7 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Lanang TajibyLanang Taji
June 7, 2025
inCerpen
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Ilustrasi lanang taji

DI sebuah lereng gunung, kabut berarak, beranjak, oleh pancaran surya, oleh tabuhan gamelan, oleh keramaian. Siklus peristiwa mengumpulkan warga, mengumpulkan cahaya, mengkonsentrasikan terik.

Kabut berarak, beranjak, meninggalkan kerumunan dengan padang, dengan karbon dioksida yang terakumulasi.

Mereka pergi menjauh, melepaskan keintiman, merelakan kelekatan.

Surya hadir membawa terang, perlahan menyusupkan terik, menghadirkan benderang.

Berkas-berkas pantulan cahanya perlahan mempertegas, perlahan memperjelas. Rupa-rupa, sosok-sosok yang menyurusi anak tangga. Terengah, kian jelas, kian terengah, kian terang, kian terengah, kian tegas kian terengah.

Satu dua orang berhenti, menunduk, mengatur napas, membiarkan rekan dengan hembusan napas lebih panjang meninggalkan. Membiarkan yang lain, dengan tekad dan ambisinya melangkah pasti, melangkah dengan cepat, melangkah dengan ambisi.

Dan pada akhirnya, semua berkumpul di sebuah pelataran, menyambut Dewa Gunung atau Dewa Giri, turun dan siap untuk beranjangsana menuju lautan.

Ya, ini adalah hari dimana siklus 10 tahun dimana Dewa Giri akan melakukan perjalanan menemui lautan. Dewa Giri, yang berstana di lereng gunung tertinggi, melakukan perjalanan menemui lautan.

Seiring surya, dengan terik yang mengusir kabut, mobil-mobil berbaris, demikian juga warga yang berkerumun di sebuah tanah lapang beraspal, yang menjadi muara anak tangga dimana aspal dan kendaraan tidak berhasil mencapainya. Berkerumun, berbaris, di antara dingin, tubuh yang menggigil kedinginan terperangkap kedinginan, tawaran pop mie yang dijajakan di setiap warung yang menjadi pagar tanah lapang beraspal.

Berbaris, berkerumun, menunggu.

Suara gamelan yang bertalu datang lebih cepat dari langkah-langkah kaki yang berderap menyurusi setiap anak tangga curam. Datang lebih cepat dari terengahnya napas, dan gemericik lutut menahan berat menuruni setiap anak tangga.

Keringat? Dingin ketinggian melarang keringat tumpah.

Hari ini adalah hari dimana gunung hendak berjumpa dengan lautan, siklus 10 tahun sekali. Ketika gunung, lingga, akan bertemu dengan segara, yoni.

Sebuah peristiwa yang dihadirkan sebagai bagian dari silkus keyakinan.

Tiba di pelataran tanah lapang beraspal, muara anak tangga yang berhulu pada pada dimana Dewa Gunung distanakan, didiamkan, dengan bangunan megah, gemerlap.

Para warga menyambutnya, dengan bersimpuh, dengan penuh hormat. Menyambut dengan khusuk, dengan napas yang tak lagi bisa menaiki anak tanggga, dengan kemalasan dan logika “toh nanti mereka akan turun”, dengan lutut berdenyit dan nyeri yang menyiksa.

Gong mencari kendaraan yang telah disiapkan, demikian juga dengan jempana, sarana angkut dari kayu untuk yang disucikan. Demikian juga dengan lelontek, umbul-umbul, kober, bendera besar dan sarana yang lain.

Mereka memasuki kendaraan yang telah disediakan.

Kendaraan yang ditumpangi Dewa Giri, akan beranjak terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh perangkat utama dan dilanjutkan dengan warga yang hendak mengiringinya, dengan kendaraan masing-masing tentunya.

Menuruni lereng gunung, meninggalkan puncak, tak ada lagi kabut pada tiap kelokan, ada embung berlumut di sisi jalan, terabaikan. Turun, menyurusi aspal yang telah disediakan, yang telah ditentukan.

Roda-roda yang berputar, yang menyangga, yang bergulir, yang menggelinding, sesekali tersentak lobang. Memasuki wilayah pedesaan di kaki gunung, sejengkal tiba-tiba menjadi halus, hanya sejengkal, tidak lebih dan tidak kurang. Raja, Maha Patih dan atau Senopati, mungkin malu jika Dewa Gunung yang mereka sembah menemukan jalanan berlubang, yang ketika hujan turun menjadi kubangan.

