IA tersenyum kecil saja saat seseorang mengabadikan dirinya setelah mendapat Anugerah Seni Wija Kusuma Agustus lalu. Penghargaan yang diberikan Dinas Kebudayaan Buleleng kepada seniman yang setia melestarikan kesenian tradisi di Buleleng itu, dipegangnya erat-erat. Ia tak sendirian malam itu, ada sang istri yang berdiri di sebelah kirinya. Dengan pakaian serba hitam, pasangan suami-istri itu berpose dengan, sekali lagi, senyuman yang kecil saja.
Anugerah Seni Wija Kusuma ia dapatkan karena pemerintah menilai ia berjasa dalam pelestarian kesenian burdah Desa Pegayaman. Tak bisa disangkal, memang, walaupun, mungkin, ia bukan satu-satunya orang yang melestarikan kesenian Islam yang sudah menubuh dengan lokalitas Bali itu. Tapi, barangkali hanya dia satu-satunya orang yang cakap membawa burdah ke mana-mana—tak cukup untuk keperluan tradisi, tapi juga hiburan di panggung-panggung festival.
Namanya Ketut Muhammad Suharto, sebuah paduan nama yang unik. Ada unsur Bali, Islam, pula Jawa dalam tiga kata namanya. “Ketut” adalah identitas orang Bali. Sedangkan “Muhammad” merupakan representasi Islam. Dan “Suharto” sangat identik dengan Jawa. Mungkin ini bukan tanpa sebab. Suharto, sebagaimana ia akrab dipanggil, lahir di Bali, beragama Islam, dan beberapa leluhur Pegayaman berasal dari Jawa. Seolah, identitas Pegayaman bersemayam dalam jiwa dan raganya.
Suharto adalah sosok, jika bukan tokoh, di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, yang terkenal. Namanya acap kali disebut saat orang-orang berbicara atau menulis tentang desa Muslim yang bertengger di tengah-tengah wilayah Hindu itu. Di Pegayaman, ia semacam “juru bicara” yang, tak hanya cakap dalam menjelaskan seluk-beluk Pegayaman, pula melakukan penggalian-penggalian bagaimana wajah Pegayaman di masa silam. Bisa dibilang, Suharto adalah sejarawan nonformal, organik, Desa Pegayaman.
Dan dari sana lah kemudia ia dikenal sebagai seorang yang peduli terhadap sejarah, seni, dan budaya Desa Pegayaman. Bertahun-tahun dia mendedikasikan diri untuk mempertahankan kesenian dan kebudayaan di Pegayaman—dan tentu saja berusaha memperkenalkannya kepada banyak orang—dan berusaha menyibak tabir masa lalu dengan menggali kepingan-kepingan sejarah tanah kelahirannya. Hasil penggalian itu kemudian ia tuliskan dan dihimpun dalam buku berjudul “Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Bali” yang diterbitkan pada tahun 2023.
Di rumah panggungnya yang unik, yang sekaligus sebagai sekretariat LPS Kumpi Bukit Pegayaman, banyak orang mendatanginya. Mulai dari wartawan, akademisi, peneliti, hingga orang-orang luar negeri. Suharto senang bercerita banyak hal tentang Pegayaman. Ah, barangkali karena ini dirinya sering menjadi narasumber di mana-mana. Orang ini termasuk jenis pencerita yang baik—meski bukan yang terbaik.
Di depan rak bukunya yang sederhana, kata-kata luber dari lisannya. Kadang lancar, kadang terbata. Kadang tegas dan percaya diri, kadang setengah berbisik karena tidak yakin. Dan tak jarang Suharto bersuara lantang bak orator ulung zaman perjuangan kemerdekaan. “Pegayaman ini termasuk desa tua. Wilayah istimewa pemberian Raja Panji Sakti, khusus untuk orang Muslim,” katanya suatu ketika di bulan Puasa.
