MATAHARI menggantung tenang di langit Ubud ketika jarum jam perlahan menyentuh angka 12.30. Hari itu, Minggu, 1 Juni 2025, Rumah Kayu, Taman Kuliner Ubud, Gianyar mulai dipenuhi orang-orang yang datang bukan hanya mencari rasa, tetapi juga cerita di balik pangan lokal. Di luar, cuaca terasa menyengat, namun di dalam Rumah Kayu, suasana terasa teduh—bukan karena suhu, melainkan oleh percakapan hangat yang mengalir.
Rumah Kayu terisi perlahan, penonton datang dari berbagai latar belakang: anak muda pencinta kuliner, wisatawan asing yang penasaran, hingga warga lokal yang sehari-hari akrab dengan pasar dan dapur. Saat diskusi dimulai, tak banyak yang sibuk dengan gawai. Sebagian besar menyimak dengan saksama, mencatat poin penting, atau sekadar mengangguk pelan saat pembicara menyampaikan hal-hal yang mengena.
Dalam semarak hari terakhir Ubud Food Festival 2025, sebuah diskusi ringan digelar: pembahasan buku “Ragam Resep Pangan Lokal”. Karya kolaboratif antara Badan Pangan Nasional dan Yayasan Gastronomi NUSA Indonesia—yang dikurasi oleh Chef Ragil Imam Wibowo. Buku tersebut tak hanya menyuguhkan kumpulan resep, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya keberagaman pangan lokal, serta kandungan nutrisi dan gizinya yang kaya.

Dari kiri ke kanan, Meilati Batubara, Chef Ragil Imam Wibowo, Wimas Astari | Foto: tatkala.co/Dede
Diskusi tersebut menghadirkan dua sosok berdedikasi: Meilati Batubara, akrab disapa Mei—pengusaha sekaligus peneliti kuliner yang telah lama memperjuangkan ketahanan dan keadilan pangan, serta Chef Ragil Imam Wibowo—maestro kuliner yang dikenal karena perannya dalam melestarikan dan memodernisasi masakan Nusantara. Acara dipandu oleh Wimas Astari, pembuat kue tradisional dengan pembawaan hangat dan bersahaja.
Wimas membuka diskusi dengan ringkas, lalu disambung oleh Mei, yang berbicara dengan nada tenang dan tegas. “Buku ini bukan cuma soal resep masak,” ujarnya. “Ini tentang kembali ke akar—mengenal kembali pangan lokal yang selama ini terlupakan.” Ia menambahkan, “Kita terlalu fokus pada nasi sebagai sumber karbohidrat utama, padahal Indonesia kaya akan alternatif seperti jagung, singkong, ubi, dan sorgum. Bahan-bahan ini tak hanya berpotensi menggantikan nasi, tapi juga punya nilai gizi dan cerita budaya yang tak kalah kaya.”


Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di UFF 2025 | Foto: tatkala.co/Dede
Meilati Batubara bukan nama asing dalam lanskap gastronomi Indonesia. Sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Gastronomi NUSA Indonesia dan Co-Founder NUSA Indonesian Gastronomy, ia adalah motor penggerak di balik berbagai riset dan inisiatif pelestarian pangan lokal. Ia memimpin program Pusaka Rasa Nusantara, mendirikan Sokola Rasa sebagai wadah pendidikan kuliner, serta memperkenalkan produk-produk artisanal lewat Toko Rasanusa. Visi besarnya sederhana namun dalam, membangun sistem pangan yang adil, sehat, dan berakar pada budaya lokal.
Sementara itu, Chef Ragil membawa energi dan kejujuran dengan gaya bicaranya yang akrab dan penuh humor. “Jadi, orang Indonesia kalau nggak ada beras, nggak mati juga,” katanya, disambut tawa ringan penonton. “Karbohidrat kita beragam, ada jagung, singkong, sagu, talas—semuanya enak dan bisa jadi bintang di meja makan.” Ia juga menekankan pentingnya kesejahteraan petani. “Kalau pangan yang kita konsumsi beragam, kita tidak hanya mensejahterakan petani padi, tapi juga petani jagung, singkong, dan bahan lokal lain yang menopang keberlanjutan pangan kita. Kalau petani sejahtera, ketahanan pangan kita pun ikut kuat.”
Chef Ragil Imam Wibowo adalah salah satu tokoh kuliner yang berpengaruh di Indonesia. Ia meraih berbagai penghargaan, bukan hanya karena kepiawaiannya dalam mengolah rasa, tetapi juga karena kepeduliannya terhadap keberlanjutan. Ia dikenal sebagai pejuang pangan lokal yang bekerja langsung dengan petani dan komunitas akar rumput. Kini, ia menjabat sebagai Ketua Komite Kuliner Indonesia—sebuah wadah lintas sektor yang memperkuat ekosistem gastronomi nasional lewat kebijakan dan inovasi.
Di sela diskusi, Chef Ragil mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pola makan masyarakat urban yang makin bergeser. “Padahal kita punya potensi untuk sehat lewat makanan lokal. Sayangnya, banyak yang tumbuh dengan jajan sembarangan di luar, yang banyak mengandung MSG,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya pendekatan B2SA—Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman—yang menjadi semangat utama dalam buku “Ragam Resep Pangan Lokal”.

Penonton melihat buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di UFF 2025 | Foto: tatkala.co/Dede

Penonton diskusi buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di UFF 2025 | Foto: tatkala.co/Dede
Diskusi mengalir lancar berkat panduan Wimas Astari, yang tak hanya seorang moderator, tetapi juga pelaku kuliner. Ia adalah pembuat kue tradisional Indonesia dengan resep turun-temurun keluarganya. Kue buatannya tak hanya sedap, tapi juga sarat cerita. Dengan suara lembut dan bahasa yang bersahaja, Wimas menjaga ritme acara tetap intim, mengajak penonton menyimak lebih dari sekadar kata-kata—melainkan kisah dan nilai.
Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 13.30—satu jam telah berlalu. Diskusi pun ditutup, dan kursi-kursi mulai kosong satu per satu. Siang itu bukan sekadar diskusi buku, melainkan ajakan untuk kembali merenungkan apa yang kita makan dan dari mana makanan itu berasal.
Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” bukan hanya catatan resep, tetapi juga catatan sejarah dan harapan. Di dalamnya tersimpan kisah tentang siapa kita, dan potensi besar yang bisa kita gali dari tanah sendiri. Karena, seperti yang ditekankan Meilati Batubara dan Chef Ragil: dengan menjaga rasa, kita sedang menjaga bangsa. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole