KAUM modern, urban yang tidak memiliki relasi dengan kearifan pertanian kuno, menganggap serangga hanya hama. Karena itu, harus dimusnahkan. Tapi kearifan masa lalu sebelum manusia mengenal racun pertanian, serangga adalah teman. Manusia wajar berbagi kepadanya. Serangga sama sekali tidak dibunuh dalam pengertian dimusnahkan dengan obat-obatan kimia. Serangga dikendalikan secara alamiah dan biologis.
Pengalaman-pengalaman manusia di masa lalu di ladang-ladang pertanian, kebun, tegalan, subak, huma, sampai kepada penemuan-penemuan racun alamiah dari daun; untuk membunuh serangga atau mengendalikan populasinya.
Ada pula strategi jitu nan arif para petani untuk hidup di ladang-ladang pertanian bersama serangga yaitu dengan cara mengatur jadwal tanam. Para petani yang arif itu akhirnya menemukan kalender kertamasa (neng, memendo, ngemasa, gegadon). Kapan menanam apa (padi atau palawija). Jadwal tanam sebisanya bersamaan dalam satu kawasan persawahan (subak) atau perladangan atau perhumaan.
Dan, pelajaran penting dari kehidupan hubungan petani dan serangga baik di pertanian padi maupun di perkebunan kopi atau di tegalan adalah mendata serangga-serangga mana yang lezat disantap. Mungkin para petani di masa lalu belajar dari para predator serangga yaitu kadal atau reptil dan tentu saja burung pemakan serangga seperti king fisher. Akhirnya ditemukan sejumlah daftar serangga yang bisa dimakan. Tidak hanya aman dimakan, tentu saja lezat.
Namun demikian, serangga tidak bisa didapat sepanjang tahun. Kehadiran serangga di subak misalnya sangat bergantung pada musim atau siklus tanaman. Karena itu, menu makan serangga adalah menu makan musiman. Serangga-serangga muncul di ladang-ladang pertanian, persawahan, perkebunan kopi pada musim-musim tertentu. Ini sudah dipahami oleh para petani. Mereka tidak hanya mengenal kalender bercocok tanam, kalender musim, dan juga mengenal kalender serangga.
Kemudian muncul sejumlah serangga yang telah didaftar untuk bisa dimakan. Namun tidak semua kelompok masyarakat, suku memiliki daftar serangga yang sama dengan kelompok lainnya. Di suatu tempat (Papua) laba-laba besar dimakan tetapi di bagian masyarakat lain tidak demikian halnya. Sambal balang sangit hanya dikenal di Praya (lombok).
Serangga memang menjadi musuh menurut pandangan pertanian modern. Betapa kanibalnya pandangan ini. Betapa egoisnya pandangan ini. Padahal kalau belajar teori evolusi, serangga muncul jauh sebelum manusia hadir di dunia. Jumlah spesiesnya berlipat-lipat kali daripada spesies homo sapien.
Di desa-desa pertanian Bali, seperti di Kecamatan Pupuan, di mana daerah ini memiliki dua jenis pertanian, yaitu subak dan perkebunan kopi; serangga pun dikenal untuk menu makan yang lezat. Kehadiran serangga sama sekali tidak menjadi persoalan. Bahkan, serangga dianggap memiliki berkah bagi petani karena akan menambah menu makan (protein hewani). Pandangan ini melahirkan tradisi menyantap serangga.
Di samping dipicu juga oleh kondisi atau letak geografis Kecamatan Pupuan yang ada di ketinggian 1000 MDPL. Jarak dari laut baik di utara, di selatan, maupun di barat sangat jauh. Tidak mudah untuk mendapatkan ikan segar di sini. Karena itu pasar Pupuan menjadi tempat untuk mendapatkan protein hewani dari laut tetapi sudah dikeringkan yang semuanya berjenis ikan asin (sudang, berbagai jenis pindang, berjenis-jenis gerang, dan grago).
Makan daging di masa lalu adalah perilaku hidup sehat karena daging hanya disantap 6 bulan sekali bertepatan dengan hari raya galungan atau secara insidental. Masyarakat di sini menyantap daging babi, ayam, atau sapi ketika ada tetangga yang memiliki hajatan atau gae adat.
Ada sejumlah serangga yang bisa dimakan di daerah Pupuan, seperti misalnya di Desa Batungsel. Serangga-serangga tersebut tentu saja yang berasal dari sawah maupun yang berasal dari perkebunan kopi. Sawah dan perkebunan kopi adalah habitat serangga. Di sini serangga menjalani metamorfosis dan tempat melewati daur hidup. Di perkebunan kopi maupun di lahan subak serangga-serangga juga bertarung untuk mempertahankan kehidupan dari predator. Di kedua habitat inilah tempat mereka kawin, bertelur, dan tumbuh dewasa, sampai pada akhirnya mati.
Di sawah ada sejumlah serangga yang bisa dimakan seperti klipes (ada dua jenis yang memiliki jarum di bawah perutnya adalah kelipes jantan dan ini enak dimakan karena tidak mengeluarkan bau amis sedangkan yang tidak memiliki jarum adalah betina). Di samping klipes ada juga blauk, tahapan ketika capung masih hidup di lumpur sawah. Setelah blauk menjadi capung tentu saja capung bisa dimakan. Ada berbagai jenis capung yang dikenal di Desa Batungsel, seperti capung godeh, capung ragi, capung gantung, capung kokok, capung memedi, capung gula, caoung ning ning, dan capung sera (terasi), capung kebo. Yang terbesar adalah capung godogan, paling langka berwarna hijau metalik, keemasan.
Di subak di sawah-sawah di Batungsel juga mudah ditemukan beluang. Ada dua jenis. Yang hidup di darat dan setiap malam berbunyi sangat memakakkan telinga yaitu disebut ngangang (beracun). Beluang yang bisa dimakan adalah beluang yang hidup di sawah. Beluang ini muncul pada saat petani membajak sawah yang sudah 6 bulan kering (neng). Saat musim tanam tiba sawah ini dikembalikan untuk bisa ditanami padi. Selama pengolahan ini beluang muncul ke permukaan lumpur yang sedang dibajak dan ditangkap oleh petani dan anak-anak mereka dengan sangat riang.
Ada pula jangkrik walaupun jenisnya tidak banyak. Warnanya hitam, jangkrik bawang. Ini juga enak disantap. Di samping jangkrik adalah belalang. Belalang hidup di rumput-rumput di tegalan di tepi sawah dan bisa ditangkap ketika hujan. Air hujan membasahi sayap sehingga mereka tidak mudah terbang atau melompat.
Masyarakat Desa Batungsel mengenal berbagai jenis belalang, seperti balang sujen (warnanya hijau dan bentuknya tajam seperti sujen), balang ketipat, balang senogol, balang seran, dan balang timah. Belalang ada juga yang terasa pahit tetapi tetap aman dikonsumsi. Sedangkan belalang yang berhabitat di kebun kopi adalah balang kekek (hijau dan cokelat kusam seperti warna kayu kering)
Di habitat perkebunan dan tegalan, masyarakat Batungsel mengenal ores, sungeret (nongcret), ancruk, nyawan, tabuan, dan dedalu (rayap dewasa yang sudah bersayap dan muncul di musim hujan, memburu sinar lampu). Ancruk hidup di bekas batang jaka yang sudah ditebang, dari nutrisi permentasi sagu. Pohon-pohon dapdap berduri yang tinggi menaungi kebun-kebun kopi adalah sarang terbaik bagi uled atau sebatah. Serangga ini juga sangat enak disantap apalagi yang sudah tua dan terutama sumangyang (uled dapdap yang sedang ada dalam metamorfosis: pada fase kepompong).
Ores satu spesies dengan sungeret. Yang lazim dimakan adalah ores (ukuran tubuh setengah lebih besar daripada sungeret, warna hijau tua dan hitam dengan garis putih pudar di bagian perut). Karena ia hidup di pohon-pohon besar yang tinggi, seperti gumpinis, di samping karena bergantung pada musim; jauh sangat sulit ditangkap. Hanya pohon tertentu, seperti gumpinis saja yang disukai. Tertantang oleh kelezatan ores sehingga masyarakat Batungsel bekerja keras agar bisa menangkap mereka, dengan engket teep.