Apa yang Suharto katakan memang sudah menjadi semacam sejarah umum. Setelah I Gusti Anglurah Panji Sakti—pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Buleleng—meluluhlantakkan Kerajaan Blambangan pada 1647/1648 M, ia merekrut 100 orang laskar tentara Muslim dari Kerajaan Mataram di Jawa dan menempatkan mereka di wilayah hutan gatep yang terletak di sebelah selatan Kerajaan Buleleng.
“Mereka sebagai benteng pertahanan wilayah selatan,” kata Suharto bangga. Penempatan pasukan Muslim di wilayah perbatasan ini sering dijadikan lelucon oleh beberapa orang saat membahas sejarah Pegayaman. Kata mereka, kalau terjadi penyerbuan, orang-orang Muslim akan terbunuh lebih dulu. Meski masuk akal, tapi jelas itu jenis lelucon yang buruk. Dan Suharto bangga telah lahir dan besar di Pegayaman.
Ia fasih menyampaikan soal akulturasi budaya di Pegayaman. Menurutnya, Islam di Pegayaman sudah disesuaikan dengan budaya setempat—dan itu juga membuatnya bangga. “Banyak hal yang menjadikan Islam di Pegayaman begitu khas,” katanya. Selain adat dan tradisinya, kesenian dan kebudayaannya, cara beragama orang Pegayaman juga sedikit-banyak telah menyesuaikan dengan orang Bali—yang notabene mayoritas memeluk agama Hindu.
Islam di Pegayaman merupakan hasil akulturasi budaya, sebagaimana Islam di Jawa dan mungkin juga di banyak tempat lain yang memiliki coraknya sendiri. Selain menggunakan bahasa Bali sebagai komunikasi sehari-hari, penggunaan nama depan orang Bali juga digunakan oleh orang Muslim di Pegayaman. Maka tak heran jika orang-orang tua Muslim di Pegayaman masih membubuhkan istilah “wayan”, “nengah”, “nyoman”, dan “ketut” sebagai nama depan anak-anaknya—sampai sekarang.
“Tapi bedanya,” kata Suharto, “di Pegayaman anak nomor lima sampai seterusnya, tetap dikasih nama ketut. Sedangkan kalau orang Bali pada umumnya, anak yang lahir setelah anak keempat dikasih nama wayan—kembali ke satu setelah kelipatan empat. Makanya nama saya Ketut Muhammad Suharto. Padahal saya anak ke sembilan,” sambungnya sembari tertawa.
Ketut Muhammad Suharto (paling kiri) saat menerima piala “Lomba Penulisan Sejarah Desa” | Foto: Dok. Balisharing
Tak hanya soal pemberian nama depan, tapi juga soal kuliner, tata kelola air, sampai pernikahan, orang Pegayaman masih mengadopsi nilai-nilai kebudayaan orang Bali—itu sudah menubuh. Hanya saja, semua itu sudah disesuaikan dengan ajaran atau syariat Islam—seperti wali songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, dulu. “Orang Pegayaman memiliki istilah ‘adat berpangku syara, bersandar kitabullah’. Apa pun itu, sandarannya harus kepada kitab suci,” ujar Suharto. Ia begitu serius saat mengatakan kredo tua itu.
Sosok Multitalenta
Sosok yang lahir pada 13 Januari 1966 ini baru saja menjuarai “Lomba Penulisan Sejarah Desa” yang dilaksanakan Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Buleleng. Piala penghargaan lomba serangkaian Festival Literasi Buleleng 2024 ini diserahkan di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Bung Karno, Singaraja, Kamis (12/9/2024).
Tentu saja Suharto menulis sejarah desanya sendiri, Pegayaman. Desa yang sudah berumur 4 abad itu diperkirakan ada sejak 1648 M, yang diawali dengan 100 laskar yang direkrut pendiri Kerajaan Buleleng, I Gusti Anglurah Panji Sakti—seperti yang sering Suharto katakan. Atas jasa para 100 laskar dari Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur itu, Raja Panji Sakti memberi hadiah lahan di wilayah bukit yang sekarang bernama Pegayaman, Kecamatan Sukasada.
