Cerpen: Ida Bagus Adnyana
Hari Raya Nyepi masih satu minggu lagi. Biasanya di masa seperti ini, tiap bale banjar di desa kami semarak dengan pembuatan ogoh-ogoh. Para pemuda selalu berkumpul untuk menyiapkan ogoh-ogoh yang akan diarak keliling banjar saat pangrupukan.Saya merasa kagum dengan mereka, hampir sebulan menghabiskan malam di bale banjar menyelesaikan ogoh-ogoh.
Namun kali ini yang saya lihat sepertinya berbeda. Bale banjar disamping rumah tidak terlihat ada pemuda berkumpul. Jangan-jangan hari Raya Nyepi tahun ini pembuatan ogoh ogoh ada di tempat lain, bukan di bale banjar, pikir saya.
Sore yang cerah. Saya keluar dari rumah sengaja naik sepeda. Semenjak bertugas di kota lain saya jarang-jarang pulang ke kampung halaman. Tradisi pulang kampung saya lakukan ketika menjelang Nyepi. Mengikuti arak-arakan ogoh-ogoh mengelilingi banjar selalu tidak dilewatkan. Semacam panggilan jiwa karena selalu ada kerinduan di sana. Melihat ogoh-ogoh hasil kreativitas pemuda, menyaksikan kemeriahan warga banjar dalam mengikuti arak-arakan ogoh-ogoh selalu berkesan buat saya.
Sambil menuntun sepeda keluar rumah sepintas saya lihat bangunan bale banjar. Bangunan tradisional yang luas dengan tiang tiang tinggi sebagai penyangga. Banyak aktivitas adat dilangsungkan di bangunan ini dan secara turun temurun kewajiban warga adat untuk menjaga serta merawatnya. Di bangunan ini tersimpan seperangkat gamelan untuk mengiringi upacara agama kami. Karena sejatinya bale banjar digunakan untuk tempat berkumpulnya warga dalam paruman, ruangan yang terbentuk berupa ruangan yang luas. Bale banjar bagi kami adalah bangunan serbaguna.
Beberapa meter mengayuh sepeda dari rumah, saya bertemu dengan Made Darma dan pemuda lain yang sedang duduk di atas motor. Tampaknya mereka asyik dengan ponselnya masing-masing. Made Darma adalah salah seorang pemuda di banjar kami yang masih terhitung kerabat dengan saya. “Kami malas, Bli“ jawab Made pelan ketika saya bertanya kenapa tidak ada ogoh-ogoh di bale banjar
“Sekeha Teruna di banjar ini tidak mau diajak main politik, kami kapok ditipu dan urusan politik itu urusan para politikus!“
****
Beberapa minggu yang lalu, bapak menelpon saya. Dia menyuruh pulang untuk mengikuti paruman di bale banjar. Semua warga banjar diharapkan untuk hadir. Bakal calon bupati akan datang untuk menyampaikan visi misinya. Karena masih sibuk dengan pekerjaan, saya tidak pulang dan tetap pada rencana akan pulang untuk merayakan hari Raya Nyepi.
Sebenarnya saya sudah tidak ingat lagi isi pembicaraan dengan bapak di telpon itu. Selama ini apapun keputusan paruman banjar saya pasti akan mengikutinya apalagi untuk kepentingan umum. Saya percayakan pada keluarga di kampung. Namun setelah mendengar jawaban Made Darma tadi saya mulai berpikir jangan-jangan ini ada hubungannya dengan paruman itu.
Saya menikmati keliling banjar dengan sepeda. Hitung-hitung sambil berolahraga. Suasana pedesaan memang sungguh berbeda dengan di kota. Hawanya sejuk, disana sini pepeohonan masih menghijau. Melewati sebuah lapangan volley terlihat para pemuda sedang asyik berolahraga. Saya sengaja tidak menghampiri mereka karena ingin melanjutkan bersepeda ke banjar sebelah. Di depan bale banjar saya berhenti. Keadaannya juga hampir sama dengan situasi di banjar saya, tidak ada aktivitas pemuda berkumpul di.banjar. Kenapa ya?
Dalam perjalanan kembali ke rumah, saya terus berpikir. Di sebuah pertigaan saya sempat berhenti. Ada tiga buah baliho terpasang berjejer. Satu per satu saya lihat dan amati ternyata isinya hampir sama. Pasangan bakal calon bupati mengucapkan selamat Hari Raya Nyepi. Barangkali mereka menjadikan hari Raya Nyepi momentum untuk mendekatkan diri kepada warga melalui baliho. Saya baru sadar bahwa sebentar lagi akan dilangsungkan Pemilihan Bupati.