Pada umumnya serangga dipanen dengan tangan telanjang. Ada pula beberapa serangga yang harus ditangkap dengan alat bantu seperti engket (cara kerjanya seperti lem) (dari pohon nangka atau teep). Menangkap serangga di samping menggunakan alat juga dapat memanfaatkan keadaan lingkungan. Misalnya menangkap capung di sawah tidak perlu menggunakan alat tetapi harus ketika embun masih lebat di sawah. Embun menutupi sayap-sayap capung yang bermalam di rumpun padi. Pagi ketika embun masih melekat tebal di sayap capung-capung yang masih lelap tidur, tidak bisa terbang ketika ditangkap dengan sangat mudah. Menangkap capung dengan bantuan embun pagi di Desa Batungsel dikenal dengan sebutan nyemeng. Pada siang hari ores dan capung ditangkap dengan engket.
Sayap-sayap serangga dihilangkan ketika digoreng, demikian pula duri-duri kaki, atau sungutnya yang tajam; diberi bumbu kesuna cekuh. Ini menjadi suguhan yang sangat nikmat.
Revolusi hijau (dengan racun, pupuk, mengubah struktur tanaman, memperpadat pola tanam, mengganti bibit) telah menghancurkan habitat serangga. Serangga semakin sedikit ditemukan di ladang-ladang pertanian subak di Desa Batungsel. Daging ayam bisa didapat setiap hari sehingga lambat laun tradisi makan serangga dari generasi ke generasi tidak dikenal lagi. Ini juga menghancurkan permainan petualangan anak-anak, seperti nyemeng dan nyapung yaitu menangkap serangga di persawahan atau tegalan dengan engket dan sangat mengasyikkan. Mereka otomatis tidak lagi mengenal menu makan belalang, capung, belawuk, cueng, ancruk, uled, ores, dan rayap yang sangat langka.
Pelajaran IPA atau ilmu hayat (biologi) di sekolah telah meracuni otak anak-anak dan semakin memperburuk pandangan mereka terhadap serangga. Serangga adalah berbahaya, hama, menjijikkan.
Munculnya polemik tentang menu serangga ketika ada program makan bergizi gratis, karena ketidakarifan dan kebodohan. Jika saja wawasan soal serangga bagus maka tidak muncul pandangan-pandangan yang mencibiri tawaran untuk menyantap serangga. Serangga adalah makanan yang sangat sehat karena bebas dari budidaya dan rekayasa industri, seperti makanan-makanan instan.
Tulisan ini bermaksud untuk menyampaikan pengalaman bahwa saat ini masih generasi yang dulu pernah menyantap serangga (penulis sendiri). Namun, pengalaman ini hanyalah masa lalu karena serangga sudah tidak bisa ditemukan lagi, juga di Kecamatan Pupuan, pun di Desa Batungsel. Orang-orang Kasepuhan Ciptagelar (di Jawa barat) menganggap serangga adalah kawan berbagi. Serangga tetap dikendalikan. Bukan dimusnahkan dengan racun.
Masyarakat di Kecamatan Pupuan, seperti di Desa Batungsel, sedang mengalami kehilangan sejumlah serangga. Kehilangan ini bukan tanpa alasan. Adalah ada hubungannya dengan rusaknya habitat di sawah maupun di perkebunan kopi.
Ancruk yang gurih tidak ada lagi karena pohon jaka tidak ada, sudah habis ditebang atau mati karena tua. Sementara itu, mitos larangan atau pantang menanam pohon jaka masih dianut. Mulai menggunakan pupuk dan menyemprot walaupun dalam jumlah yang terkendali nyatanya telah menghancurkan metamofose blauk, beluang, dan klipes di sawah.
Revolusi hijau di kebun kopi dengan mengganti pohon-pohon dapdap besar, tinggi, dan berduri; dengan gamal atau kaliandra; sehingga tidak lagi menyediakan tempat bersarang bagi uled (sebatah). Tidak ada lagi serangga jenis ini di habitat perkebunan kopi. Demikian pula halnya dengan habisnya pohon-pohon besar, seperti gumpinis, adis karena pohon-pohon kopi berebut ruang, maka ores tidak muncul sudah semenjak 35 tahun yang lalu, bermusim-musim. Artinya hilangnya serangga adalah rusaknya ekosistem, rusaknya lingkungan. [T]
Penulis: I Wayan Artika
Editor: Adnyana Ole
- BACAesai-esai lain dari penulisI WAYAN ARTIKA