DI TENGAH orang-orang berdiri menyimak kota pada sebuah foto, seekor anjing masuk seolah juga hendak menyimak kota dalam foto itu.
Penuh kasih. Seorang lelaki dengan rambut panjang sambil tersenyum, menyapa anjing putih itu dengan menghampirinya di salah satu dinding yang tak jauh dari beberapa poto itu tercantel.
Lelaki itu menepuk-nepuk areal pantat anjing—tiga centi dari lubang anus. Menepuk-nepuk badan anjing, lalu mengelus-elusnya.
Anjing itu menurut. Mereka menjadi teman baru barangkali, dan merayakan kota diam-diam, pada pameran foto dengan tajuk Singaraja Pagi Hari di Pasar Intaran, Desa Bengkala, Buleleng-Bali, Minggu siang, 9 Maret 2025.

Pengunjung pameran foto Singaraja Pagi Hari di Pasar Intaran | Foto: tatkala.co/Son
Ada 11 foto tentang Kota Singaraja yang ditangkap 10 forografer di sela-sela pagi, yang dipajang dalam pameran itu. Antara lain, “Pagi yang Hangat di Bali Utara” oleh Putu Eka, “Menyusuri Heningnya Ombak” oleh Tony Atama, “Soenda Ketjil” dan “Aktifitas Singaraja di Pagi Hari” oleh Budi Susila Darma.
“Arus Lintas” oleh Eka Candra, “Bangun Pagi Menuju Mimpi” oleh Dila Cintia, “Pantulan Waktu di Museum” oleh Kadek Gopala Sai Wiswadara Arista, dan “Pantai Panimbangan” oleh Dek Dodi.
Kemudian, ada juga “Turis Meken” oleh Deka, “Tradisi dan Interaksi Masyarakat” oleh Zero Garo, dan “Pedagang di Jl. Sawo Depan Pasar Anyar Singaraja” oleh Yahya Umar.

Anjing dan seorang lelaki di ruang pameran | Foto: tatkala.co/Son
Pameran itu diselenggarakan dalam merayakan Kota Singaraja pada ulang tahunnya ke-421. Acara ini digagas Pasar Intaran dan Nutur di Natah.
Foto-foto itu tercantel di dinding pameran yang terbuat dari bambu, alias gedek. Masing-masing foto berukuran 14 R, dengan frame daur ulang plastik yang diproduksi Rumah Plastik Mandiri.
Kurator pameran, Anggara Mahendra, melalui catatan pengantar pameran menjelaskan, pameran itu seperti “pagi” yang diinterpretasikan oleh para perekam citra tentang Singaraja.
“Selayang pandang ini ibarat bersalaman untuk perkenalan pertama, sebelum kita mengenal lebih dalam dan berdiskusi tentang kota ini,” kata Anggara Mahendra dari catatannya tentang pameran.

Pengunjung pameran | Foto: Khumairoh
Selain pameran, di Pasar Intaran juga berlangsung, seperti biasa, berbagai macam aktivitas yang riuhnya terdengar melalui celah lubang dinding hingga ke ruang pameran.
Mereka yang berbincang di luar, berpindah tempat ke ruang pameran setelah pameran dibuka siang hari. Di ruangan itu, tak hanya ada pameran foto, tetapi juga ada baju-baju dari pewarna alam yang diproduksi Pagi Motley. Baju-baju itu tergantung di samping foto-foto yang dipamerkan.
Para pengunjung, selain menyaksikan pameran foto, juga sekaligus bisa membeli pakaian. Atau, setelah itu, bisa dianjutkan dengan mengobrol tentang romantisme kota setelah melihat foto-foto yang dipamerkan.
Misalnya mengobrolkan tentang sunrise ketika melihat foto berjudul “Pagi yang Hangat di Bali Utara”. Foto itu menggambarkan pemandangan basah kabut pagi di sela bebatuan dan air laut yang sedang tenang di Pelabuhan Tua Buleleng.
Warna biru dari langit dan laut yang dikecup manis kabut pagi terlihat jelas dalam foto karya Putu Eka itu. Apalagi tampak batu-batu berwarna hijau diselimuti lumut-lumut waktu. Putu Eka seakan berhasil menangkap berkat Tuhan dari sudut kota ini melalui kameranya.

