HARIGuru Nasional (HGN)pada 25 November 2024 adalah perayaan ke-30 setelah ditetapkan oleh Presiden Soehartodengan Surat Keputusan Nomor 78 Tahun 1994 tanggal 24 November 1994. Dalam Surat Keputusan itu dicantumkan dua pertimbangan.
Pertama, bahwa guru memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunanan nasional, khususnya dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Kedua, bahwa tanggal 25 November selama ini diperingati sebagai hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan sebagai upaya untuk mewujudkan penghormatan kepada guru, dipandang perlu menetapkan tanggal 25 November tersebut sebagai Hari Guru Nasional.
Dalam Surat Keputusan itu, selain menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, juga ditetapkan Hari Guru Nasional bukan merupakan hari libur. Dengan demikian, pada HGN kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung seperti biasa.
Yang membedakan adalah adanya Upacara Bendera memperingati HGN dengan perangkat upacara utama biasanya semua dari unsur guru, bergantung pada kondisi sekolah masing-masing. Setelah upacara, biasanya ada apresiasi terhadap guru dari para siswa. Umumnya siswa mempersembahkan buket bunga atau coklat kepada Bapak/Ibu guru, sambil mengucapkan Selamat Hari Guru dengan senyum simpul berharap restu untuk meraih masa depan gemilang mewujudkan cita-cita. Para guru pun tampak berbunga-bunga hatinya dengan senyum manis dalam sepotong coklat.
Surat Keputusan Presiden Soeharto tentang penetapan HGN terispirasi dari lahirnya organisasi PGRI sebagai organ perjuangan di garda terdepan memerdekakan anak bangsa dari kebodohan dan kemiskinan. Sebagai organisasi yang dititahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui jalur pendidikan, para guru mendidik tidak mendadak, tetapi melalui proses terus-menerus berkelanjutan dan konsiten mendidik dan mengajar. Hal itu dapat dicermati dari proses kelahiran PGRI.
Secara historis, PGRI bermula dari berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada 1912 yang beranggotakan guru bantu,guru desa, Kepala Sekolah dan Penilik Sekolah. Pada 1932, PGHB berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) dan aktivitasnya dibatasi saat penjajahan Jepang karena banyak sekolah yang ditutup. Melalui Konggres Guru pada 24-25 November 1945 di Surakarta PGI berubah menjadi PGRI, persis 100 hari setelah Kemerdekaan Republik Indonesia.
Boleh jadi Program 100 hari masa pemerintahan baru terinspirasi dari sini, mengambil api semangat kaum guru mengisi Kemerdekaan sebagaimana hasil Kongres Guru di Surakarta itu dengan tiga tujuan PGRI (1) mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia; (2) mempertinggi tingkat Pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan; dan (3) membela hak dan nasib buruh umumnya, khususnya pada guru.
Dari tujuan itu, guru dalam wadah PGRI berada di garda depan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menyempurnakan dengan kerja-kerja pendidikan melalui edukasi mempertajam jangkauan kognitif, afektif, dan psikomotor untuk melahirkan anak bangsa yang berotak cemerlang, berhati berlian, dan cerdas terampil secara motorik.
Dalam konteks ini, tugas guru mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Bersamaan dengan itu, guru terus-menerus mengisi dan menyepuh diri belajar sepanjang hayat untuk menjadi pelayan dan menghamba kepada sang anak mengikuti elan nafas zaman sesuai dengan kodrat anak.
Kini setelah PGRI memasuki usia 79 tahun dan HGN ke-30, hak dan nasib guru belum banyak berubah walaupun banyak prestasi yang ditunjukkan para guru. Prestasi itu antara lain melaksanakan Program Pemerintah secara berjenjang dari pusat sampai daerah hingga ke rumah-rumah siswa melalui home visit mengantisipasi terjadinya gelombang putus sekolah.
Selain itu, guru juga telah banyak melahirkan pemimpin, senator, legislator, dokter, insinyur, wirausaha, birokrat, pilot, atlet, polisi, tentara dan sejumlah profesi mentereng lainnya. Oleh karena itu, guru juga perlu diperhatikan kesejahteraannya secara lahir dan batin agar tenang dan nyaman dalam membangun jiwa bangsa melalui anak didiknya.
