SAYA SEDANG ASIK scroll instagram ketika pesan whatsapp saya berbunyi. Teman lama saya mengirimkan sebuah link. Saya klik pesan itu dan muncullah undangan dalam situs. Undangan pernikahan.
Dari sinilah kisah dimulai. Perjalanan panjang menuju ketenangan seorang jomblowan.
Seusai melihat undangan dengan baik, mulai dari lokasi hingga tanggal acara, dan calon suami teman saya, saya tutup situs undangan itu. Muncullah berbagai pertimbangan dalam pikiran saya. Apa keputusan yang harus saya ambil menyikapi undangan ini? Ada berbagai pertimbangan mengapa keputusan harus dipikirkan dengan matang.
Pertama, saya jomblo alias single alias sendirian alias tidak punya pacar sehingga tidak ada yang bisa saya ajak (pamerkan) ke sana.
Kedua, lokasi undangan cukup jauh bila harus saya tempuh sendiri menggunakan motor saya yang sudah butut. Jarak yang harus saya tempuh dari rumah menuju lokasi kurang lebih dua jam.
Ketiga, masih tentang lokasi, selain jauh saya sama sekali tidak tahu wilayah ini dan saya takut tersesat walaupun sudah ada google map tapi saya yang buta petunjuk lalu lintas ini tetap bisa sesat juga.
Keempat, alasan yang sebenarnya paling penting sih, saya tidak begitu dekat dengan teman ini. Akrab tapi tidak dekat. Dia teman semasa sekolah dulu. Kami bertemu beberapa kali, saling cerita via pesan, saling mengomentari story atau status sosial media. Lingkungan kami yang sekarang sudah sangat berbeda. Yang menyatukan kami adalah topik pasangan yang entah d imana rimbanya. Percakapan kami cukup dalam dan intens saat membahas pasangan, saya tahu betul bagaimana perjalanan cintanya. Hal inilah yang satu-satunya menjadi motif untuk menghadiri pernikahannya. Saya tahu siapa saja pacar dan yang dekat dengannya tapi hanya calon suaminya yang tidak saya ketahui kisahnya. Saat saya melihat dia posting foto laki-laki dan menanyakan siapa dia gerangan, teman saya hanya menjawab minta doa untuk disegerakan.
Saya menghubungi beberapa orang yang bisa diajak untuk menghadiri pernikahan teman saya, satupun tak bersedia. Bukan karena tak mau tapi tak bisa. Otak saya mulai berpikir keras. Sepadankah perjuangan saya menempuh jarak yang lumayan jauh dan lagi saya datang sendiri. Menghadiri undangan pernikahan sendirian entah mengapa telah menjadi lelucon di daerah saya. Menurunkan kelas seseorang, atau mungkin itu hanya perasaan rendah diri saya karena terlalu lama jomblo.
Saya membujuk adik laki-laki saya dengan iming-iming makan gratis dan setelah makan langsung pulang, dia tak mau. Dulu saya pernah mengajak teman saya menghadiri pernikahan teman, tapi teman ini sekarang tak bisa saya bujuk karena pacarnya tidak mengizinkan. Untuk apa katanya seseorang mengajak pacar orang lain untuk menghadiri pernikahan temannya, seperti tidak punya teman saja atau mungkin hanya mencari alasan supaya teman saya yang laki ini dikira pacar saya. Sinting! Untuk pertama kali saya dilabrak seorang perempuan lewat pesan. Saya kira kita bebas mengajak siapa saja menghadiri undangan (satu orang tentunya).
Jam telah menunjukkan pukul 12 siang. Hingga hari H acara teman saya, saya masih belum menemukan pasangan yang bisa saya ajak ke sana. Teringatlah saya dengan seorang teman yang rumahnya lumayan dekat dengan si empunya acara, dan saya yakin betul dia pasti diundang. Segera saya hubungi via pesan datangkah dia ke acara teman saya ini. Entah mungkin sedang sial atau memang saya ditakdirkan sendiri, teman saya mengatakan dia baru saja pulang dari undangan acara ini. Bodohnya saya baru teringat teman saya ini.
Akhirnya saya masuk kamar mandi, memang saya belum mandi dari pagi. Sambil keramas saya mengumpat entah kenapa hal sekecil ini bisa menjadi masalah. Saya tinggal tidak datang, masalah selesai. Tidak, saya sudah berjanji akan datang ke pernikahannya. Sambil membilas rambut saya putuskan akan datang sendiri, manusia toh pada akhirnya memang akan sendiri, hibur saya pada diri sendiri.
Sudah jam satu siang, saya masih mematut diri di cermin. Hari ini saya harus dua kali lebih cantik dari biasanya entah bagaimana caranya walau itu pasti mustahil karena aslinya saya memang kurang cantik. Saya menggunakan terusan yang belum pernah saya pakai sejak pertama kali membeli karena tak tahu kapan harus digunakan. Mungkin hari inilah takdir pembelian pakaian itu. Sebagai sentuhan terahir saya memoleskan perona pipi kemudian bergegas menyalakan motor butut saya. Saya pergi ke undangan pernikahan sendirian.
