Hari ini saya akan bercerita tentang kucing. Kucing saya. Ia betina. Kucing yang telah saya hakimi.
Cerita ini bermula ketika kucing saya tidak pulang. Tepatnya, kucing saya tak mau pulang. Saya bahkan ingat betul kapan ia tak pulang. Februari 2020. Saya ingat, karena sejak awal saya sudah berniat menuliskan peristiwa itu sebagai cerita pendek.
Kucing saya tak mau pulang. Saya ingat, sebelumnya, ada kucing hitam yang entah milik siapa sering lewat di halaman rumah. Awalnya saya tak terlalu peduli kucing hitam itu. Sampai ia kerap berkelahi dengan kucing jantan saya yang oranye. Si Oren.
Belum lagi ada yang aneh dengan gerak-gerik kucing hitam itu. Ia tidur di bale gede – balai yang disucikan. Kucing saya yang betina, dua ekor, selalu berada di dekat kucing liar berwarna hitam itu, meliuk-liukkan badannya, menggesek-gesekkan badannya di lantai. Mereka saling tatap dan mengeong.
Kata ibu dan istri sepupu saya, kucing itu sedang bercinta-cintaan. Saya tidak terima. Si Oren sering kalah dalam pertarungan dengan si hitam. Badannya jauh lebih besar dari Oren. Kaki dan badan Si Oren sering berdarah. Kejadian itu menyebabkan saya dendam kesumat dengan Si Hitam. Saya mengumumkan pada semua orang di rumah bila melihat kucing itu lewat atau bersantai di halaman rumah, tolong lempari atau usir dia.
Kembali ke kisah kucing betina, saya mendapati kucing betina saya Si Katty dan Kitty berdekatan dengan Si Hitam. Langsung saya lempari batu. Saya siram juga dengan air. Saya pastikan dia tidak ada di sekitar rumah. Intinya saya melakukan segala cara agar mereka tidak bersama. Setiap hari saya pantau kegiatan dan keberadaan mereka karena berdasarkan pengamatan saya Si Hitam datang hampir setiap hari. Setiap saya dengar mereka mengeong saya langsung lari keluar kamar memastikan mereka tidak melakukan kegiatan bersama Si Hitam.
Saya takut kalau mereka kawin mereka akan melahirkan banyak anak dan saya tidak sanggup mengurus banyak kucing di rumah. Saya mengurus mereka sendirian. Orang rumah tak begitu suka kucing. Kejadian ini mengingatkan saya pada Bapak. Bapak sering memantau kegiatan saya di sekolah. Bapak sering antar jemput saya dan kakak agar kami tidak bergaul terlalu sering dengan laki-laki. Bapak sering mengancam kami tidak boleh berkasih-kasihan dengan lelaki, kalau tidak kami berdua akan diusir dari rumah. Bapak juga mengurus kami, dua anak perempuannya, sendirian. Ibu tidak ada.
Akhirnya bulan Februari, kucing saya, Kitty hilang. Dia tak pulang semalaman. Bahkan ketika saya memanggil mereka pada jam makan Kitty tak muncul. Saya berusaha menghibur diri kalau besok dia pasti pulang. Esoknya, dua harinya, empat harinya dan bahkan seminggu, dua minggu, Kitty tak pulang-pulang.
Si Hitam tetap datang dan Katty tetap berusaha mencuri kesempatan berdekatan dengannya. Setelah lama mengkhawatirkan Kitty, mencarinya di sekitar rumah, dan bahkan memberitahu tetangga tentang Kitty, saya memutuskan untuk merelakannya pergi. Dugaan saya dia pergi untuk Si Hitam.
Kucing-kucing betina saya tak pernah pergi jauh-jauh, berbeda dengan kucing jantan saya yang sering tak pulang karena mencari betina. Itu kata sepupu saya. Kucing jantan memang akan sering keluar rumah mencari betina. Kucing betina saya tak pernah pergi jauh dalam waktu lama dan itu berubah sejak kedatangan Si Hitam. Saya yakin itu. Si Hitam-lah yang membuat mereka berubah.
