Buku kumpulan puisi “Blengbong” diluncurkan Selasa, 25 Mei 2021 malam, di Gedung Kriya Taman Budaya Denpasar. Di Bali, buku ini sungguh istimewa. Selain berisi puisi yang ditulis 58 penyair penting di Bali dan sekitarnya, buku ini juga memberitahu dunia sastra tentang jejek-jejak “perguruan puisi” asuhan Umbu Landu Paranggi di Bali dan sekitarnya.
58 penyair yang puisinya terkumpul dalam Blengbong adalah penyair yang lolos Posbud (Pos Budaya), sebuah kelas tertinggi dalam kompetisi puisi ala Umbu Landu Parnggi di Bali Post era tahun 1980-an hingga 1990-an. Hampir semua penyair yang lolos Posbud itu kini dikenal sebagai penyair papan atas, bukan hanya di Bali, juga di tingkat nasional, bahkan internasional.
Kompetisi ala Umbu
Umbu Landu Paranggi, sebagai pengasuh halaman Apresiasi, ruang sastra dan budaya di Bali Post Minggu pada era 1980-an hingga 1990-an, memang menerapkan pola kompetisi seperti pola-pola kompetisi dalam liga sepakbola Eropa.
Jenjang kompetisi itu dimulai dari Pawai, lalu masuk jenjang Kompetisi, lalu Kompetisi Promosi (Kompro). Jika lolos Kompro, baru kemudian mamsuk Pos Budaya. Begitu seorang penulis puisi mengirim puisi ke Bali Post, harus masuk Pawai dulu bersama-sama dengan penulis puisi pemula lainnya. Dari penyair-penyair Pawai itu kemudian dipilih siapa-siapa saja yang lolos ke jenjang Kompetisi.
Jenjang Kompetisi ini dibuat perkelompok. Kompetisi 1 adalah kelompok yang dipilih pada periode pertama Kompetisi itu dimulai, yakni sekitar tahun 1980-an. Lalu dilanjutkan dengan Kompetisi 2, Kompetisi 3, Kompetisi 4, dan seterusnya. Kalau tidak salah, hingga pertengahan tahun 1990-an, terdapat sekitar 17 kelompok Kompetisi.
Dari setiap kelompok Kompetisi itu akan dipilih siapa-siapa saja yang layak dipromosikan ke jengang Pos Budaya. Bisa saja anggota di Kompetisi 7 lebih dulu lolos dari Kompetisi 1 atau 2. Hingga kini mungkin sudah ada ratuasan penyair yang tak pernah lolos ke jenjang Pos Budaya sesuai jenjang kompetisi yang dibikin Umbu. Namun, yang lolos juga banyak. Menurut penyair Wayan Jengki Sunarta, penulis puisi yang lolos Posbud hingga kini jumlahnya lebih dari 100 penyair.
Sesungguhnya terdapat satu kasta lagi yang mungkin bisa dianggap lebih tinggi dari Posbud. Namanya, lagi-lagi mirip istilah sepakbola, “Solo Run”. Penyair yang masuk Solo Run adalah penyair yang diundang khusus oleh Umbu untuk mengisi satu halaman penuh ruangan “Apresiasi” di Bali Pos Minggu. Dalam satu halaman itu bukan hanya berisi puisi, melainkan juga prosa liris dan esai, karya satu penyair.
Memang tak mudah menembus Pos Budaya. Saat itu, sajak-sajak Pos Budaya dianggap setara kualitasnya dengan sajak-sajak di majalah sastra Horison. Boleh jadi itu pula sebabnya, para penyair Bali masa itu menganggap Pos Budaya sebagai semacam penasbihan sebagai penyair.
Blengbong
Buku Blengbong disusun tiga penyair yang karyanya juga menembus gawang Pos Budaya asuhan Umbu, yakni Ketut Syahruwardi Abbas, Gm Sukawidana, dan Wayan Jengki Sunarta. Acara peluncuran di Taman Budaya itu juga diisi pameran sketsa dari pelukis dan penyair Nyoman Wirata.
Acara itu dihadiri para penyair yang sajaknya dimuat dalam Blengbong serta putri Umbu Landu Paranggi, Rambu Anarara Wulang Paranggi. Seniman teater yang juga istri Gubernur Wayan Koster, Ni Putu Putri Suastini Koster, turut hadir dan memberikan apresiasi.
Syahruwardi Abbas sebagaimana dikutip dari balisaja.com, mengungkapkan Blengbong merupakan persembahan sekaligus sebagai wujud kecintaan kepada Umbu yang dipandang sebagai mahaguru para penyair di Bali, bahkan di Indonesia. Melalui Umbulah, para penyair itu lahir dan terus menulis hingga kini, bahkan turut bersanding dan bersaing dalam jagat perpuisian Indonesia.
Menurut Gm Sukawidana, tampilnya para penyair Bali di kancah perpuisian Indonesia merupakan buah dari tempaan Umbu di Bali Post Minggu yang sangat ketat. “Saya harus menunggu tiga tahun untuk bisa muncul di kelas Pawai,” ungkap Gm.
Jengki menjelaskan ada sekitar seratusan penyair yang lolos pos budaya di Bali Post Minggu yang diasuh Umbu. Namun, para penyair yang sajaknya dibukukan dalam Blengbong sebanyak 58 orang. Penyair-penyair itu menghuni Pos Budaya Bali Post Minggu pada rentang waktu tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an. Pada periode 2000-an, Umbu mengubah format menjadi Pos Siswa (Possis) dan Pos Mahasiswa (Posmas).
“Kami menginginkan tidak ada penyair Pos Budaya yang tercecer. Tapi, dalam perjalanannya, ada penyair yang bisa kami hubungi, ada juga yang tidak bisa kami hubungi. Yang bisa kami himpun sajaknya dalam buku sebanyak 58 penyair,” beber Jengki.
Blengbong, menurut tim penyusun, diambil dari kosa kata bahasa Bali yang berarti “hujan yang amat lebat di tengah laut”. Jika langit berubah kelam, angin dan ombak mulai menampakkan gelagat tak biasa, itulah tanda-tanda blengbong. Blengbong juga merupakan suatu fenomena alam yang unik sekaligus puitik. Dalam konteks kepenyairan, blengbong bisa mengacu pada kegelisahan batin sang penyair saat melahirkan karya-karya kreatifnya. Dalam konteks kawah candradimuka kesusastraan yang dibangun Umbu, blengbong adalah simbol dari pergulatan dan pergumulan kreatif, dari Pos Pawai hngga menembus Pos Budaya. Judul Blengbong seturut dengan saran Umbu agar judul buku terdiri atas sembilan huruf.
Sebelum Berpulang, Umbu Menyambut Buku Ini…
Buku antologi penyair Pos Budaya ini mulai digarap akhir tahun 2020. Rencana awal, Blengbong terbit pada bulan Februari 2021 dan diluncurkan bertepatan dengan hari ulang tahunnya, 26 Mei 2021. JKP merupakan komunitas sastra yang turut dibangun dan diasuh Umbu. Umbu sendiri yang menentukan waktu dan tempat peluncuran itu. Dia pun mengungkapkan kegembiraannya menyambut buku ini. Umbu juga memberikan pengantar untuk buku ini, meskipun itu disusun melalui wawancara tim penyusun dengan Umbu dalam beberapa kesempatan.
“Tak pernah terbayangkan, buku ini yang awalnya kami rancang sebagai persembahan dan kecintaan kepada Pak Umbu mesti menjadi semacam dialog terakhir yang mengantar kepergian Pak Umbu ke ruang sunyi,” ujar Ngurah Aryadimas Hendratmo, Lurah JKP.
Umbu berpulang pada Selasa, 6 April 2021 di RS Bali Mandara, Denpasar. Meskipun Umbu sudah tiada, penerbitan buku Blengbong tetap dituntaskan sebagai wujud kecintaan sekaligus penghargaan atas segala dedikasi Umbu bagi dunia sastra modern di Bali, khususnya puisi.
Putri Suastini juga mengapresiasi dedikasi Umbu dan ungkapan kecintaan murid-muridnya dalam buku Blengbong. Namun, Putri Suastini juga mengajak murid-muridnya untuk meneladani kesuntukan dan ketulusan Umbu kepada puisi. “Jangan hanya sebut nama beliau. Jangan hanya bangga membawa-bawa nama beliau, bangga jadi muridnya Umbu. Tapi aplikasikan didikan yang beliau berikan sehingga nanti lahir Umbu Umbu lain yang membawa kedamaian dan kemajuan di dunia sastra di Bali,” tandas Putri Suastini. [T][Bali Saja]
BACA ARTIKEL LAIN TENTANG UMBU LANDU PARANGGI