DI Gumi Delod Ceking, Bangbang adalah kubangan tanah yang sengaja digali untuk penampungan air bagi warga sebelum era 1990-an. Kubangan tanpa diplester itu untuk menampung air hujan sehingga airnya pun seirama dengan warna tanah. Tidak diplester karena tiadanya biaya untuk itu, maklum belum zaman bansos sekali pun Pemilu berulang. Bansos yang memanjakan itu baru dikenal sejak Pemilu Langsung mulai 2004.
Setiap Pemilu, pada awal Orde Baru berkuasa selalu ada intimidasi. Warga diajak berjaga ke Balai Banjar dan wajib masuk Golkar. Bila berbeda dengan Golkar, ganjaran menanti. Pentong dan pentung meluncur di atas kepala. Piket jaga yang mati-matian membela Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kala itu, babak belur dihajar. Rumahnya dibakar, batu meluncur di atas atap. Pondok yang alakadarnya pun dirusak bahkan dirobohkan. Warga dicekam ketakutan. “Da uyut, gumi gelah anak Gede”, begitu tetua mengingatkan saya dan terngiang hingga kini di tengah krisis air di Gumi Delod Ceking yang menggedor-gedor ingatan Kembali ke bangbang.
Walaupun bangbang, hanya kubangan air tanah, juga punya keistimewaan : ada sekaa-nya dan punya tradisi ritual antara lain tradisi mebat (ngelawar, nyate, ngomoh) dan tajen (judi sabungan ayam yang eufemismekan sebagai tabuh rah) sesuai dengan kesepakatan sekaa. Mebatnya tak tanggung-tanggung adalah Penyu yang tidak dilarang kala itu dan tabuh rah-nya pun digilir dan tidak berbenturan waktunya antar-sekaa. Kearifan yang tidak pernah tercatat apalagi dibukukan, tetapi diimani. Polos pasaja.
Di Desa Adat Kutuh, misalnya hampir di tiap sudut desa, ada bangbang dan sekaa tempekan-nya. Di Tenggara Desa misalnya, ada Bangbang Mangas. Di Timur Laut Desa, ada Bangbang Melang Kangin. Di Utara Desa ada Bangbang Gubug dan Bangbang Mundeh. Di barat laut, ada Bangbang Klumpit. Di Barat Desa, ada Bangbang Teba Kauh. Selatan desa, ada Bangbang Teba Kelod. Di Barat Daya ada Bangbang Tuug. Bangbang di masing-masing tempekan itu umumnya berada di tanah milik penduduk setempat dibuat berdasarkan kesepakatan dengan pertimbangan jarak antar pemilik tanah. Airnya untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk ternak.
Di luar bangbang masing-masing tempekan itu, Desa Adat Kutuh memiliki bangbang desa yang berada di Pelaba Pura Beji yang disebut Bangbang Gede/Bangbang Kembar/Bangbang Beji. Disebut Bangbang Gede karena paling besar di antara bangbang-bangbang yang ada di Desa Adat Kutuh. Disebut Bangbang Kembar karena dua bangbang ini berdampingan dan di antara keduanya berdiri Pura Beji yang ikonik di sela-sela Pohon Beririt dan Bendul. Disebut Bangbang Beji karena di bangbang ini berdiri berdiri Pura Beji yang Pujawalinya pada Anggara Kliwon Medangsia. Pura Beji juga sebagai tempat penyucian Ida Bhatara/Bhatari sebagaimana Pura Beji pada umumnya.
Ada perbedaan bangbang masing-masing tempekan dengan bangbang desa. Bangbang di sekaa tempekan mengikat sekaa-nya. Orang di luar sekaa, bila mandi atau minta air, mesti minta izin kepada salah satu anggota sekaa. Itulah etika yang dibumikan dalam tindakan, walaupun anggota sekaa-nya tidak berpendidikan bahkan banyak di antara mereka yang buta huruf, tetapi tidak buta hati. Benar kata Bung Karno, “Tuhan bersemayan di gubuk si miskin” . Di gubuk itulah, si miskin menyalakan api perjuangan merawat eksistensinya. Berbeda dengan kini, etika diteorikan, pelanggaran dipertontonkan sampai ke level atas. Paradoks dalam Pendidikan Karakter Bangsa dengan Profil Pelajar Pancasila.
Bangbang Desa sesuai dengan namanya, semua warga desa menjadi sekaa-nya. Airnya boleh diambil oleh warga, ketika air di bangbang tempekan habis. Pembagian air diawali dengan Paruman Desa dipimpin oleh Bandesa Adat Kutuh dengan upasaksi banten pejati. Tiap Kepala Keluarga mendapatkan bagian telung tegen yeh identik dengan enam jeriken. Itu pula sebabnya, saya setiap sore berefleksi kalau-kalau lebih mengambil bagian air dan wajib dikembalikan pada hari itu pula dengan kesadaran dan keyakinan diri. Begitulah tuah sebuah daksina pejati dengan sebuah dupa menyala di hadapan Bandesa. Sederhana sekali tetapi dipedomani lahir batin seluruh krama. Berbeda dengan kini, berbagai ritual besar digelar, pelanggaran etika makin menjadi-jadi tanpa rasa malu, kalau tidak boleh disebut mati rasa.
Begitulah dulu krama di Gumi Delod Ceking menghargai air, sebagai pengeling-eling bagi generasi kini yang tidak pernah negen yeh bagi laki-laki dan nyuun jun yeh bagi perempuan. Kini, ketika PDAM mati sehari, hujatan di media sosial tak terbendung tanda keberingasan diksi yang mengoyak keharmonisan. Seakan kiamat tanpa air sehari. Telanjur boros dengan air.
Sebelum PDAM masuk ke Gumi Delod Ceking pada era pasca Gebyar Golkar pada 1996, penduduk Gumi Delod Ceking sudah belajar menabung air dan hemat menggunakannya. Mulai dari bangbang tempekan, ke bangbang Desa, baru menggunakan air di bak masing-masing. Itu pun bagi mereka yang punya bak air. Bagi mereka yang tidak punya bak, harus rela menuruni tebing yang disebut ngampan dengan jarak berkilo-kilo mencari yeh ke suukan ‘sumur’ di tepi pantai yang kadang-kadang nyat ‘kering’ mesti menunggu air laut pasang. Menunggu dengan sabar penuh seluruh, lahir batin. Inilah laku tapa brata orang-orang Delod Ceking tempo doeloe.
Jika kini air PDAM sering mati di Gumi Delod Ceking dengan alasan topografi yang tinggi dan seringnya bongkar pasang pipa dan perbaikan jalan, semestinya kearifan lokal dulu dikembalikan kalau pun tidak melalui bangbang, dengan membuat bak-bak penampungan di rumah masing-masing, bila perlu digedor dengan bansos. Euphoria PDAM telah membuat banyak orang Delod Ceking menghilangkan bak penampungan air yang menjadi jejak peradaban air tempo doeloe. Anehnya, matinya PDAM selalu menimpa rakyat kecil yang tak berdaya, bersamaan dengan itu padang golf menghijau, villa, hotel surflus air. Nyak cara sesonggane, cara nyebit tiinge ngamis kacerikan. Keto hebatne, Nak Bali iloe. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT