Pagi di Nias 13, agak tergesa saya memarkir kendaraan, hari jumat, 1 Maret 2019 melihat jam hampir tepat pukul 10.00 WITA. Nias 13 identik dengan Fakultas Sastra Universitas Udayana dan juga studi Kajian Budaya untuk program pascasarjana oleh karena kampus ini berada di Jalan Pulau Nias, No.13. Ada dua alasan mengapa saya di tempat ini sampai-sampai meminta ijin di institutsi saya mengajar untuk tidak ngampus dan mengajar. Pertama dan yang paling penting, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri sidang promosi doktoral, kedua juga yang tidak kalah penting adalah janji tukar buku plus ngopi siang di warung kopi dekat kampus sastra UNUD.
Sidang? Siapa yang sidang terbuka promosi doktoral sehingga penting bagi saya untuk hadir? Ini alasan utama saya sampai membolos secara halus dari kampus saya mengajar untuk dapat menyaksikan sidang terbuka doktoral kedua kalinya dalam hidup saya. Adalah Hardiman. Nama yang begitu pendek akan tetapi sangat familiar di dalam medan sosial seni rupa Bali juga Nasional. Ya, Hardiman, saya dan kawan-kawan yang pernah di UNDIKSHA memanggilnya dengan Pak Har.
Ia adalah dosen di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Mengapa menjadi penting bagi saya? Wahh saya rasa berjuta alasan untuk menjawab itu, karena awal mula saya mulai lebih serius untuk literasi dan membuat perpustakaan pribadi di rumah adalah setelah berkunjung ke rumahnya sewaktu saya masih berstatus mahasiswa GAMASERA Singaraja, Pak Har juga yang saya mintai rekomendasi untuk dapat melanjutkan pendidikan pascasarjana saya di ISI Denpasar, oh iya Pak Har juga yang menjadi pembimbing TA saya, mengajarkan cara menata pameran, kurasi, membaca karya, menulis, dan lainnya.
Cerita saya putar lagi ke tempat parkir saat saya masih tergesa karena merasa terlambat akibat hidup di kota yang setengah modern dan tradisi. Di parkiran saya berjumpa dengan kawan perupa, Galung Wiratmaja dan Atmi Kristiadewi yang katanya masih menunggu Made Supena mutar-mutar jalan cari tempat parkir, kita mengobrol sebentar dan mereka pun berada di Nias 13 ini untuk menyaksikan sidang terbuka promosi doktoral Pak Har.
Saya melihat waktu dari smartphone sudah menunjukan pukul 10.00 dan saya berpamitan kepada mereka berdua untuk menuju ruang sidang dan baru melangkah sedikit saya berjumpa sahabat sastra yang juga sebagai pengajar di Sastra Bali UNUD sekaligus bertugas di perpustakaan lontar, adalah Putu Gunayasa. Ia menunjukan jalan kepada saya untuk mencapai ruang sidang yang tepat di atas perpustakaan lontar, saya bergegas dan berterimakasih.
Melewati puluhan anak tangga di gedung Poerbatjaraka naik, hingga sampai di ruang Soekarno dan di sambut bagian administrasi. Salah seorang menyatakan bahwa sidang baru saja mulai dan saya dipersilahkan masuk. Benar saja Pak Har sudah presentasi. Saya duduk paling belakang dan tepat di samping sahabat sastra juga, adalah Gede Gita Purnama yang dikenal dengan nama Bli Tilem, ia menjanjikan kopi dan obrolan di warung kopi, ini alasan kedua saya ada di sini dan rela bolos. Haha.
Di samping Bli Tilem ada sahabat perupa saya juga, Wayan Suja Antara, dan Wayan Naya, tampak sudah hadir beberapa dosen-dosen dari Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan dosen di Fakultas Bahasa dan Seni UNDIKSHA Singaraja, juga sahabat saya yang berprofesi sebagai kurator muda Bali, adalah Made Susanta Dwitanaya, dan tentu juga banyak yang hadir yang tidak saya kenal hehe.
Ok, kembali ke Pak Har. Ia sedang presentasi, memaparkan Disertasinya, di pojok duduk sendiri, di hadapan saya duduk paling tinggi dewan sidang, ketua sidang, promotor, ko-promotor, penguji.
Pak Har memaparkan hasil studi S3-nya yang berjudul Tubuh Sebagai Ekspresi Perlawanan: Representasi Ideologi Seksual Perempuan Perupa Kontemporer Bali. Dapat dikatakan bahwa dalam konteks ini Pak Har tidak hanya fokus dalam menganalisa karya akan tetapi juga membaca kepemilikan tubuh para perempuan yang berada di jalan seni kontemporer dalam sosio-kultural masyarakat Bali.
Fokusnya adalah bagaimana ideologi yang bekerja di balik karya-karya yang dihasilkan oleh perempuan perupa Bali. Yang perlu digaris bawahi juga adalah nalar seksualitas yang dimaksud adalah hubungan seks dengan realitas kasatmata organ seks dan kualitas seks yang bertalian dengan seksi atau realitas tubuh yang dapat membangkitkan birahi (sebagaimana tulisan Hardiman dalam buku Ringkasan Disertasi).