Mereka mungkin malu, sebagai Raja, Maha Patih, Patih, Senopati. Sebagai bangsawan, sebagi elit, malu jika pada kenyataanya tidak bisa menghadirkan jalan yang halus untuk Dewa Giri.

Walaupun pada kenyataanyan, setiap aspal yang dicurahkan, sejekal aspal yang diusahakan tak lebih dari menutupi rasa malu, malu demi citra. Bukan malu untuk memiliki niat menghadirkan fasilitas publik yang layak, mau demi citra, demi pencitraan.

Malu, jika Dewa Giri melawat ke Segara, dalam perjalannnya menuju laur, harus menemukan jalan berlubang. Sementara kemewahan dan bangunan pembangunan yang berhasil di wujudkan hadir dari keberlimpahan Dewa Giri.

Bopeng-bopeng aspal, lubang-lubang genangan segera ditutup, untuk balas budi, untuk citra, untuk lobi, untuk siasat. Untuk kelancaran perjalanan Dewa Giri menuju Segara, untuk perjalanan gunung menuju lautan.

***

Di tepi lautan, kendaraan-kendaraan pengangkut dan euphoria pengikut yang telah melewati likuan kelokan jalan beraspal berkumpul. Sesaji diatur sedemikian rupa, tertata siap diselenggarakan. Tetua, pendeta, mengambil posisi yang telah disediakan. Warga, umat, mengambil duduk menunggu aba-aba.

Nyala api lahap menyantap dupa, melahirkan asap, melahirkan suara genda berhimpitan dengan rapalan doa.

Mengantarkan, mengiringi, pertemuan gunung dengan lautan.

Pasir hitam, deburan ombak, semerbak aroma asap dupa, denting genta dan doa hadir, berkumandang, berputar menjadi pusaran.

Sementara di hadapan pantai yang sama, seorang perempuan tua bersujud mengumpulkan satu demi satu kerikil laut, dikumpulkannya dalam genggangan, dalam kantung, demi keberlangsungan hidup. Demi melanjutkan hidup, dalam usaha, dalam diam tanpa euphoria perayaan.

Mengumpulkan satu demi satu batu kerikil halus yang diempaskan gelombang dan terdampar dipantai, dikumpulkan untuk bisa melanjutkan hidup.

Sementara itu, suara genta dan doa kian kencang menggema. Kian cepat, kian kencang, kian menggema.

Seolah tak mau kalah dengan deburan ombak, genta kian bertalu doa kian menggema.

Warga, umat mengikuti irama, memaksa memejamkan mata, menyembah dengan doa, dengan keinginan masing-masing. Dengan doa kesendirian, dengan ambisi diri, yang rapat disembunyikan dalam hati, dalam ingin, dalam ambisi.

Surya, dengan teriknya metapat, deburan ombak, menatap gema genta, rapalan doa dan serangkaian ingin, serangkaian ambisi yang dipanjatkan.

Menguap bersama gemuruh deburan ombak, bersama keringat peumpul batu, bersama buliran asin yang terpekat teringgal. Melanyang menjadi uap, menuju langit.

Pada saat yang sama, setelah sepuluh tahun mendamba, Dewa Giri, Gunung, Lingga, bejumpa Dewi Segara, Laut, Yoni.

Di bawah terik surya, sebagai saksi, di antara deburan ombak, alunan genta, rapalan doa, dan panjatan ingin ambisi, pergumulan berlangsung. uap air laksana keringat terhempas terbang, oleh terik, oleh angin. Meninggalkan pekat ikatan asin, pekat garam. Mengudara, mewujudkan  pertemuan, mewujudkan rindu, mewujudkan pergumulan.

Setelah 10 tahun, rindu lereng gunung berjumpa deburan lautan terlampiaskan. Rindu yang terhalang jarak, terjaga waktu, terawatt siklus akhirnya bisa terhadirkan.

Surya kian terik, deburan ombak kian menderu dan uap air kian membumbung. Kerinduan menggebu, pergelumunan kian menggelora, kian erat.

