, keduanya memiliki makna dan dampak yang sama yaitu menuju penyucian atau pelestarian lingkungan dalam arti luas-sekala maupun niskala.
Di Pasar Tabanan (2/3/2019), sosialisasi pengurangan sampah plastik oleh Wabup Tabanan dibarengi dengan pembagian ratusan tas kainyang mendapat sambutan luar biasa dari warga kota. Begitu juga saat malam hari, ribuan warga mengikuti proses Pelastian menuju pantai Yeh Gangga yang telah lama menjadi “Segara Kebek” (pantai yang memakmurkan) bagi rakyat Tabanan.
Jika kita cermati, keberadaan Pasar Tabanan bukan saja menjadi pusat perekonomian tetapi juga dapat menjadi sumber pengetahuan budaya dan sejarah. Di Bali pada umumnya, kata “pasar” bukan saja berarti tempat pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (suplay) tetapi juga tempat dimana adanya penghormatan segala bentuk penciptaan oleh Hyang Maha Kuasa dalam beragam produk.
Di tengah Pasar Tabanan yang masih tergolong pasar tradisional itu, kita bisa melihat adanya keragaman warga (pedagan dan pembeli) yang berasal dari berbagai wilayah dan asal usul. Mereka mampu bersatu dan berdampingan untuk bersama-sama mencari penghidupan, bukan saja dalam aktivitas pekerjaan, tetapi juga bersatu dalam keyakinan spirit yang ditandai adanya penghormatan terhadap “taksu kemakmuran” yang ditandai adanya Pura Melanting di rengah papas dengan segala filosofi dan tatanan budayanya.
Di tengah Pasar Tabanan kita bisa banyak belajar tentang hakekat keragaman, persatuan, demokrasi, termasuk implementasi nyata semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu : “Bhinneka Tunggal Ika” dan prinsip-prinsip ekonomi Pancasila.
Sementara dari sisi pengetahuan sejarah, di tengah Pasar Tabanan kita bisa belajar banyak hal. Keberadaan Pasar Tabanan bisa menjadi penanda jejak-jekak peradaban dan pembangunan yang ada di pusat kota Tabanan. Tidak ada cacatan yang pasti tahun berapa Pasar Tabanan yang sekarang ini dibangun atau diresmikan.
Tetapi beberapa sumber memberi petunjuk pada tahun 1961 di areal Pasar Tabanan sekarang pernah ada Sekolah Rakyat (SR) dan sekolah rakyat tersebut pada tanggal 1 Juli 1961 pernah dipinjam (era Bupati TK. II Tabanan Ida Bagus Pudja 1955-1967) untuk penerimaan siswa baru SMA Negeri Tabanan yang kini menjadi SMA Negeri 1 Tabanan.
Pemanfaatan gedung SR untuk gedung pertama SMA Negeri Tabanan saat itu berlangsung hingga 1 Agustus 1961 dan kemudian setelah selesai pembangunan gedung sekolah yang baru pindah ke lokasi SMA Negeri 1 Tabanan sekarang di Banjar Pasekan.
Dalam catatan yang lain, hingga awal abad XX (1900-an masehi) lokasi Pasar Tabanan ternyata ada di sekitar perepatan Catus Pata Desa Pakraman Kota, tepatnya di sekitar pohon beringin kota bersebelahan dengan Pura Puseh sekarang. Setidaknya catatan dan foto pemerintah kolonila Belanda hingga terjadinya peristiwa pendudukan Puri Agung Tabanan tahun 1906 disebut dalam keterangan poto—-“sisi utara Ancak Saji Puri Agung Tabanan kearah barat. Nampak gerbang utara menuju pasar, Pura Puseh dan Pura Anglurah”- (Weede, 1908 dan KITL V) yang bisa memberi petunjuk bahwa hingga tahun 1906 masehi lokasi pasar induk atau pasar utama kota Tabanan ada di sekitar pohon beringin sekarang–utara Gedung Kesenian Ketut Maria. Lebih jauh lagi di jaman republik keberadaan Pasar Tabanan tersebut akhirnya dijadikan tonggak dalam pembagian wilayah desa yaitu : Dajan Peken, Delod Peken dan Dauh Peken.
Konon dulu oleh para punggawa atau pemimpin kerajaan, keberadaan pasar tradisional bisa dijadikan indikator untuk mengenali kondisi perekonomian masyarakat yang ada diberbagai pelosok desa di Tabanan. Terutama wilayah Tabanan sebagai kawasan pertanian (agraris) yang sangat berpengaruh bagi Bali yang memasok berbagai kebutuhan pangan dan bahan-bahan upakara alami keagamaan. Misalnya jika ada produk-produk khas sepi di pasaran, maka pihak pungawa kerajaan akan melakukan pengecekan ke wilayah tersebut untuk mencari tahu penyebabnya, apakah karena cuaca, hama atau bentuk-bentuk gangguan lainnya.
Tidak cukup satu hari untuk mengupas sejarah Kota Tabanan, tetapi setidaknya sosialisasi pengurangan penggunaan tas plastik oleh Wakil Bupati Tabanan Dr. I Komang Gede Sanjaya, SE., MM pada hari Sabtu (2/3/2019) di tengah pasar Tabanan bisa menjadi pengingat bersama bahwa pola dan “prilaku pasar“ di masa depan perlu pengaturan dan kebijakan dalam merespon issu-issu lingkungan yang pendekatannya bisa dikemas dalam beragam demensi, baik demensi politik, hukum, ekonomi maupun sosial budaya.
Tentu sangat tepat dan wajar, menjelang penyenggaraan pesta demokrasi Pemilu serentak 2019 (17 April 2019), sejumlah pihak bisa menyatukan langkah, menyelipkan program dan kebijakan-kebijakan lingkungan yang murah, praktis dan menyadarkan bagi banyak orang, sehingga tatanan spirit dan hakekat budaya Bali seperti dijelaskan dalam tatanan filosofis “Sat Kertih” (Nangun Sat Kertih Loka Bali) benar-benar bisa terwujud dan akhirnyaberujung pada pelestarian dan keharmonisan lingkungan Jagat Bali (Tri Hita Karana). [T]