Dua tahun terakhir saya selalu mendapatkan tawaran untuk menjadi juri atau diminta membantu membuatkan TOR (Term of Reference) lomba Baligrafi, akan tetapi saya selalu menolak. Satu alasan saya menolak adalah bahwa saya tidak menemukan kejelasan bentukan atau konsep dasar Baligrafi itu sendiri, satu pertanyaan yang kemudian merembet kepada rangkaian pertanyaan terkait Baligrafi adalah tentang apa itu Baligrafi?
Apakah kaligrafi yang dibuat dari aksara Bali? Mengapa namanya Baligrafi? Apakah sebagai sebuah brand seni aksara Bali? Apakah Baligrafi harus figuratif? Merangkai aksara menjadi bentuk figur dewa-dewi, simbol-simbol sakral misalkan cakra, trisula, gada, atau bentuk lainnya? Apa beda Baligrafi dengan aksara modre? Dan serangkaian pertanyaan lainnya yang memenuhi kepala saya.
Pada akhirnya, tahun ini saya putuskan menerima tawaran menjadi juri Baligrafi di Bali Utara, tepatnya di Pasar Intara (Rumah Intaran) dalam rangka Bulan Bahasa Bali. Alasan saya akhirnya menerima adalah saya ingin menjadikan proses hasil Baligrafi pada acara Merayakan Bahasa Bali di Rumah Intaran, Buleleng, sebagai salah satu contoh kasus.
Pertimbangan saya menerima tawaran tersebut adalah momentum untuk mengevaluasi Baligrafi harus segera dilakukan sebab saya anggap telah keluar dari keidealan kaligrafi itu sendiri, karya Baligrafi masuk ke dalam jebakan-jebakan estetik yang tanggung, memaksakan aksara Bali ke dalam bentuk figuratif, istilahnya rupa yang banal, kasar.
Meski demikian, saya tidak hendak memaksakan kebenaran secara mutlak pada tulisan catatan ini. Tulisan ini bukan sesuatu yang mutlak benar dan harus dituruti atau diamini oleh semua orang. Yang ada dalam pandangan saya adalah bagaimana menguarai simpul Baligrafi pada keidealan nafas kaligrafi dan bagaimana keidealan itu dihadirkan menjadi sebuah karya.
Persoalan Baligrafi hari ini adalah persoalan dua wilayah yang seharusnya bertanggung jawab bersama-sama yaitu wilayah dunia sastra Bali dan wilayah seni rupa.
Saat diskusi penilaian di Rumah Intaran, saya menawarkan hal ini kepada rekan juri yaitu Bli Nengah Juliawan, “Harusnya prodi Seni dan Kebudayaan Agama Hindu Kampus STAH Mpu Kuturan berani melakukan perumusan ulang Baligrafi dan melakukan rangkaian workshopnya bekerjasama dengan komunitas sastra Bahasa Bali Singhambara di Singaraja sebagaimana Prodi Seni Rupa Undiksha melakukannya melalui mata kuliah Prasi!”. Hehehe.

Proses penjurian dalam lomba baligrafi di Pasar Intaran (Rumah Intaran) | Foto: Purwita Sukahet
Semenjak setahun terakhir, saya pun mencoba untuk mencari sekaligus mereka-reka tentang keidealan Baligrafi dan relasinya terhadap pendidikan aksara Bali atau setidaknya relasi seni dengan aksara dalam konteks mempopulerkan lebih jauh aksara ibu orang Bali. Sialnya, yang saya tahu, dua orang tokoh penting pencetus istilah Baligrafi telah telah tiada yaitu sahabat saya sendiri, I Gede Gita Purnama AP atau Bli Bayu dan tokoh yang mempopulerkan istilah ini yaitu seniman Nyoman Gunarsa.
Padahal, semasa hidupnya, Bli Bayu sempat bercerita tentang Baligrafi kepada saya akan tetapi luput saya catat, sebab saya merasa istilah Baligrafi hanya bentuk pengistilahan terkait seni menulis aksara. Hingga akhirnya saya kelimpungan ketika Bli Bayu telah tiada, kepada siapa saya harus mengkonfirmasi hal ini, dan pada akhirnya saya mengontak sahabat-sahabat yang aktif pada perjuangan bahasa dan aksara Bali yaitu Wayan Suarmaja, Adit Arthadipa, dan Bli Mangku Gede Wiratana dengan via telf WA terkait Baligrafi dan tanggapan-tanggapan mereka terhadap hasil karya Baligrafi pada masa kekinian.