Suatu ketika saya diminta bibi memetik bunga jempiring di samping bangunan kosong dekat rumah. Di sana memang ada banyak pohon jempiring, bunganya banyak dan wangi, apalagi saat malam hari dan subuh. Saya membuka pagar bangunan kosong itu perlahan. Bangunan ini sudah lama tak berpenghuni tapi sudah biasa dikunjungi orang-orang untuk memetik mangga atau bunga.
Saat masuk ke dalam ada Si Hitam di sana. Saya ingin melemparinya dengan batu tapi saya urungkan niat karena ini bukan rumah saya. Ternyata Si Hitam tinggal di sana. Saya melirik Si Hitam yang sedang berbaring, dan ternyata ia sedang memandangi saya juga. Saya segera memetik bunga jempiring yang mudah saya jangkau dan memasukkannya ke tas plastik.
Tiba-tiba saya mendengar kucing mengeong, dan betapa terkejutnya saya karena ternyata itu Kitty. Kitty menghampiri saya dan menggosok-gosokkan kepalanya di kaki saya. Saya segera mengelus kepalanya, saya rindu Kitty, kucing kesayangan saya. Tangan saya terhenti saat saya sadar ada Si Hitam di sana, menjilat-jilati tangan dan kakinya.
Benar. Benar dugaan saya. Kitty meninggalkan rumah untuk Si Hitam. Dia meninggalkan saya yang selama ini memberinya makan demi kucing jantan. Kecewa benar saya. Niat saya untuk mengajaknya pulang sudah hilang. Saya merasa dikhianati. Kitty membuntuti saya saat saya selesai memetik bunga, saya menatapnya.
“Kalau kau ingin pulang, ayo ikuti aku!” Dia membuntuti saya. Dalam hati saya cukup senang karena dia mengikuti saya menuju jalan pulang.
Saya mampir ke rumah Bibi terlebih dahulu menyerahkan bunga. Rumah saya berdekatan dengan rumah Bibi. Dia tinggal dalam satu area dengan Bapak, tapi memiliki bangunan yang berbeda.
Bibi tidak menikah. Usianya mungkin sekitar 46 tahun. Bibi tegas dan pandai, juga berpenghasilan tetap. Bibi sering mengkritik pandangan orang-orang terhadap statusnya yang tidak menikah. Dia sering bercerita betapa dia merasa dikerdilkan hanya karena tidak menikah. Baginya menikah tidak begitu penting selama dia bisa menghidupi dirinya sendiri.
Saya dengar tante ataupun nenek dari sepupu jauh sering menasehati anak-cucu semua anggota keluarga perempuan untuk menikah agar tidak seperti Bibi, lajang hingga tua. Bibi tidak akan pernah sempurna sebagai wanita, seberapa hebatpun karirnya. Begitu kata mereka.
“Kamu sudah makan?” tanya Bibi.
Saya menggeleng.
“Mau makan di sini? Bibi tadi beli mie goreng langganan kita. Cuci tanganmu dulu!” perintahnya sambil menerima tas plastik berisi bunga.
Saya mencuci tangan dan segera ke dapur. Sambil makan saya bercerita tentang Kitty yang ternyata diam di bangunan kosong dekat rumah, dengan Si Hitam.
“Dia hanya seekor kucing, sudah insting mereka berlaku demikian. Jangan kau pedulikan terlalu serius. Lebih baik kau belajar dengan baik agar bisa mendapatkan nilai tinggi saat ujian. Menjadi pintar itu penting! Kenapa membuang waktu demi mengurus kucing?” Bibi berhenti sejenak. “Tapi kamu tahu tidak? Ada perempuan, meninggalkan rumah, keluarganya, sekolahnya, dan segalanya demi laki-laki. Sudah buta dirinya akan laki-laki itu. Benar! Sudah seperti binatang kelakuannya! Tidak punya otak!”