Saya melihat bapak duduk santai ditemani segelas kopi hitam. Di usia yang mendekati enam puluhan masih terlihat gurat wibawa wajah bapak. Hampir sepuluh tahun sudah bapak menjadi pemimpin adat di banjar ini. Menjadi pemimpin adat harus mampu menjaga tradisi leluhur di bidang adat dan agama. Di jaman yang semua terbuka ini, hal itu tentunya sangat sulit. Godaan penguasa dan pengusaha akan datang silih berganti.
Bagi kami sudah terbiasa merayakan Hari Raya Nyepi dengan arakan ogoh-ogoh. Selain ada unsur seni, kegiatan tersebut sekaligus ritual untuk menetralkan pengaruh yang tidak baik saat melaksanakan Catur BrataNyepi. Hari Raya Nyepi adalah peringatan pergantian tahun baru Caka bagi umat Hindu. Apa yang terjadi nanti kalau hari raya Nyepi tanpa ogoh-ogoh? Jangan jangan akan mengganggu kehidupan warga kami. Saya harus mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.`
Akhirnya saya bertanya kepada bapak tentang tidak adanya ogoh-ogoh dalam Nyepi kali ini. Lama sekali beliau terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Sebagai pemimpin adat beliau tentu tahu persis jawabannya. Saya menunggu dengan pikiran yang tidak menentu.
“Dalam paruman kemarin Bapak Bupati yang akan kembali mengikuti pilkada tahun ini, memberikan sumbangan baju kaos seragam. Dalam paparannya meminta para pemuda yang nanti ikut mengarak ogoh-ogoh memakai kaos seragam sumbangan beliau.“
Saya mengerti jawaban bapak. Kaos seragam? Diberikan menjelang pilkada? Jangan-jangan sudah ada salah penafsiran. Waduh, bahaya ini kalau wilayah agama sudah dimasuki politik praktis.
Malam itu saya harus bertemu dengan Made Darma. Apa yang terjadi sebenarnya. Apapun permasalahannya, jalan keluarnya tentu ada. Tidak sulit untuk mencari Made Darma. Di sebuah warung para pemuda sedang berkumpul.
“Om Swastiastu!“ Saya menyapa mereka dengan senyum terkembang.
“Bli, kami sudah sepakat tidak akan mengarak ogoh-ogoh dalam malam pengrupukan,” kata Made Darma sambil menggelengkan kepala.
Saya teringat pembicaraan bapak sore tadi. Apakah ini ada hubungan dengan pembagian baju seragam.
“Made, Bli memang sengaja tidak pulang dalam acara paruman itu. Selama ini apapun yang menjadi keputusan pasti akan diikuti oleh warga banjar.” Saya sengaja memancing mereka untuk berbicara lebih lanjut. Mereka tetap acuh tak acuh, asyik memainkan ponsel masing masing. Percuma juga rasanya untuk bertanya pada saat yang tidak tepat. Bagaimanapun saya harus menanyakan persoalan ini dan mencarikan jalan keluarnya.
Saya kembali pulang ke rumah. Rasa penasaran ini harus dituntaskan. Entah siapa lagi yang harus saya tanya. Saya nyalakan ponsel untuk browsing, mencari tahu makna ogoh-ogoh dalam perayaan hari Raya Nyepi. Besok pagi saya harus bertanya kembali pada bapak.
“Sebenarnya ogoh-ogoh sudah disiapkan seperti biasanya, namun semenjak ada pertemuan warga dengan calon bupati itu, mereka memindahkan pembuatan ogoh-ogoh.“ Bapak menjawab pelan ketika saya menanyakan kembali tentang ogoh-ogoh. “Para pemuda tersinggung dengan sumbangan kaos seragam itu dan menyalahkan bapak karena tidak berani menolak“.
Ternyata benar, ada kesalahpahaman. Persoalan yang terjadi ada pada kaos seragam dan bukan pada ogoh-ogoh itu. Para pemuda merasa diarahkan untuk mendukung salah satu kandidat. Saya harus menemui mereka kembali.
“Bapa, kalau itu persoalannya kenapa tidak mengundang kembali para pemuda untuk bermusyawarah?”
Saya seoalah mendesak bapak. Ada rasa bersalah ketika ketika saya melontarkan kalimat ini.
“Bapa. sebenarnya apa yang terjadi dalam paruman itu, apakah nanti para pemuda yang mengarak ogoh-ogoh diharuskan memakai seragam pemberian calon bupati?” Saya bertanya penuh telisik. Seperti biasa pembawaan bapak tampak tenang. Pandangannya menatap keluar.
“Wayan,” suara bapak terdengar lirih. Begitulah bapak memanggil saya. Tidak pernah memanggil dengan nama lengkap I Wayan Sujana. “Wayan tentu sudah tahu bagaimana bapak menjaga tradisi lelulur kita sejak dulu. Sekolah bapak tidak tinggi, tidak banyak tahu tentang perkembangan jaman sekarang. Satu hal yang bapak jadikan pegangan dalam setiap mengambil sebuah keputusan dalam memimpin adalah selalu meminta petunjuk Ida Hyang Widhi. Dan semua keputusan yang diambil nantinya juga dipersembahkan kepada-Nya.”
