SAYA berangkat menuju Lombok, Kamis, 12 Oktober 2023. Saya berangkat dari Desa Les, Buleleng. Kami bertiga.
Dua teman bersama saya, kali ini untuk mengunjungi pulau yang dikenal dengan makanan khas Ayam Taliwang, dengan lebih leluasa.
Selain kulinernya yang bikin kangen, warisan budaya di Lombok juga sangat mirip dengan Bali. Sejarah mencatat Raja Karangasem pernah memerintah dan berkuasa sampai di Pulau Lombok, dan dari situlah banyak peninggalan yang mirip Bali di pulau itu.
Banyak sekali warga Lombok asal Karangasem di pulau itu, begitu juga sejumlah Pura besar di sekitaran Kota Mataram.
Pada perjalanan kali ini, saya punya beberapa tujuan. Saya mencoba untuk bertemu dan bercerita singkat dengan teman-teman komunitas kreatif di Mataram. Siapa tahu ada yang bisa dipelajari.
Saya bertemu dengan salah satu teman pengrajin kain tenun di Pringasela, dan tentunya setelah itu saya menonton gelaran Moto GP, Indonesia Series, di Sirkuit Mandalika.
Kamis petang, setelah kapal bersandar di Pelabuhan Lembar saya melakukan kontak atas rekomendasi teman untuk bertemu dengan salah satu pegiat teater di Kota Mataram. Mas Jabo namanya.
Ngobrol bersama komunitas teater di Taman Budaya Mataram
Saya bertemu lelaki itu dan obrolan mengalir dengan begitu akrab seakan kami sudah berteman sejak lama. Dan terang saja, Bali dan Lombok jadi teasa makin dekat.
Mas Jabo memang mempunyai jaringan yang erat dengan kawan-kawan pegiat teater di Bali. Sebut saja Wayan Sumahardika, salah satunya.
Kebetulan di Taman Budaya Mataram saat itu sedang berlangsung sebuah acara komunitas kreatif. Kami ngobrol sampai malam, dan terpaksa saya akhiri karena tubuh juga harus diistirahatkan untuk mendulang cerita dan perjalanan besok harinya.
Hari kedua saya bersama kawan, yang juga pegiat wisata adventure di Bali Utara, Gede Karang pergi dan menginap di Pringgasela, Lombok Timur. Saya mencoba untuk merasakan sisi Lombok dari timur.
Hamparan padi, suasana pedesaan dengan pemandangan Gunung Rinjani tampak jelas dari wilayah itu. Tampak sungai dengan air yang sangat adem, seakan membasuh tubuh panas beberapa saat.
Galeri Tenun Pringgasela
Petang hari saya berkunjung ke teman pengrajin tenun khas Pringgasela. Mas Maliki, begitu beliau dikenal.
Maliki adalah laki-laki yang sangat aktif mengedukasi dan membuat Kelompok Tenun Pringgasela dalam wadah “Sasak Sentosa Tenun”.
Di tempat itu, obrolan lagi-lagi mengalir bersama kopi dan cerita tradisi tenun. Maliki menyebut tenun khas Pringgasela punya motof khas tentang aliran air di sungai yang mengaliri di wilayah itu.
Saya menangkap pesan bagaimana air memang sudah menjadi tema sangat luhur sampai dibuat menjadi sebuah motif di sebuah kain tenun.
Hari Minggu 15 Oktober 2023 tibalah saatnya yang ditunggu oleh para penggemar balap motor. Ya MotoGP, serie ke 2 di Indonesia.
Saya menuju Mandalika dari Lombok Timur, kurang lebih satu setengah jam perjalanan. Suasana menyambut dan euforia MotoGP tampak sepanjang jalan. Semakin mendekat ke Mandalika, Lombok Tengah, jalanan semakin padat.
Tepat pukul 13.00 WITA saya memarkir kendaraan di tempat yang diperuntukan oleh panitia. Mendapat tempat di Grand Stand C, puluhan bus penghubung dari parkir ke sirkuit datang menjemput.
Kami berganti bus dua kali. Cuaca panas menemani bunyi kendaraan para pembalap sebelum kelas utama MotoGP di mulai.
Saya memasuki venue dengan menoleh kanan dan kiri. Banyak sekali stand makanan, UMKM, dan souvenir yang menjajakan dagangannya. Saya pun hanya memikirkan bagaimana air tidak habis, wong obat panas hanya satu, yakni air.
Setelah pentas dari tim Jupiter Air Force dengan pertunjukan di atas langit Mandalika yang sangat memukau, tibalah kelas utama MotoGP berlangsung.
Di sisi kanan dan kiri depan dan belakang berjubel penonton. Tak hanya orang indonesia, banyak juga para pelancong dari mancanegara.
Tampak beberapa penonton membawa bendera The Doctor 46. Saya tahu itu untuk para fans Valentino Rossi. Meski sudah tidak lagi membalap, fansnya sangat setia.
Total 13 lap dilahap oleh para pembalap. Sirkuit itu panjangnya kurang lebih 4,3 kilometer itu.
“Pecco… Pecco…!”
Semua memeriakkan nama itu. Saya masih mencoba mengerti dan bingung kenapa mereka berteriak semacam itu. Orang darimana Pecco dan siapa dia?
Saya pun berlanjut membuat beberapa video dan story di Instagram. Ternyata salah satu teman saya di Italia membalas di story itu.
Pecco… Pecco… dengan foto pizza dan pasta serta bendera italia. Hahaha akhirnya saya tahu, itu adalah pembalap dari italia.
Semua orang rasanya senang menonton sampai lap terakhir. Tetapi hidup dan perasaan cepat sekali berganti. Tiba waktunya balik ke parkiran.
Penulis
Tampak ribuan orang berkumpul untuk menunggu bus pengumpan lagi. Di sinilah tingakt kemajuan kita berpikir dan bersikap diuji. Kapan harus bersabar, mengantre dan tetap tenang.
Bus-bus distop dan dipaksa dibuka pintunya. Dorong-mendorong tak terelakkan.
Saya di tengah kerumunan laiknya suasana sedang berdemo di suatu tempat. Pada akhirnya saya bisa memasuki bus. Umpatan masih berlangsung oleh oknum-oknum dalam bus.
Wah ini pekerjaan dan problematika luar biasa, saya berkata dalam hati. Selalu ada duka dalam suka atau suka dalam duka, bukan? Berbahagialah. [T]