Saya pulang dan tidak menemukan Kitty di rumah. Hanya ada Katty, Si Oren dan Simba. Lagi, Kitty mengecewakan saya. Saya kira tadi dia membuntuti saya langsung ke rumah. Bapak memandangi saya.
“Kenapa wajahmu kusut begitu? Masih tentang kucing betina itu?”
Saya mengangguk dan kemudian mendekati Bapak untuk menceritakan kekecewaan saya terhadap Kitty. Bapak hanya geleng-geleng dan menyuruh saya masuk kamar untuk belajar.
Tidak ada yang mengerti perasaan saya yang kehilangan kucing, ataupun dikhianati kucing. Bagi mereka saya sudah terlalu konyol. Kucing-kucing saya adalah satu-satunya yang saya sayangi. Mereka sering menemani saya bermain. Saat saya sedih karena banyak tugas kampus atau tugas rumah. Tapi tingkah laku mereka cukup menghibur untuk diamati.
Saat saya pulang dari pasar, saya dapati mereka berempat menunggui saya di depan pagar, kemudian kami masuk ke rumah bersama. Saya tidak pernah merasa sendiri karena mereka.
Seperti biasa, jam 6 saya memanggil kucing-kucing itu untuk makan. Katty, Simba, Oren, dan Kitty. Ah tidak. Saya tidak memanggil Kitty lagi. Katty, Simba, dan Oren sudah berkumpul di halaman belakang, tempat mereka biasa makan. Satu persatu saya beri mereka makan, lalu tiba-tiba ada bunyi mengeong dan ajaibnya Kitty melesat menghampiri saya, minta makan, langsung menunggu di tempat dia biasa makan.
Saya memberinya makan, saya tak tega. Pikiran saya, siapa tahu setelah diberi makan sekarang dia mau tinggal di rumah. Perasaan saya cukup lega setelah melihat mereka makan berempat. Sore itu saya mandi dan mungkin menyanyikan empat lagu di kamar mandi.
Seusai mengenakan baju saya memantau kucing-kucing saya. Lagi-lagi tak ada Kitty. Saya geram bukan main. Sudah cukup. Kitty hanya memanfaatkan saya. Dia makan lalu pergi, kembali pada Si Hitam. Dia datang hanya saat butuh. Saya mengelus Katty yang sedang tiduran di karpet bale sekepat.
Memang dari dulu hanya Katty yang paling setia. Katty sering menemani saya di kamar, saat belajar, menangis, ataupun saat bernyanyi-nyanyi. Katty akan tidur di ujung tempat tidur, di dekat kaki saya. Suatu ketika, saat memberi makan kucing-kucing saya, Kitty datang lagi dan Katty mengusirnya. Katty memburu Kitty, mereka berkelahi sesaat kemudian Kitty berlari meninggalkan rumah.
Bagus Katty! Usir saja pengkhianat seperti dia. Mungkin Katty mengerti betul perasaan saya. Saya memberi makan lebih pada Katty.
Saat saya memetik bunga lagi di tempat biasa, saya mendapati Kitty masih di sana dan seperti biasa digosok-gosokkannya kepalanya di kaki saya. Rasa iba saya muncul kembali, tapi tak seperti dulu. Pernah lagi saat saya ke halaman belakang, saya mendapati Kitty tidur di kardus buku bekas yang terletak cukup di ujung. Saat melihat saya Kitty bangun dan langsung menghampiri saya, mengeong.
“Oh ternyata kau di sini? Kenapa begitu tersembunyi?”
Beberapa hari kemudian saya kaget. Bukan tentang Kitty, tapi ini tentang Katty. Saya melihat perut Katty mengembung walau belum terlalu besar. Ya saya tahu. Katty pasti hamil. Dia sering berkencan dengan Si Hitam diam-diam. Saya tahu itu. Pasti saat saya tidak di rumah. Setiap hari saya jejali Katty dengan ancaman kalau dia melahirkan anak lebih dari dua, akan saya buang.