Saya tidak menyangka bapak akan mengucapkan kalimat seperti itu. Menjadi pemimpin adat bapak disibukkan dengan kegiatan adat dan agama. Mengurus upacara agama di tingkat banjar dan pernikahan warga menjadi tanggungjawabnya. Barangkali karena selalu memohon petunjuk dan mempersembahkan semua kepada-Nya bapak selalu terlihat bersahaja.
Karena malam sudah larut saya beranjak ke tempat tidur. Besok pagi akan kembali menemui Made Darma. Malam begitu sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik di kejauhan.
‘Made, Bli mau ketemu!” Saya mengirim pesan melalui SMS. Lima menit belum dibalas. Barangkali Made belum terbangun. Jam masih menunjukkan 06.47. Saya memang terbiasa bangun pagi. Pekerjaan di bidang kesehatan membiasakan saya bangun pagi. Sepuluh menit juga belum ada balasan. Tiba-tiba handphone berbunyi. Sepintas saya melirik layar handphone. Tertera nomor yang belum dikenal.
”Om Swastiastu.” Saya menjawab dengan ramah.
”Ini tyang, Made, Bli, nomor baru!” Terdengar suara Made Darma.
”Made, Bli ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga Bli belum melihat ada ogoh-ogoh di Bale Banjar? “ Saya memulai percakapan ketika akhirnya Made datang ke rumah. Secara tradisi keberlangsungan adat istiadat di banjar kami juga menjadi tanggung jawab para pemuda. Mereka dihimpun dalam sebuah organisasi yang bernama sekeha teruna.
“Bli Wayan, kali ini kami benar-benar kecewa.“ Made menjawab dengan nada yang tegas.
Selama ini saya mengenal dia sebagai pemuda yang sopan. Di tengah derasnya pengaruh globalisasi akar tradisinya tetap kuat. Setiap upacara adat dan agama yang diadakan di banjar kami dia selalu ada untuk memimpin generasinya. Jika kali ini dia kelihatan frustasi tentunya tekanan yang diberikan sangat berat. Saya akan menyelaminya dari hati ke hati.
“Bli, kami pemuda sangat kecewa dengan sikap klian adat kita. Kenapa sikapnya seperti itu?“ Tampak sekali Made sangat kecewa.
Saya sengaja memberikan kesempatan agar dia mengeluarkan keluh kesahnya. Mereka menganggap bapak sudah luluh dengan penguasa. Situasi saat ini memang terlalu sulit. Arus globalisasi mengepung tradisi.
“Kita memang tidak bisa terlepas dari politik kekuasaan, karena begitulah adanya. Apalagi sekarang mejelang pemilihan kepala daerah. Kita yang harus menyikapinya dengan bijak!“ Saya berbicara dengan nada pelan.
“Justru di sini letak permasalahannya, Bli.“ Made menangkis dengan segit. “Dulu kalau tidak ada pemilihan bupati, kami tidak pernah merasa terbebani dalam membuat ogoh-ogoh.“
“Tidak ada yang salah dengan pemilihan bupati, Undang undang menjamin itu.“ Saya menjawab dengan serius.
“Pemilihan bupati dan rangkaian hari Raya Nyepi adalah dua hal yang berbeda dan keduanya sebenarnya tidak akan saling mengganggu…“
“Bli sih tidak ada saat paruman itu, dan semua yang hadir mendengar sendiri bahwa akan ada pembagian kaos seragam dan diharapkan dipakai saat arak-arakan ogoh-ogoh. Ini artinya apa, Bli? “
Saya melihat semangat Made dalam menjaga tradisi leluhur sungguh luar biasa. Memang seharusnya seperti itu sebagai generasi muda Bali. Selama ini kita dikenal karena budaya yang adiluhung. Tidak salah banyak wisatawan menjuluki Bali sebagai surga yang terakhir. Namun arus globalisasi juga tidak bisa dihindari. Diperlukan sikap yang kritis namun tetap bijak dalam menyikapi perubahan.
“Mari kita kembalikan ke tugas dan kewajiban masing- masing. Tugas kita dalam Nyepi ini adalah mengikuti serangkaian upacara Nyepi. Biarlah masalah pemilihan Bupati itu menjadi urusan politikus. Saat pemilihan nanti kita memilih sesuai pilihan nurani kita masing-masing!“
Aku berkata datar. Sepertinya Made bisa menerima penjelasan saya dan berharap Hari Raya Nyepi dirayakan sesuai dengan tradisi sebelumnya,dan ogoh-ogoh juga semarak keliling banjar saat malam pengrupukan. [T]