Sepanjang perjalanan saya larut dalam perasaan tak percaya bahwa saya berangkat menuju tempat pernikahan yang jauh, sendirian. Saya juga masih tak paham apa yang membuat perjalanan kali ini cukup membingungkan. Apakah karena orangnya tidak saya anggap akrab, apakah karena jarak yang jauh, ataukah lagi-lagi perkara datang sendirian?
Saya sesekali melirik kanan kiri yang terasa cukup asing, hanya suara penunjuk arah di google map tumpuan saya kali ini. Perlu saya syukuri, meski jauh, jalan menuju tempat undangan tak berliku-liku atau sulit untuk ditempuh. Petunjuk arah meminta saya belok di gang kecil, dan menyatakan sebentar lagi saya akan sampai di tujuan. Saya menarik napas. Entah kenapa sangat gugup perasaan saya ketika mulai terlihat tenda kuning keemasan dan hiasan lampion melambai-lambai. Saya memarkir motor dan mematut diri di kamera gawai. Sambil menghela napas, saya langkahkan kaki masuk ke area undangan.
Teman saya, berdiri di area kudapan untuk tamu, menoleh, memandangi saya cukup lama sampai akhirnya saya membuka masker dan tersenyum lebar. Jantung saya mencelos ketika responnya ternyata tak segirang yang saya harapkan. Dia tersenyum singkat. Saya rasanya ingin balik saja pulang ke rumah. Setelah mengambil kudapan saya menghampirinya, mengucapkan selamat dan menanyakan kabarnya. Dia mengajak saya ngobrol seperti biasa, tak lama kemudian suaminya menghampiri kami. Saya tersenyum singkat dan mengucapkan selamat sekali lagi pada mereka. Suaminya bertanya bila saya datang sendiri, dan saya jawab iya. Kami bertiga terlibat percakapan cukup seru, suami teman saya sangat ramah dan tak ragu memulai percakapan walau belum kenal saya sekalipun. Dalam hati, saya turut senang karena setelah sakit hati selama tujuh tahun, akhirnya dia menemukan pasangan yang sesuai dengan yang ia harapkan.
“Yuk makan,” ajak teman saya.
“Ayo makan dulu, mumpung sepi,” sambung suaminya.
Saya menggeleng, “Kayaknya aku ga makan deh, udah jajan aja.”
“Tidak boleh menolak makan di acara nikahan, ini berkat juga,” paksa suami teman saya.
“Aku juga mau makan, yuk bareng. Aku belum makan,” bisik teman saya.
Akhirnya saya mengangguk.
Kami duduk di meja yang sudah dihias sedemikian rupa, di sana kami bertemu beberapa keluarganya yang sedang beberes, memastikan tempat bersih dan makanan cukup tersedia.
“Bagaimana kabarmu?” tanya saya, membuka percakapan.
“Aku sedang sakit. Upacara cukup panjang, flu-ku tak kunjung hilang, tapi setidaknya badanku tidak demam lagi,” jawabnya.
“Ah pantas saja. Jadi itu alasan kau tidak begitu bersemangat hari ini?” Akhirnya saya menemukan alasan kenapa dia tak begitu bersemangat menyambut saya.
Dia mengangguk kemudian menyuap makanannya. “Aku hanya berharap ini segera selesai. Tapi perjalanan masih panjang.”
Saya menatapnya ragu. “Aku lupa ceritamu tentang pria ini, atau mungkin kau belum menceritakan tentang dia kepadaku?”
“Ya, pria ini saudara jauh teman kerjaku di kantor. Kami kenal tiga bulan sebelum resmi pacaran 7 bulan, dan akhirnya kami menikah sekarang,” jelasnya.
“Apakah dia pria yang baik? Kau bahagia kan?” Saya berusaha membaca raut wajahnya.
Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya ada air menggenang di pelupuk matanya.
“Oh tidak, kamu kenapa?” tanya saya sambil menyerahkan tisu, khawatir make up di wajahnya luntur. Teman saya menggigit bibirnya. Berusaha menahan tangis sekuat-kuatnya.
“Ada apa?” tanya saya sekali lagi. Dia menggeleng. Menelan air matanya.
“Aku… Bahagia. Aku hanya ingin menikah. Perkara laki-laki yang tidak mencintaiku bukanlah masalah besar. Aku hanya ingin menikah. Tidak mengecewakan orangtuaku.” Dia meneguk airnya. “Laki-laki ini adalah laki-laki pertama yang berhasil menembus benteng pertahanan ayahku. Laki-laki pertama yang bisa membuat ibuku menanyakannya setiap hari, bahkan diminta untuk menginap di rumah. Seharusnya dia adalah laki-laki yang tepat.”
“Lalu apa maksudmu ‘laki-laki yang tidak mencintaimu’ bila ternyata dia berhasil membuat orang tuamu menyukainya?”
“Dia mengatakan dia masih mencintai seorang perempuan, mantan pacarnya. Tidak direstui oleh orang tua suamiku karena perempuan itu seorang janda. Suamiku berjanji bahwa dia tetap akan bersamaku dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami, tapi aku tak boleh memutus hubungannya dengan janda itu. Itu kondisi yang dia berikan.”