“Tidak hanya anak-anakmu, kau pun akan kubuang!” ancam saya pada Katty.
Saya mulai khawatir kalau kucing saya bertambah. Bapak cukup sering mengomel karena lauk di meja makan sering digondol kucing. Belum lagi pohon bunga yang baru saja mulai tumbuh pucuk dipatahkan mereka karena bermain-main di taman. Saya juga takut kalau ada tetangga melapor lauknya dicuri kucing saya. Seharusnya saya steril saja kucing-kucing betina ini sehingga tidak bisa berkembang biak.
Siang hari saat menjemur pakaian di halaman belakang lagi-lagi saya mendapati Kitty di dus bekas pojok, tiduran. Dia melesat menghampiri saya, mengeong, dan hamil. Kitty juga hamil.
“Kenapa kau pulang saat sudah hamil?! Pergi sana! Biasanya kau tak mau pulang! Aku tak mau mengurus anak-anakmu!” Saya membentaknya dengan luar biasa marah. “Pergi sana!” Tangan saya mengacung dan terkepal saking kesalnya.
Dia hanya mengeong, menatap saya. Saya tinggalkan dia sendirian di sana. Tak akan saya beri makan walau dia diam di rumah. Saya panggil kucing-kucing saya untuk makan. Kitty juga ada. Saya tak memberinya makan, tapi dia mengambil jatah Si Oren. Si Oren mundur dan duduk, menatap Kitty yang makan dengan lahap. Pasti dia lapar. Dia sedang hamil. Saya memanggil Si Oren dan memberinya makan lagi. Tak selang berapa lama lagi-lagi Katty menyergap Kitty, mereka bergulat dan Kitty segera kabur. Saya sudah tak mau ambil pusing. Saya harap Kitty tak pulang. Saya tak bisa mengurus anak-anak Katty apalagi ditambah anak Kitty.
Esok pagi, saya bermaksud mengambil jemuran yang saya harap sudah kering. Kitty tidur di dus itu lagi. Mengeong, memelas, menggosok-gosokkan kepalanya.
“Kitty! Aku sudah bilang aku tak bisa mengurus anak kucing lagi. Saat pergi mengejar Si Hitam kau bahkan tak ingat pulang, makan pun kau tak ingat. Rugi aku memberikanmu makan setiap hari kalau kau lebih memilih Si Hitam! Sekarang kau hamil dan baru kau pulang! Kenapa pulang? Kau lapar karena ada anak di perutmu? Kau senang-senang dengan pejantan lalu pulang karena kau harus makan untuk anak-anakmu?! Enak benar hidupmu! Kau anggap apa aku ini? Pelayanmu? Kalau kau punya anak lebih dari satu, akan kubuang kau bersama anakmu!” Saya mengomel sambil menuding-nuding. Kesal betul.
Saya merasa gagal dan merasa beban saya bertambah. Perjuangan saya cukup berat agar orang rumah mau menerima saya memelihara kucing lebih dari dua. Pengorbanan saya sia-sia. Enak betul hidup Si Kitty. Ah bukan, enak betul hidup Si Hitam. Dia tak perlu bertanggung jawab apa pun karena dia hanya seekor kucing. Dia bisa bersenang-senang dengan betina kemudian tak perlu menanggung apa pun. Sementara si betina, si Kitty, ah tak hanya Kitty, bahkan Katty harus menghadapi risiko diusir bersama anak-anaknya.
Betapa melelahkannya. Sudah hamil, harus melahirkan sendiri, saya usir pula. Ke mana dia bisa mencari makan. Saya menyesal. Saya merasa rugi punya kucing betina.
Saya tersentak. Kalimat yang saya lontarkan tadi mengingatkan kembali pada kalimat Bapak saat mengusir kakak perempuan saya yang hamil saat ujian SMA.