Hasil yang saya dapatkan adalah, yang pertama terkait dengan pengistilahan Baligrafi. Sebelum populer istilah Baligrafi, perilaku seni menulis aksara Bali telah dilakukan dengan istilah Kaligrafi aksara Bali. Baligrafi menjadi istilah populer dikarenakan ketokohan seniman almarhum Nyoman Gunarsa dan Bli Bayu sehingga Museum Gunarsa di Klungkung menjelma menjadi patron Baligrafi. Istilah Baligrafi sendiri adalah penyematan identitas atau brand terhadap seni menulis aksara Bali, memadankan Baligrafi dengan Kaligrafi.
Yang kedua terkait dengan karya Baligrafi terjadi banyak kasus penempatan aksara tidak sesuai kondisi, kekeliruan pemahaman bahwa Baligrafi harus berbentuk gambar, Baligrafi diarahkan kepada bentuk aksara modre dengan bentuk varian lekak-lekuk dengan tujuan hanya agar enak dilihat. Dalam konteks lomba Baligrafi, efek yang terjadi pasca-lomba adalah para pembina atau peserta lomba mengacu kepada karya yang menjadi juara sekaligus melihat siapa yang menjadi jurinya, yang terjadi justru Baligrafi dikompetisikan hanya untuk menang dan menjadi pelayan atas selera juri.
Pada dasarnya, terkait Baligrafi disampaikan oleh Bli Gede Mangku Wiratana menurut dosennya pada masa kuliah yaitu almarhum AA. Bagus Setiawan, tegas menyatakan bahwa Baligrafi seharusnya tidak melanggar pasang pageh aksara, kiri-kanan atau atas ke bawah, kata-kata itu agar tidak terputus. Menariknya lagi bahwa ternyata Baligrafi telah masuk ke dalam kurikulum SMP kelas 9 di Klungkung. Hal ini harusnya direspon oleh perguruan tinggi seni rupa dan desain atau sastra Bali, sebagai contohnya adalah terkait seni prasi yang kini berevolusi berkat masuk sebagai kurikulum di jurusan seni rupa Undiksha Singaraja.

Arjunawijaya – Sir Hans Sloane – The British Library – Sloane 3480
Kaligrafi pada dasarnya adalah ‘tulisan yang indah’, seni menulis aksara. Baligrafi berbeda dengan genre ‘Modre’ dalam sastra Bali, Baligrafi sebagaimana kaligrafi ditulis dengan pena, kuas, penggunaan tinta, dan media tulis lainnya. Sampai di sini, definisi kaligrafi tersebut jelas merujuk kepada kerja menulis yang indah.
Kata indah tentu merujuk kepada sifat estetik, lango, yang mampu mengesankan hati. Ia berkaitan dengan ekspresi dan sejalan dengan itu sangat subjektif. Di lain sisi, istilah Baligrafi lebih kepada alih-istilah yang pada dasarnya secara tata cara pengerjaan sama, istilah Baligrafi juga hadir sebagai branding spesifik hanya untuk aksara Bali. Pada titik ini kita memahami bahwa Baligrafi sebagai sebuah brand dari kerja menulis aksara Bali yang ‘indah’ sedangkan Kaligrafi adalah istilah yang berlaku umum.
Apabila Baligrafi sebagai seni menulis mempergunakan aksara Bali maka cikal bakalnya haruslah dilihat pada manuskrip atau lontar-lontar. Ada banyak varian bentuk tulisan aksara Bali yang dapat dipergunakan sebagai acuan, salah seorang sabahat saya dulu bercerita tentang temuan satu lembar lontar yang kondisinya rusak koleksi British Museum, aksara Bali yang ditulis pada lontar tersebut unik dengan lekukan garis yang digurat sedemikian rupa lentur dengan tetap memperhatikan ‘pasang pageh’ aksara Bali yang taat.
Beberapa temuan lontar yang tersimpan di rumah-rumah masyarakat juga memiliki karakteristik penulisan yang unik dan baik sekaligus dapat dipergunakan sebagai rujukan di dalam pemetaan awal sejarah Baligrafi itu sendiri.

Relief Stilasi figur gajah di Masjid Mantingan, Jepara | Foto dari Koleksi Tropen Museum
Lomba-lomba Baligrafi yang digelar di Bali selalu menghasilkan kaligrafi figuratif, aksara yang dituliskan dengan pendekatan figur atau menjadi sebuah indeks seperti membentuk pulau Bali, membentuk gapura, dan umumnya adalah figur dewata atau simbol-simbol dewata seperti cakra, trisula, dan lainnya. Hal ini mengingatkan saya pada tradisi deformasi bentuk oleh Islam di Nusantara, jejaknya ada panil relief pada Masjid Mantingan, Jepara. Figur distilasi mempergunakan motif ornamen membentuk sebuah figur binatang kera dan gajah, saya kira dasarnya adalah salah satu norma di dalam agama Islam yang tidak diperbolehkan menggambarkan makhluk hidup yang memiliki jiwa dengan tujuan dipuja atau diagungkan.