“Kau menyetujuinya? Tetap menikahinya walau demikian?” Saya memandangnya tak percaya.
“Kenapa tidak? Aku yakin suamiku akan bisa melupakan perasaannya pada perempuan itu. Bukan berarti dia tidak mencintaiku, hanya saja dia tidak bisa melupakan perempuan itu. Kau pasti juga begitu kan? Ada seseorang yang tak akan bisa kau lupakan.” Dia menatap saya, memastikan saya setuju. “Selama 7 bulan kami pacaran, dia tidak pernah mengecewakanku. Kami berkasih-kasihan dengan bahagia, walau kadang dia masih menerima telepon dari perempuan itu.”
Sesaat saya tak tahu harus berkata apa, pikiran saya juga dipenuhi pikiran saya sendiri. Saya tidak tahu apakah alasan kuat seseorang menikah? Karena cinta? Ingin membahagiakan keluarganya? Tidak mau diledek masyarakat karena tidak laku dan hidup sendirian? Menikah belum dan bisa jadi tidak pernah menjadi prioritas saya, mungkin karena saya belum punya pasangan.
“Lalu kenapa kau memilih menikah dengan laki-laki ini? Bukan, apa alasanmu menikah?” tanya saya.
“Aku lelah, bukankah pernikahan adalah sebuah tahap, anak tangga yang harus kita hadapi? Untuk apa hidup sendiri terlalu lama. Hidup akan berakhir begitu saja. Masih ada perjalanan selanjutnya. Menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu, menjadi seorang nenek, lalu mati. Bila aku tidak menikah, maka hidupku hanya akan berakhir di anak tangga terbawah. Hidup menjadi membosankan. Memang telah kujanjikan pada diriku sendiri, begitu mendapatkan laki-laki tujuanku tidak lagi untuk sementara, langsung menikah” jelasnya menguatkan diri.
Sekali lagi saya hanya bisa diam. Menikah tidak menjadi prioritas saya dan artinya saya membiarkan diri saya berada di tangga bawah kehidupan saya. Paling tidak itu menurut orang lain, bukan saya. Setiap ada kenalan, keluarga, atau tetangga yang lebih muda menikah, orang-orang di sekitar biasanya selalu menasehati saya. Kadang saya kesal. Mengapa keadaan saya yang tidak (belum) menikah ini begitu buruk di mata mereka, begitu mengganggu, memprihatinkan, hingga harus digurui, dibimbing, diyakinkan, bahkan diminta melakukan ritual agar terbuka jalannya. Atau memang ini salah, buruk, kemalangan tapi saya yang tak sadar dan tak tahu konsekuensinya.
Saya ingat betul kalimat yang terlontar dari bibi teman saya adalah “Mih, kasihan.” saat mendengar kondisi saya yang belum menikah di kepala tiga. Jawaban itu cukup membuat saya tertegun. Kasihan? Saya malah bersantai menjalani hari tapi ternyata situasi saya menyedihkan bagi orang lain, dan saya masih tidak sadar mengapa ini memprihatinkan.
Menikah menjadi penting untuk siapa? Siapa yang menjalani pernikahan kenapa orang yang tidak Anda kenal pun turut prihatin? Pikiran saya teralihkan saat melihat kaki teman saya bergoyang-goyang, terlihat tidak sabar. Mungkin dia ingin saya segera pulang.
“Baiklah, selamat untuk pernikahanmu. Semoga kau berbahagia, terwujud keinginanmu menapaki seluruh anak tangga.” Saya berpamitan.
“Terima kasih. Semoga kau juga bisa segera menikah,” balasnya.
“Terima kasih.” Saya bergegas bangkit dari duduk.
Dalam hati, saya merengut. Ingat perjuangan saya sampai memutuskan untuk memenuhi undangan pernikahannya namun ternyata saya tak begitu diharapkan. Saya berpamitan pada teman dan suaminya, sebelum itu saya minta foto bersama. Dengan HP saya yang tidak kalah jadulnya juga. Itu pun keburu segan, takut teman saya tak berminat. Saya merapikan barang dan segera bergegas menuju pintu keluar. Ingin segera membebaskan diri dari perasaan tidak nyaman ini.
Mata saya bertemu dengan seseorang yang baru saja akan masuk ke acara pernikahan teman saya. Jantung saya berdegup kencang ketika sosok itu merapikan rambutnya. Dia terhenti sejenak, begitu juga tubuh saya yang langsung kaku. Kaki saya langsung dingin, mungkin jantung saya pun mencelos ke perut.
“Weh, Nyoman kan? Apa kabar?” sapa lelaki itu.
“Baik. Ke nikahan sini?” Saya menunjuk acara teman saya.
“Iya, dulu kami satu tempat kerja.” Dia tersenyum singkat.
“Sendiri?” tanya saya lagi.
“Hehe. Iya,” jawabnya.
Kami hening sejenak.
“Duluan ya.” pamit saya.
“Yuk.”
Dia berjalan menuju gapura acara teman saya.
Haha, gila. Bertemu cinta pertama di tempat tak terduga. [T]