Seiring alunan genta, rapalan mantra, panjatan doan penuh ingin dan ambisi, gemuruh gelora kerianduan kian ruh. Uap air, keringat kian mengudara.

Kian terik, kian kencang, kian rapat, kian menggelora.

Rindu adalah rindu, 10 tahun bukan waktu yang singkat. Upaya untuk menghiasi siklus ternyata tak bisa mempertemukan.

Rindu kadang kala melahirkan amarah. Amarah yang lahir akibat kerinduan yang terakumulasi dan memuncak, menjadi gempa dan bumbungan asap hitam. Namun, jika waktu tidak megijinkanya, getaran gempa dan bumbungan asap hitam hanya akan menjadi pepesan kosong.

Pada kenyataannya rindu harus terikat pada kenyataan, pada kesabaran akan waktu, akan siklus, akan waktu untuk mempertemukan. Akan siklus untuk menghadirkan perjumpaan.

Dan setelah 10 tahun, Dewa Giri akhirnya bisa bertemu dengan Dewi Sedara, gunung memeluk laut, lingga mengisi yoni, menhadirkan keutuhan, melahirkan kemakmuran.

***

“Ning, aji nawang cening suba teka. Mai, Ning!” Nak, ayah tahu ananda sudah datang. Kemari, Nak!”

“Titiang, Ji!”  Saya, Ayahanda!

Di bawah temaram purnama, kabut tipis berhembus lembut. Seorang lelaki tua duduk bersila di atas sebongkah batu, di hadapannya anaknya duduk,  menunggu dengan seksama.  

“Aji sudah tahu, telah beberapa hari ini Ananda telah datang berkunjung,” ungkap sang ayah. “Aji juga tahu, Ananda sudah menyapa semua kawan-kawanmu yang selama ini menunggu dalam sabar, dalam rindu. Rindu menunggumu!”

“Maafkan saya, Ayahanda, anakmu ini tidak langsung mencium kakimu sesampai di rumah. Maafkanlah anak mu ini!”

“Ayah tahu, embusan aroma tanah mengabarkan kedatanganmu dengan jelas, anakku. Apa yang kamu lakukan sudah tepat, rumah ini, tanah ini, dan semua yang hidup di atasnya adalah rumahmu. Dan kami semua merindukanmu,” ucap lelaki tua itu dengan lembut.  “Ananda tahu apa yang dikehendaki lelaki tua ini memanggilmu?”  lanjutnya dengan sebuah pertanyaan.

“Maafkan anakmu ini, ada apakah gerangan sehingga Ayahanda memanggil saya?”

“Kamu tentu sudah tahu bagaimana warga berbondong-bondong menghaturkan bhakti. Menyediakan waktu, tenaga, dan apa yang mereka miliki untuk mewujudkan apa yang mereka yakini. Seperti apa yang dilakukan oleh kakek-nenek mereka, oleh cicit-buyut mereka, oleh pada pendahulu mereka!” Lelaki tua itu menjelaskan.

“Hari ini, mereka masih melakukannya. Menghantarkan ayahmu ini bertemu ibumu. Tentu kamu tahu itu kan?” Lelaki tua itu kembali bertanya.

“Saya tahu, Ayahanda,” jawab sang anak sambil menundukkan kepalanya.

“Melalui warna-warni bunga, wangi aroma dupa, rapalan mantra, hasil panen yang telah berhasil disisihkan dan ternak yang mereka rawat, dengan itu semua mereka mengupayakannya.  Menghadirkan siklus 10 tahun pertemuan kami. Pertemuanku dengan ibumu. Pertemuan yang singkat, yang mereka siapkan dengan suka cita, dengan keringat, tengan terengah, dengan khusuk.”

Diam sejenak.

“Ayahmu ini ingin memintamu untuk mengunjungi mereka. Sapalah mereka dengan lembut, dengan seksama. Sapalah mereka semua, berjalanlah dengan perlahan hingga semua bisa kau lihat dengan jelas anakku. Jangan sampai ada sejengkal yang kau lewatkan,” jelas lelaki tua.

“iya ayahanda” jawab sang anak tanpa berani mendungakkan kepala.

Lelaki tua itu mengambil jeda.