Perempuan Perupa yang dimaksud keseluruhannya adalah pelukis, Cok Mas Astiti, Ni Nyoman Sani, Ni Nyoman Sutrisni, Murniasih, Nia adalah perupa yang menjadi penelitian Pak Har. Setelah selesai pemaparan materi, dimulailah pertanyaan atau sanggahan oleh dewan sidang.
Di bagian ini saya agak sedikit gugup sendiri, entahlah, Pak Har yang sidang tapi saya ikut gugup, (mungkin saya terlalu meromantisasi keadaan) melihat kondisi riil Pak Har yang sedang dalam kondisi stroke dan sesi tanya-jawab yang walaupun tidak begitu alot tapi sempat terjadi semacam sanggahan (pelurusan) oleh salah satu dewan sidang mengenai feminimisme (kultur studi) dan kajian seni, saya memperhatikan Pak Har yang menguasai materinya sangat fasih menjawab dan menanggapi lontaran-lontaran pertanyaan tersebut.
Mungkin benar kata Wayan Suja Antara bahwa Pak Har adalah orang yang kuat dan keras seperti dalam tanggapan komentar pada beranda FBnya seusai sidang adalah “Hard(i)man”, bisa jadi maksudnya memiliki kode (i) saya, “Hard” berarti keras/kuat, dan “man” adalah manusia, Hard(i)man = saya adalah manusia kuat. Sekali lagi saya salut.
Seusai sidang yang dimulai pukul 10.00 – 11.45, dewan sidang mempersilahkan peserta yang hadir mengikuti jalan sidang terbuka untuk rehat sejenak sambil dewan sidang memberikan penilaian final terhadap jalan panjang atas studi S3 yang ditempuh poleh Pak Har. Ketika peserta sudah mulai berdiri dan perlahan mulai keluar ruangan sejenak, terlihat Pak Har datang mendekat ke arah kami-kami yang masih berdiri mengobrol, kami menyalami Pak Har, berbincang sejenak lalu saya dengan Bli Tilem dan Made Susanta keluar sejenak guna mencari angin. Kurang lebih 15 menit pengumuman kelulusan dalam Sidang Terbuka
Promosi Doktor Kajian Budaya segera dimulai, dewan sidang sudah menempati tempat duduknya, begitu juga Pak Har dan Kami mulai duduk dan mendengarkan keputusan yang akan diumumkan bersama-sama.
Ya, akhirnya.. Pak Har dinyatakan lulus dengan predikan Sangat Baik. Riuh tepuk tangan mengisi ruangan Soekarno di Nias 13. Pak Har, dipersilahkan berjalan ke tengah antara dewan penguji dan undangan, penyerahan piagam dan baju toga yang dipakai oleh Pak Har, menandai dirinya sah tahap satu menyandang gelar doktor sebelum sah tahap dua yaitu dalam wisuda nanti.
Setelahnya, salah satu dewan sidang yaitu Prof. Dharma Putra memberikan sepatah dua patah kata yang intinya memaparkan bagaimana perjuangan perempuan Bali di era 1927 (kolonial) dalam menyatakan kemerdekaan atas tubuhnya sebagai orang Bali, menolak poligami para suami masa itu dan perlawanan-perlawanan lainnya. Setelahnya sidang ditutup dan mulai sesi foto bersama.
Jurusan Pedidikan Seni Rupa UNDIKSHA Singaraja punya doktor lagi dan itu Pak Har. Dosen yang membawa print making (seni grafis) cetak di atas kanvas ke kampus pertama kali, yang menginisiasi lahirnya pegrafis muda dari Bali Utara, Penulis, Kurator, Perupa yang kini menjadi bagian dari medan sosial seni rupa Bali dan dunia.
Saya belajar banyak dari Pak Har meskipun waktu itu ia masih S2 belum doktor S3. Mahasiswa (kini) harusnya bersyukur punya Pak Har sebagai biang kerok yang mengompori mahasiswa-mahasiswa untuk selalu bekerja dengan serius, di lingkungan Kampus Bawah selain Pak Har juga ada bapak Wayan Sudiartasebagai kepala geng yang menyeret mahasiswa untuk bebas berekspresi di kampus juga di luar kampus, dan sederet dosen seni rupa UNDIKSHA yang tak kalah keren sebagai biang kerok yang mengompori mahasiswa seni rupa untuk lebih kreatif. Ahh lagi-lagi saya meromantisir ingatan masa kuliah di Singaraja.
Pak Har, sekali lagi saya ucapkan selamat atas peraihan gelar Doktor, jangan pernah lelah untuk memotivasi mahasiswa. Selamat… horeee….
Oh iya saya hampir lupa, setelah seni foto bersama dan ngobrol-ngobrol, saya, Bli Tilem, Made Susanta, dan Pak Wayan Sudiarta memohon pamit kepada Pak Har dan sahabat-sahabat lainnya yang masih berbincang di ruangan Soekarno, Nias 13. Kami meluncur ke warung kopi yang dekat dengan kampus, ya, tujuan kedua itu ngopi!! Ahh cerita berlanjut di warung sebelah.
Pohmanis, 3 Maret 2019