Soal sejarah Pegayaman, Suharto memang hafal di luar kepala. Dalam beberapa kesempatan, ia begitu lancar menceritakan sejarah desanya, termasuk angka tahun, detail-detail peristiwa, dan nama-nama tokoh awal desa tersebut—walaupun beberapa hasilnya lebih mengarah kepada apa yang dibenci oleh para sejarawan: mitos. Tapi Suharto bergeming, bahkan hasil penggaliannya itu—untuk tidak mengatakan hasil penelitiannya—kemudian ia tuliskan dan diterbitkan menjadi buku.
Dan ya, dalam beberapa tahun ini, saat Pegayaman berkembang menjadi semacam ‘destinasi wisata penelitian’, saat banyak pakar, profesor, doktor, peneliti, para calon peneliti, mahasiswa, siswa, jurnalis, dan termasuk peneliti dari luar negeri yang melakukan kunjungan ke Pegayaman, Suharto-lah yang dipercaya untuk mendampingi. Ia mengantar para pengunjung ke beberapa tempat bersejarah dan menjelaskan banyak hal kepada mereka—semacam juru kunci atau tour guide.
Selain cakap berbicara sejarah, Ketut Suharto juga menekuni seni burdah—kesenian semacam rebana, terbangan, khas Pegayaman. Ia seniman sekaligus pemimpin sekaa (kelompok) Burdah Burak Pegayaman. Tak hanya menekuni, ia juga melakukan berbagai upaya bagaimana seni burdah tetap lestari dan eksis di zaman sekarang.
Salah satu upaya yang ia lakukan, selain mementaskan dan mengajarkannya, pula memproduksi pengetahuan atas seni burdah Pegayaman dengan cara menuliskannya, dari sejarahnya, tokoh-tokoh atau seniman-senimannya, keunikan dan kekhasannya, hingga syair dan ragam lagunya. Oleh karena itu Dinas Kebudayaan Buleleng memberikan penghargaan Anugerah Seni Wija Kusuma kepadanya.
Selain menekuni penulisan sejarah dan kesenian burdah, Suharto ternyata juga jago melukis dan membuat sketsa. Karya-karyanya memang baru sebatas menjadi koleksi pribadi dan beberapa temannya. Namun, tak berlebihan kalau mengatakan bahwa tangannya amat terampil dalam menggores garis dan titik di atas kertas membentuk lukisan atau sketsa tertentu.
Suharto menempuh pendidikan dasar di Desa Pegayaman. Setamat SMP, ia merantau ke Kota Negara, Jembrana, menjadi siswa PGA. Sementara pendidikan sarjananya ia tempuh di kota Mataram, NTB, di sebuah perguruan tinggi Islam di sana (IAIN). Sampai akhirnya ia menyunting gadis Lombok, Baiq Palmafni Zahara, namanya—perempuan yang mendampinginya saat mendapat Anugerah Seni Wija Kusuma.
Sebagaimana kebanyakan warga Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto juga menekuni pertanian. Ia seorang petani cengkeh. Juga sering diminta mendampingi pembinaan petani kopi organik yang dilaksanakan berbagai lembaga, seperti Unud dan ITBM Bali.
Ia juga aktif di kegiatan Masjid Jami’ Safinatussalam Pegayaman—masjid yang berhasil meraih juara pertama lomba masjid bersejarah di tingkat Provinsi Bali yang dilaksanakan Kementerian Agama, dan kini mewakili Bali dalam lomba yang sama di tingkat nasional. Di desanya, Suharto juga menjadi Ketua BUMDESA “Barokah” Desa Pegayaman. Ia aktif di Tagana Buleleng. Dan menjadi Ketua ICMI Buleleng.
Beberapa kali, Suharto menjadi narasumber pada seminar nasional tentang sejarah, budaya, dan adat-istiadat Pegayaman. Ia juga menjadi anggota Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng, yang aktif meneliti sejarah, terutama sejarah komunitas Islam di Bali. Suharto juga aktif menulis tentang sejarah dan seni-budaya di portal balisharing.com.[T]