AWAL mengenal Kang Hardiman, adalah ‘kecemburuan’ saya pada beliau. Semua penyair yang mengikuti kompetisi di rubrik sastra Harian Umum Bali Post, pasti punya perasaan yang sama dengan saya ketika itu. Betapa tidak, Saat itu Kang Hardiman baru datang dari Jawa Barat – dan bikin pementasan dramatisasi puisi bersama mahasiswinya yang cantik-cantik di Sekolah Iinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Singaraja. Repertoar yang digelar sekitar tahun 90 an itu memantaskan karya puisinya yang berjudul ‘Panutan’.
Saat itu, para penulis yang aktif di rubrik sastra Bali Post, mesti mengikuti jenjang bertahap : dari Pawai, kompetisi, kompetisi promosi,baru ke tingkat tertinggi Budaya. Tapi, Kang Hardiman dengan puisi Panutannya, langsung dimuat di Rubrik Budaya.
Sudah wajar kalau saya ‘cemburu’ padanya. Namun, manakala melihat repertoarnya langsung di STKIP Singaraja – dalam hati saya bergumam : memang pantas Budaya. Meski saya tetap memprotes suhu kami, Umbu.
Waktu itu, hanya sedikit penyair yang bisa langsung merambah rubrik Budaya, diantaranya Mas Warih dan bro Tan Lioe Ie. Maka wajar, jika hingga kini saya masih ‘cemburu’ pada Kang Hardiman, Mas Warih, Maupun Tan Lioe Ie. ‘Cemburu’ dalam konteks tulisan ini adalah ‘cemburu kreatifitas’ atas pencapaian estetika karya-karyanya.
Lantas mengapa Kang Hardiman masih saya ‘cemburui’??? Pasalnya, Karya-karyanya yang terkini, memiliki kadar ‘puitik’ yang sangat menarik bagi saya pribadi. Kang Hardaiman tetap berpuisi, namun dengan medium karya visual nya.
Saya menganggap, anasir karyanya yang berupa kosa garis, kosa warna, kosa bidang, kosa volume, kosa irama, kosa barik dan sebagainya – saya padankan dengan linguistik (dengan kosa katanya) manakala saya mengupas karya sastra, terutama puisi. Jadi, kali ini perkenankan saya menikmati karya-karya Kang Hardiman dengan pendekatan Lingua-Visual.
Sebab, saya sangat merasakan kadar puitika pada karya-karya Jalak Bali-nya kini. Karyanya, tidak hadir dengan figure burung jalak secara utuh – Kang Hardiman, memberi kebebasan pada saya (dan kita semua) untuk menginterpretasikan sesuai cita rasa poetika saya (kita semua). Saya, diperkenankan menginterpretasikan karyanya sebagai ‘flora yang gaib’.
Karena memang begitulah puisi, ia hadir dengan multi interpretabilitas. Kalo karya-karyanya terdahulu, manakala Jalak Bali hadir secara figurative – saya lebih cenderung memaknainya sebagai ‘Prosa Liris’ visual. Dengan jelas, imaji saya terbatasi, dan mesti menyebutnya ‘Fauna Bali Utara’.
Kang Hardiman, pada sebuah wawancara mengatakan Lukisannya membicarakan sesuatu yang tidak terkatakan oleh puisi, teater, grafis, atau seni yang lainnya. Dan lukisannya mengatakan tentang garis, bidang, warna, dan barik.
Menurut saya, karya-karya Akang Hardiman tak bisa terlepas dari ‘kadar puisi’. Hanya mediumnya saja yang membedakan antara puitika visual dan puitika tekstual. Dan pada karya-karyanya kali ini, justru saya mengatakan Kang Hardiman sedang kembali pada ‘puisi’.
Sebab, saya merasa lebih bebas menginterpretasikan karya-karyanya kini. Bahwa untuk menuangkan ekspresi dan imajinasi -karya visual lebih bebas dari karya tekstual, adalah wajar. Sebab karya tekstual mediumnya memang terbatas. Jumlah alphabetnya hanya 26 huruf.
Saya ikut bahagia bahwa Kang Hardiman, kembali ‘terasuki’ cita rasa puisi pada karya-karya visualnya. Ini mengingatkan saya pada maestro pelukis dunia, Pablo Picasso – selain pelukis, Picasso juga seorang penyair.
Oleh karenanya, untuk menghormati Kang Hardiman, saya ingin bacakan puisi karya pelukis Pablo Picasso. Lebih lanjut karena pameran ini digelar di Hotel Maya Sanur yang berada di wilayah Sanur, maka saya bacakan puisi berjudul MORNING OF THE WORLD karya Pablo Picasso.
Puisi ini diiterjemahkan oleh seorang mahasiswi sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Jogya. Mungkin, puisi ini menginspirasi Jawaharlal Nehru ketika beliau di Sanur, saat kunjungan ke Bali 14 Juni 1950. Nehru, saat itu menjuluki Sanur – Morning of The World manakala menikmati matahari fajar hari di pantai Sanur.
FAJAR DUNIA
Oleh : Pablo Picasso
Terjemahan : Sri Dewi Rinjani
wajahku adalah sepotong gumpalan es
hati tersebar di ribuan tempat
jadi, sebagai pengingat
selalu dengan suara yang sama
isyarat yang sama
dan tawaku
berat
jadi penyekat
antara kamu dan aku
gabungan orang yang paling hidup
tampak paling renung
di belakang Bima Sakti
sebuah bayangan menari
pandangan kita naik ke arah bintang-bintang
- Teks ini dibacakan mengiringi pembukaan Pameran Tunggal Perupa Hardiman, 5 Maret 2024 di The Gallery Maya Sanur