“Bapak rugi punya anak perempuan! Bapak beri makan, bapak sekolahkan! Harapan bapak bisa membantu keluarga, tapi tak berguna, tak ada timbal balik untuk keluarga! Dia memilih bersenang-senang dan kini harus mengabdi, mengurus anak dan keluarga suaminya! Bagaimana kamu bisa mengembalikan uang, tenaga dan waktu yang bapak berikan untukmu? Bapak berkorban tenaga harus menjemputmu empat kali setiap hari saat sekolah dan langsung les. Bapak bekerja lebih giat, sangat giat mengambil sambilan sana-sini agar bisa membiayai kamu ikut kegiatan ini itu! Begini balasanmu terhadap bapak? Apa kontribusimu terhadap keluarga?! Tak berguna kamu jadi anak! Seharusnya bapak tidak punya anak perempuan! Andai anak bapak laki-laki! Punya anak perempuan memang tak pernah menguntungkan! Hanya menghabiskan uang saja. Pantas kalian anak perempuan tidak mendapat warisan!” suara bapak bergetar saking marahnya, bahkan mungkin bapak menahan tangis.
Kenapa jadi anak perempuan cukup merepotkan. Saya jadi berpikir demikian. Kembali ke Kakak, saya tak pernah tahu Kakak punya kekasih. Berita kehamilannya sangat mengejutkan bagai petir di siang bolong.
Kakak saya orang yang ramah, pandai bergaul dan sangat aktif dalam kegiatan di sekolah. Saya bangga dengan Kakak. Kehamilannya adalah suatu hal yang tidak pernah saya duga. Tak terlintas sedikit pun di otak saya yang dangkal ini.
Saya kira Kakak akan cukup pandai mengontrol dirinya. Saya yakin betul Kakak akan berhasil mewujudkan cita-citanya. Kakak punya banyak mimpi hebat. Kecewa bukan kata yang muncul dari benak saya, mengejutkan.
Saya tidak pernah tahu kehamilan adalah penjegal mimpi-mimpi bagi perempuan. Ah saya paham. Kakak hamil di luar pernikahan inilah yang menjadi masalah dari segalanya. Hamil di luar nikah adalah aib, tindakan amoral, tindakan tidak terpuji. Kehamilan hanya bisa terjadi bila seseorang melakukan hubungan suami istri. Kakak bukan seorang istri dan kekasihnya tidak berstatus suaminya saat ini.
Mereka telah melakukan hubungan tanpa status yang dianjurkan untuk orang-orang yang berhak melakukan hubungan nikah. Ini menunjukkan mereka tidak menuruti peraturan, artinya mereka melanggar. Pelanggaran adalah sebuah kesalahan dan bisa mendapat hukuman. Bapak akan dibicarakan oleh masyarakat karena gagal mendidik anak.
Saya juga gagal mendidik Kitty, tapi untung dia hanya seekor kucing. Saya tidak akan kena pelanggaran karena tidak terikat peraturan hamil di luar nikah seekor kucing. Tapi saya ingin membela diri. Saya sudah melakukan segala upaya mengajarkan yang benar, memantau kegiatan mereka, saya juga selalu memberi mereka makan.
Saya sudah melakukan segala upaya. Kehamilan mereka di luar kendali saya. Saya terdiam sejenak, sepertinya benar saya mulai konyol. Saya tahu bahwa binatang tak perlu pernikahan sah karena mereka tak perlu mengurus administrasi akta pernikahan, kelahiran, dan sebagainya. Mereka ditakdirkan untuk kehidupan bebas tanpa ikatan. Ah saya jadi mengerti mengapa kadang manusia dibandingkan dengan binatang bila kehidupannya bablas tak tahu aturan.
Entah bagaimana, akhirnya Kitty mulai sering di rumah selama masa kehamilannya. Dia sering berkelahi dengan Katty dan bahkan Simba. Kadang dia hilang karena diusir Katty. Saya tak peduli dia ada di rumah atau tidak. Kalau dia datang saya beri dia makan, kalau dia pergi saya biarkan. Setelah berapa lama berselang kucing saya melahirkan.