Kasus di dalam Baligrafi yang populer hari ini adalah stilasi aksara Bali membentuk sebuah figur, deformasi bentuk aksara terjadi untuk mengejar bentuk figur yang diinginkan. Itu tidak salah asalkan tidak merusak aturan ‘pasang pageh’ aksara Bali, yang sering terjadi pada hasil karya lomba Baligrafi adalah aksara Bali dipaksakan atau terdeformasi terlalu jauh karena mengejar bentuk figur, dan saya tidak setuju akan hal ini.
Seharusnya penekanan Baligrafi adalah pada tata cara menulis aksara Bali dengan ragam varian media tulis dan ‘pasang pageh’ aksara Bali adalah acuan mutlak di dalam kriteria utama penilaian. Perosalan apakah bentuknya Baligrafi figuratif bukan menjadi acuan utama penilaian, itu hanya salah satu genre dalam dunia kaligrafi. Jika ada yang membuat Baligrafi tanpa menjadi figur juga sangat patut untuk dipertimbangkan dengan catatan bagaimana mereka mengolah atau menambahkan lekukan-lekukan aksara Bali dengan pendekatan seni tanpa menghancurkan aturan ‘pasang pageh’ aksara Bali. Kita harus menengok kembali kepada tradisi kaligrafi baik pada dunia kaligrafi Barat maupun tradisi kaligrafi Timur.
Di dunia Barat Kaligrafi berkembang menjadi ragam penciptaan karakter dan penyusunan huruf yang kita kenal sebagai ilmu tipografi, ada pula istilah illustrated manuscript menjadi genre tersendiri dalam dunia kaligrafi mereka. Sedangkan di dunia Timur, kaligrafi China sebagai contoh, dari mengencerkan tinta batangan dengan menghidupkan dupa berbau harum proses pembuatan kaligrafinya didasari pada keterhubungan spiritualitas manusia dengan dunia melalui penyatuan antara tubuh manusia, perasaan, dan spiritualitas. Tradisi kaligrafi Arab menunjukan perkembangan lain yaitu kaligrafi figuratif dengan tetap acuan utamanya adalah keterbacaan aksaranya.
Baligrafi dalam konteks Invented Tradition ternyata mengalami kebuntuan pun kebingungan, yang terjadi adalah perilaku penyimpangan menulis aksara akibat dari kekeliruan pola pikir atau ketidak jelasan pemahaman konsep Baligrafi itu sendiri.

Kaligrafi figuratif wujud kuda dengan aksara Arab | Sumber Seni Kaligrafi Islam
Melalui catatan ini, saya mengajukan beberapa kriteria Baligrafi yaitu [1] Pasang Pageh Aksara Bali; [2] teknik penulisan; [3] nilai ‘lango’ atau estetika; [4] kesesuaian ekspresi guratan dengan acuan teks.
Empat kriteria itu diturunkan dari dua aspek utama yaitu aspek sastra dan aspek seni rupa. Kriteria [1] dan [2] adalah wilayah aspek sastra dalam hal ini sastra Bali. ‘Pasang pageh’ aksara Bali berkenaan dengan aturan atau tata cara penulisan Aksara Bali, acuan umum penulisan dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah, keterbacaan aksara Bali, kesesuaian alih aksara dari latin ke aksara Bali.
Pada tataran lomba, tidak usahlah menghadirkan teks-teks mantra, itu terlalu berat jika kita ingin membumikan bahasa dan aksara Bali terhadap anak-anak maupun generasi muda, Baligrafi cukup dengan kutipan kakawin atau gaguritan.
Kriteria teknik penulisan mengacu kepada hasil guratan alat tulis terhadap media, penting diingat bahwa media memiliki peranan penting di dalam menghasilkan ragam jenis efek guratan, penggunaan tinta dengan alat tulis pena berbeda dengan guratan kuas, bahkan efek sapuan tinta dengan jenis kuas berbeda memberikan efek yang variatif, tipe kuas khusus kaligrafi berbeda dengan kuas meski sama-sama dapat dipergunakan di dalam membuat Baligrafi, lukis yang dapat dipergunakan untuk kaligafi pada umumnya ada 8 yaitu kuas tipe round, flat, bright, filbert, fan, angle, mop, dan rigger.