Dila Cintia sedang menjelaskan hasil potretnya yang berjudul “Bangun Pagi Menuju Mimpi”. | Foto: tatkala.co/Son
Sedang di pintu sebelah utara, Dila Cintia sedang menjelaskan hasil jepretannya tentang “Bangun Pagi Menuju Mimpi”. Di dalam fotonya, seorang anak berbaju sekolah dengan tas di punggungnya—sambil menjinjing totebag di tangan kiri. Anak itu berjalan menuju sekolah seperti sedang memasuki dunia mimpi. Dua orang menyambut anak itu seumuran, sesama pelajar.
“Di sana, mereka seperti penuh kehangatan saling sapa di pintu masuk sekolah,” kata Dila Cintia. Melalui fotonya, Dila seakan menegaskan, di pagi hari, kota ini dibangun dari mimpi-mimpi.
Kota Tua yang Tak Lagi Puitik
Tak hanya dibangun dari mimpi, kota ini juga dibangun dari kerja-kerja. Setidaknya itulah yang dilukiskan Tony Atama melalui foto “Menyusuri Heningnya Ombak”. Ia berhasil mengabadikan sebuah momen seseorang sedang membawa pengunjung dengan jukungnya, untuk merasakan ombak laut utara di pagi hari.
Sementara Eka Candra, menangkap dua mobil angkot berwarna biru dan satu truk sedang membawa bahan-bahan material, melintas di depan sebuah patung ikonik Singaraja. Eka Candra memberi nama fotonya dengan judul; “Arus Lintas”.
Itu gambaran pekerja di jalan sedang mengayuh hidup. Sedang di sela riuh pasar tradisional tengah kota, Deka dan Zero Caro mengabadikan aktivitas jual beli di pasar dengan judul “Turis Meken” (artinya turis sedang ke pasar) dan “Tradisi dan Interaksi Masyarakat”.
Nyaris semua foto-foto itu memperlihatkan keindahan dan keramahan, juga optimisme. Buah-buah dijajakan di pasar. Ikan-ikan dijajakan di pasar. Kota dibangun dari orang-orang menaruh hidupnya di pasar. Kerja-kerja di laut. Dan dikuatkan dengan mimpi anak-anak manusia pergi belajar.
Tapi semua itu seakan dirobek oleh Yahya Umar dengan kamera bututnya. Hasil jepretannya mencolok mata, menohok. Merobek semua warna tentang kota romantik yang ditangkap para fotografer.

Yahya Umar dan foto karyanya | Foto: tatkala.co/Son
Fotonya diberi judul tak mendayu-dayu, “Pedagang di Jl. Sawo Depan Pasar Anyar Singaraja”. Judul seakan memberi ketegasan bahwa kota ini dibangun dari derita manusia di antara embun-embun pagi yang dingin.
Yahya Umar adalah seorang wartawan senior kawakan juga adalah seorang penyair. Melalui kaca mata puitiknya, lelaki itu seakan menelanjangi kota ini secara brutal dari para penganut eksotisme, melalui gambar yang jujur.
“Saya moto dari hape biasa saja,” kata Yahya Umar. “Sebuah kebetulan waktu itu, saat pergi belanja ke pasar dengan istri. Saya melihat ibu itu, dan saya memotretnya!”
Di foto itu, seorang ibu tengah mengantuk menjajakan daun singkong, daun kelor dan beberapa jagung di sebuah bakul. Perempuan yang tampak paruh baya itu berjualan di dekat tempat bak sampah yang menggunung sampah-sampah, yang barangkali, secara kasarnya—anjing liar lebih dulu mencari makan di sana pada malam hari sebelumnya.
Salah satu pengunjung pameran memandangi foto itu cukup terhenyak. “Hanya poto ini yang beda,” kata Ge Jyo, salah satu pengunjung masih SMA, menunjuk foto itu. “Ibunya jualan dekat tempat sampah, apa gak kebauan?”
“Tapi sekarang, tidak ada lagi yang jualan di sana. Foto ini diambil beberapa bulan lalu,” kata Yahya Umar, menghaluskan sudut pandangnya sebelum orang-orang berfikir lebih liar.
Ketika Yahya Umar bicara, anjing yang tadi ikut menyimak pameran tampak bengong. Barangkali ia ingin ikut bicara. Tapi orang-orang tak peduli. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- Liputan ini terselenggara atas kerjasama Pasar Intaran dan tatkala.co