Katty terus mengeong membuntuti saya bahkan naik ke tempat tidur, masuk ke selimut saya. Saya yakin betul dia akan melahirkan karena beberapa hari belakangan dia mengintip-intip celah di lemari baju saya dan bahkan lemari tas ibu. Saya lompat dari tempat tidur, mengambil kardus dan mengisinya dengan baju bekas. Saya menatap Katty tepat di matanya, memastikan dia menyimak.
“Lahirkan anakmu di sini, aku akan keluar.”
Mungkin 20 menit atau 30 menit berselang, saya mendengar bunyi anak kucing mengeong. Saya merasa sangat lega. Hampir saja tadi dia melahirkan di kasur. Saya membiarkan waktu berlalu 30 menit lagi sebelum menengok ke kamar. Saya bawakan dia air dalam mangkok.
Saya intip perlahan anaknya. Katty menatap saya dari balik kardus. Katty menuruti perkataan saya untuk melahirkan di kardus. Pantas benar dia lebih saya sayangi dibanding Kitty. Katty punya dua anak. Saya takjub dan bangga karena lagi-lagi Katty menuruti ancaman saya tak punya anak lebih dari dua. Saya segera berlari dan cerita pada Bapak bahwa Katty hanya punya dua anak. Bapak merespon datar, tidak bersemangat.
“Bapak lihat Kitty juga masuk ke lemari besar di gudang. Awasi dia!”
Saya menatap Bapak terkejut, Katty dan Kitty akan melahirkan di hari yang sama dan Kitty bahkan memilih lahiran di rumah. Saya kira dia akan ke bangunan kosong markas Si Hitam. Saya tak langsung menengok Kitty karena lemari besar yang dimaksud Bapak letaknya cukup rumit dijangkau.
“Kasih makan dulu kucingmu, habis lahiran itu melelahkan.”
Suara Bapak sangat pelan sampai saya kira Bapak menggumam. Saya menoleh lebih terkejut dari sebelumnya. Tak biasanya Bapak peduli dengan kucing-kucing betina saya. Kucing kesayangan bapak itu Simba, kucing jantan berwarna abu-abu, walau tak disayang betul.
Saya mengangguk dan segera ke dapur menyiapkan makanan kucing. Esoknya saya tengok Kitty di lemari besar. Kitty sudah keluar kemarin malam untuk makan, tapi saya belum menengok anaknya. Saya sinari lemari besar dengan senter dan saya lihat Kitty melingkar melindungi anaknya. Saya intip perlahan, Kitty menoleh. Dia mengeong lemah tapi tak melawan.
“Aku harus melihat anakmu. Kalau lebih dari dua kau harus kubuang bersama anakmu!”
Kitty tak bergerak, dia hanya menatap saya, kemudian saya geser badannya. Anaknya ada dua, warnanya putih hitam dan bahkan sangat lucu. Anaknya lebih lucu dari anak-anak Katty. Kucing saya berarti akan ada delapan sekarang. Semoga Bapak tidak keberatan. Saya mengamati pergerakan Kitty yang keluar dari lemari sesekali dalam sehari, beda dengan Katty yang begitu leluasa keluar kamar mencari makan. Saya mengutamakan memberi Katty dan Kitty makan dan minum, Bapak juga tidak mempermasalahkan itu.
Pernah suatu ketika saya mendapati Katty mendekati lemari besar, kepalanya bergerak-gerak, mungkin dia mencoba memastikan suara anak kucing yang dia dengar. Kitty yang saat itu sedang di luar lemari langsung melesat mendekat dan Katty mendekatinya. Mereka saling mengendus sebelum akhirnya Katty melayangkan cakarnya ke arah Kitty. Mereka hampir berkelahi akhirnya saya lempari Katty agar mereka tak saling cakar.
Di kesempatan lain saya melihat Katty mendekati Kitty yang sedang makan, Kitty menundukkan kepalanya tanda siaga, tak ia lanjutkan makannya, kemudian lagi-lagi Katty mencakar kepalanya, mereka berkelahi. Saya siram mereka dengan air.