Janji Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti yang akan meningkatkan kesejahteraan guru ditunggu lebih dari 1,7 juta guru yang belum tersertifikasi. Dalam pidato sambutan tertulis HGN 2024, ia mengatakan, “Kementerian berusaha meningkatkan kesejahteraan guru melalui sertifikasi baik guru ASN PNS dan PPPK maupun non-ASN. Pada 2025 akan ada 606 ribu lebih guru yang mendapatkan tunjangan sertifikasi”, kata Abdul Mu’ti dalam sambutan tertulisnya.
Abdul Mu’ti juga menjamin keamanan para guru agar dapat bekerja dengan tenang dan terbebas dari segala bentuk intimidasi dan tindak kekerasan oleh siapa pun. Jaminan itu dalam rangka memberikan perlindungan kepada guru.
“Kemendikdasmen akan menadatangani nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang di dalamnya memuat kesepakatan agar masalah-masalah kekerasan dalam Pendidikan diselesaikan secara damai dan kelkeluargaan atau restorative justice sehingga gurutidak menjadi terpidana,” kata Abdul Mu’ti sebelum mengakhiri sambutannya.
Jaminan itu tampaknya merespon peristiwa yang dialami para guru di berbagai daerah yang mendapat perlakuan yang kurang humanis. Tidak pada tempatnya menelanjangi guru dengan kata-kata yang merendahkan di hadapan para murid-muridnya. Guru itu juga manusia, punya perasaan betapa pedihnya hati tersayat dipermalukan di media sosial. Suasana hati yang tidak tenang akan memengaruhi fungsi guru sebagai pendidik dan pengajar.
Selain itu, para guru juga dikabarkan banyak berutang dan menjadi korban pinjaman on line yang membuat fokusnya buyar mengedukasi. Namun demikian, banyak pula guru dengan kesadaran diri meningkatkan kualifikasi Pendidikan, setelah tamat ijazahnya seolah tak berguna. Penyesuaian ijazah dan pangkat terbentur aturan dan terkesan birokratis kurang substantif. Tidak dengan sendirinya, gaji mereka naik seiring dengan capaian kualifikasi Pendidikan. Tampaknya, hal ini mendesak diatur secara nasional dengan regulasi yang memuliakan dan memartabatkan guru. Guru mulia jaya berkarya, guru hebat Indonesia kuat.
Mencermati sejarah kelahiran HGN melalui proses panjang sejak 1912 ketika negeri ini dalam kuasa penjajahan Belanda, jelaslah bahwa peran guru dalam memerdekakan Indonesia sungguhlah besar. Saat itu, para guru telah berimajinasi tentang kemerdekaan Indonesia di tengah segala keterbatasan tetapi dengan semangat literasi yang tak tertandingi.
Ki Hadjar Dewantara, pada 1913 melaui Surat Kabar De Expres (13/7/1913) menulis artikel berjudul, All Iks een Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Artikel itu mengutuk Belanda merayakan 100 tahun Kemerdekaannya dari Prancis di tanah jajahan (Indonesia) yang membuat Belanda naik pitam. Akibatnya, Ki Hadjar Dewantara diasingkan ke Belanda bersama dua sahabatnya yang disebut tiga serangkai ; Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Semangat itu kini tampaknya perlu terus digemakan dan diwariskan agar tidak semakin luntur di tengah cobaan dan godaan materialistis, hedonis, pragmatis. Para guru bangsa yang telah menuliskan jejak sejarah perlu diacu para guru kini dengan memegang teguh integritas menjaga Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Tantangan untuk merawat empat pilar kebangsaan itu tidaklah mudah di tengah-tengah robohnya langit akhlak, sebagaimana dipuisikan oleh Taufiq Ismail. Namun, guru tidak boleh menyerah menghadapi tantangan yang berpeluang menjadikan dirinya sebagai pahlawan sejati bagi bangsanya. Inilah renungan sekaligus refleksi Hari Guru Nasional 2024 yang ditandai dengan menyematkan Bulan Guru Nasional sepanjang November. Hidup Guru! [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT