BEGITU enigmatik dan diabolis, saya rasa Han Kang memberi tawaran segar di kancah sastra dunia. Sejak diumumkan sebagai pemenang Nobel sastra di tahun 2024, saya segera mengincar karya monumentalnya yang berjudul “Vegetarian”, novel yang memenangkan Man Booker International Prize pada tahun 2016 lalu.
Jujur setelah menuntaskannya, saya bertanya-tanya tentang kelayakan penulis kelahiran Gwangju, Korea Selatan ini untuk dianugerahi hadiah Nobel. Ada ruang kecil dalam pikiran saya yang terberatkan, termasuk memberi penilaian bahwa buku ini bukan untuk dinikmati semua orang.
Akan lebih adil jika sudah membaca karya-karyanya yang lain, termasuk Mata Malam atau dalam edisi Bahasa Inggris “Human Acts” maupun The White Book , namun izinkan tulisan ini memberikan perspektifnya yang berdiri otonom dari keterkaitannya dengan karya lain.

Gambar 1: Saya memegang buku Vegetarian
Diceritakan seorang tokoh bernama Young Hye mendapati sebuah mimpi yang katakanlah ‘mewahyukannya’ untuk berhenti mengkonsumsi daging. Paralel dengan judul “Vegetarian” yang Han Kang sematkan. Tubuhnya mengurus dan para tokoh di sekelilingnya mempertanyakan, memprotes, bahkan terusik sedemikian berat karena keputusan itu. Untuk merunut, alur cerita terbagi ke dalam tiga kronik berbeda.
Pertama, menyuguhkan sudut pandang suami Young Hye sebagai sosok yang sama muaknya dengan pembaca ketika menghadapi tingkah laku sang tokoh utama yang begitu ganjil.
Kronik kedua menggunakan sudut pandang orang ketiga, mencoba mengeksplorasi hubungan antara Young Hye dengan kakak iparnya dalam sebuah romansa ‘artistik’ yang gelap, tabu, namun juga indah di saat yang sama.
Kronik terakhir dari sudut pandang sang kakak, dengan segala rasa kalut dan usaha untuk tetap terhubung dengan Young Hye.
Menyorot kata kunci “depresif” sebagai benang merah atas kepingan enigma yang terkumpul dari tiap halamannya, saya teringat karya Murakami yang sedikit banyak terasa senada. Kalimat demi kalimat yang terurai seolah menguasai kita, mengundang dengan begitu halus para pembaca untuk masuk ke dalam pusaran keterasingan, kesendirian, dan segala perasan ganjil maupun negatif yang bermuara.
Perbedaannya, Murakami dengan jalinan narasi yang lebih terperinci, sedangkan Han Kang dengan sentuhan simbolis dan metafora yang begitu ‘prosaik’, dan merebut perhatian dalam daya pikatnya sendiri.
Baru-baru ini saya mendengar Eka Kurniawan yang berkata, kurang lebihnya “sastra tak ubahnya kolase emosi”, dan sastra yang baik adalah sastra yang tidak klise, menawarkan alternatif baru. Ketika menyandingkannya dengan beberapa cerita pendek Eka, termasuk dalam antologi Corat-coret di Toilet, ada yang tidak terselesaikan, termasuk dalam Vegetarian. Kisahnya didesain untuk menggantung dan mengetuk perenungan tanpa mengenal terma final.
Tantangan kerja penerjemahan menjadi persoalan berikutnya. Seberapa setia sang penerjemah, seberapa baik karya ini mewujud sebagai narasi yang representatif dan tidak keluar dari keaslian visi sang penulis? Subjektif tentunya, namun menarik untuk dibongkar. Saya meyakini, hasil terjemahan Deborah Smith yang memenangkan Man Booker International Prize punya kualitas dan kekuatan yang fantastis. Tanpa perlu ditanya, melebihi yang dikerjakan penerjemahnya di penerbitan Indonesia.
Relevansi dengan realitas dan keberjarakannya, saya rasa Han Kang sudah selesai dengan itu, bahkan memiliki referensi konteks dunia barat dan global yang kuat karena pengalaman dan pembacaannya atas fenomena jatuh bangunnya manusia.
Dalam sebuah cuplikan arsip video kuliahnya, Bambang Sugiharto melontarkan adagium yang berbunyi serupa, bahwa sastra adalah rekaman atas jatuh bangunnya manusia.
Melampaui kritik patriarkis, bahkan Han Kang menjadi Kafka dan Camus dalam versinya sendiri, dengan ke-chaos–an watak dan tindak tutur para tokoh yang terlukis, dengan sentuhan absurditas dan bentuk katarsis yang mengusik kejiwaan.

Gambar 2: Potret Han Kang | Sumber: The Guardian
Setelah membongkar dan menyandingkan dengan beberapa rujukan, pada akhirnya ada produksi telaah yang kontradikif. Lebih lanjut lagi, mematahkan keragu-raguan saya soal Vegetarian dan ukuran keberhasilannya yang perlu ditinjau dari berbagai sisi. Han Kang tidak hanya sedang bermain-main dengan begitu briliannya, tetapi juga mengguncang tatanan dan kerunutan konstruk berpikir kita yang mungkin, sebagaimana senar biola atau cello, perlu ditala ulang frekuensinya. [T]