Saya memang berkali-kali melihat Katty berkelahi dengan Kitty semenjak kedatangan Si Hitam. Sepertinya pemenangnya adalah Katty karena selalu Kitty yang pergi. Setiap mendekat, Kitty akan diserang Katty lagi. Setelah saya pikir-pikir lagi, dulu saya punya kucing betina juga. Lion namanya. Lion sering diserang Katty saat musim kawin. Katty juga sering mengusir Kitty semenjak Si Hitam.
Apakah, apakah Kitty pergi bukan karena Si Hitam, bukan untuk Si Hitam, tapi karena Katty? Dia pergi untuk menyelamatkan dirinya, sementara saya menghakimi dia pergi karena kucing jantan.
Saya tak tahu apa yang menjadi alasan Katty mengusir Kitty. Mereka adalah anak dan ibu, selama ini pula tak pernah ada masalah antara mereka. Siapa duga kucing betina saya akan saling bermusuhan. Dulu saya pernah mendengar kalimat bahwa musuh wanita adalah wanita lainnya. Entah apakah ada kesamaan antara manusia dengan kucing.
Saya teringat lagi dengan perkataan Kakak dulu. Katanya ibu pergi karena perempuan lain. Ibu ingin membebaskan diri dari ketidaknyamanan yang terjadi dalam hidupnya. Ibu bilang dia sangat menyayangi kami, sangat, tapi dia pergi untuk dirinya, untuk hidupnya yang hanya sekali. Ibu bilang dia berhak bahagia. Tidak ada yang menawarkan kebahagiaan pada Ibu, maka berjuanglah ia demi kebahagiaan hidupnya.
Selain seorang ibu, dia adalah seorang perempuan, seorang individu yang juga seharusnya punya pilihan, tidak pasrah terhadap kemalangan yang terjadi dalam hidupnya. Hidup bahagia itu penting. Kalau hidup hanya untuk menderita, Ibu memilih mati. Kata Ibu, pilihan yang dia ambil tidak mengorbankan kebahagiaan kami.
Ibu membebaskan kami dari kehidupan malang karena orang tua yang tidak harmonis. Ibu ingin membebaskan kami dari perasaan tertekan melihat pertengkaran-pertengkaran sehingga kami jadi takut berkeluarga.
Menurut Ibu, seorang perempuan pada akhirnya tak bisa memiliki dirinya sendiri. Setelah menikah, hidup Ibu untuk mertuanya, keluarganya, mengorbankan keinginannya demi keluarga. Tapi untuk sekali saja, dia memohon pertimbangkanlah kebahagiaan dirinya. Dia selalu menuruti tuntutan Nenek, Bibi, ataupun Bapak, tapi hidupnya sepi.
Setiap hari dia selalu mempertanyakan apakah ini yang dia inginkan, apakah boleh dia bermimpi lebih besar, apakah boleh dia melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang tak mampu dia bendung sakitnya. Ia sangat ingin bahagia, tertawa lepas untuk dirinya sendiri. Ia sering menangisi dirinya. Ia tak kuat lagi dengan perempuan-perempuan yang selalu bergunjing terhadap kehidupannya sebagai istri, menantu, ipar, dan ibu. Ia ingin memiliki dirinya sendiri.
Saya tidak paham dengan segala penjelasan Ibu tentang kebahagiaan dan pilihannya. Saya ingin Ibu bahagia, tapi saya tidak tahu bahwa saya bukanlah bagian dari kebahagiaan Ibu. Saya juga merasa sunyi. Saya takut menjadi seorang ibu, bukan, saya takut menjadi perempuan yang tak akan bisa memiliki diri saya lagi.
Tapi ini bukan cerita tentang saya, ini adalah cerita tentang kucing betina saya. Ini hanyalah cerita tentang kesalahpahaman saya menghakimi kucing betina saya yang tak mau pulang. [T]
___