Kriteria nilai ‘lango’ atau estetika berkenanaan terhadap penilaian elemen rupa yang dihadirkan, bisa berupa lelehan tinta, cipratan tinta yang disengaja untuk memperkuat kesan tertentu, penggunaan warna dalam konteks harmonisasi, penambahan simbol atau ikon rupa, atau keselarasan aksara yang dibentuk figuratif. Merujuk kepada kaligrafi, Baligrafi tidak harus dibuat dalam format lukisan/painting, mati-matian melukis bidang latar belakang yang justru mengaburkan point of view tulisan. Ingat bahwa Baligrafi adalah seni menulis aksara Bali, bukan seni melukis yang ditambahkan aksara Bali! aspek seni rupa yaitu lukisan sebagai pendekatan di dalam mewujudkan tulisan aksara Bali yang indah, memiliki nilai ‘lango’.
Kriteria kesesuaian ekspresi guratan dengan acuan teks dalam Baligrafi berhubungan dengan ‘an art of self expression’ atau seni mengekspresikan diri melalui aksara Bali. Pada tahapan ini yang dilihat adalah karya Baligrafi secara holistik atau menyeluruh. Misalkan saja, bait yang dituliskan merujuk kepada bait kakawin tentang cinta maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana si pembuat Baligrafi ini mengekspresikan nuansa cinta pada guratan/garis garis aksara Bali. Pentingnya memiliki sensibilitas, peka terhadap rasa, memahami dan merasakan karakteristik garis dan keseuaian dengan bait yang disodorkan dan tema yang ditetapkan.
Terkait dengan penggunaan media tulis bisa beragam, kertas khusus kaligrafi, kertas gambar yang khusus untuk cat air, kanvas lukis, kanvas lukis Kamasan, bahkan lontar. Meski sama-sama menyuratkan aksara Bali, Baligrafi berbeda dengan hanya menyurat aksara Bali.

Relief Stilasi figur kera di Masjid Mantingan, Jepara | Foto dari Koleksi Tropen Museum
Di dalam konteks lomba Baligrafi, penting untuk panitia lomba menyediakan pilihan teks bagi peserta. Maksud saya adalah panitia memilih satu bait atau satu kalimat dari sebuah bait dari kakawin ataupun geguritan dalam aksara latin lengkap penggunaan tanda diakritiknya, inilah yang disodorkan kepada peserta lomba.
Di lain sisi, para peserta lomba tentu harus memahami pengetahuan alih aksara Bali secara ulang-alik yaitu dari aksara Bali ke aksara latin, begitu juga sebaliknya. Penguasaan alih aksara dan penggunaan tanda diakritik ini adalah bagian pembelajaran terhadap bahasa dan aksara Bali bagi anak-anak maupun generasi muda Bali. Tujuan yang saya bayangkan adalah adanya pembelajaran penulisan aksara Bali yang berdasar pada aturan-aturan ‘pasang pageh’ aksara, bagian dari membumikan aksara dan bahasa Bali, sehingga pada saat lomba ada semacam kejutan kepada peserta lomba ketika menerima tulisan latin lengkap tanda diakritik yang harus dialih aksarakan sekaligus ditulis dengan seni menulis.
Di samping itu, tentu saja para peserta lomba memaknai kalimat atau bait yang disodorkan, dalam artian memaknai rasa pada narasi kalimat atau bait, apakah bahagian, sedih, takut, cinta, marah, benci, heroisme, dan lainnya. Hal ini tergantung pada relasi tema yang ditetapkan oleh panitia.
Lomba tentu saja menjadi sebuah ajang kompetisi, mencari yang terbaik, tetapi yang harus diingat adalah bahwa lomba hanya salah satu jalan pembuktian dari proses pembelajaran terhadap sesuatu. Yang perlu ditanamkan kepada para peserta lomba dalam konteks Baligrafi adalah bahwa apa yang mereka lakukan pada hasilnya bukan perkara juara atau tidak melainkan proses pembelajaran dan pemahaman pengetahuan atas bahasa dan aksara Bali sekaligus wujud keberanian mereka atas kebanggaan mempergunakan bahasa dan aksara Bali. Boleh jadi pelestarian bahasa dan aksara Bali dilakukan dengan jalan mesatua, pidato, debat, bernyanyi karaoke berbahasa Bali, tetapi ingat bahwa Baligrafi memiliki peluang besar di dalam medan sosial seni dan dunia industri kreatif. Baligrafi, dengan demikian adalah salah satu indikator masa depan seni menulis aksara ibu orang Bali. [T]
Pohmanis, 5 Maret 2025
Penulis: Purwita Sukahet
Editor: Adnyana Ole