“Seperti halnya keyakinan yang mereka jaga dari generasi ke generasi, seperti itulah yang hendaknya kamu lakukan anakku. Susurilah ngarai-ngarai yang selama ini kering, sungai-sungai yang selama ini mati. Susurilah dengan perlahan, dengan adil. Isilah tiap retakkan tanah, tiap ranting yang mengering, tiap batuan yang terpanggang terik. Sapalah mereka semua, sapa mereka yang ada di sepanjang jalanmu.”

Angin bertiup pelan.

“Sapa, jejaki setiap jengkal, hingga saat engkau tiba di pangkuan ibumu, kau bisa ceritakan perjalananmu!” Lelaki tua itu melanjutkan.

“Ya, Ayahanda, saya akan melakukan yang engkau minta!” Sang anak menjawab.

“Berangkatlah, berangkatlah sesegera mungkin,” pinta sang ayah. “Bukan ayahmu tak ingin kau di rumah, ayah juga merindukanmu. Namun kamu terlahir tidak untuk di rumah, kau terlahir untuk menyampaikan kerinduan ayahmu ini pada ibumu,”. lanjutnya.

“Ya, Ayahanda. Saya akan melaksanakan permintaan Ayahanda. Namun ijinkan saya menghabiskan purnama bersama Ayahanda dan warga yang hidup di rumah ini. Ijinkan saya melepaskan kerinduan pada rumah ini,”  pinta sang anak.

“Selesaikan urusanmu sesegera mungkin. Setelah itu melangkahlah, mengalirlah. Kau terlahir untuk menyampaikan kerinduan ayahmu pada ibumumu. Perjalananmu dalah upaya untuk menjawab raplan harap dari setiap niat yang diusahakan warga. sekaligus untuk mengabarkan kerinduanku pada ibumu. Mengabarkan kerinduan kami yang dipaku kenyataan, dipaku waktu, dipaku hidup untuk tetap merindu!”

Sang anak menyimak.

“Sampaikan pada ibumu, pada segara, pada laut setiap kenyataan yang kau dapati dalam perjalananmu. Sampaikan seadanya, senyatanya kenyataan yang kau tapaki anakku. Sampaikan pada ibumu apa yang kau lalui!”

“Baik, Ayahanda, aku akan melakukan apa yang ayahanda minta. Aku akan melakukan tugasku. Selayaknya mereka, warga yang menjaga keyakinannya, melaku tradisi yang diwariskan dari generasi lalu dan menghadirkannya hingga kini. Aku akan melakukan keajibanku, kewajiban yang aku lakukan dari jaman buyut mereka, dan akan aku lakukan hingga hari ini!”

Sang anak berucap tanpa berani mengangkat kepala.

“Ananda akan melakukannya, seperti yang Ayahanda minta, seperti yang ananda selalu lakukan!”

“Terimakasih, anakku, sampaikan kerinduanku pada ibumu, dan berangkatlah sesegera mungkin!”

“Baik, Ayahanda, saya akan menunaikan apa yang yang ayahanda minta,” jawab sang anak.

“Temui kawan-kawanmu, berikan peluan sebelum kau beranjak meninggalkan rumah ini, meninggalkanku.” Sang ayah meminta.

“Baik, Ayahanda, jika itu permintaanmu, aku akan menunaikannya,”  jawab sang anak.

Hijan gerimis, halus, lembut, turun di antara kabut. Di antara dingin ketinggian yang mengekap, kerelaan untuk meninggalkan. Gerimis halus turun menyapa setiap sosok, menyapa dedaunan yang dihadirkan pohon, menyapa semak, menyapa batuan, menyapa lumut.

Gerimis halus turun, di antara kabut yang  terikat ketinggian, turun terikat rindu yang dihadapkan pada tugas. Dia turun, dengan lembut, lembut menyapa setiap dedaunan, setiap putik pepakuan, semak, embung, lumut, dan batuan kesepian. Gerimis halus menyapa, memeluk, menghabiskan waktu sepanjang sisa purnama yang masih terjaga.

Hadir memeuk dengan lembut, hingga akhirnya hidup mengingatkan akan waktu, akan perjalanan, mengingatkan bahwasanya kehidupan adalah aliran siklus untuk saling meninggalkan.

***

Surya terbit, dengan tegas. Tidak seperti ketika malam, menggunakan bulan untuk menyimak, untuk menyaksikan. Surya hadir dengan tegas, namun hidup menghadirkan mendung untuk meredam jumawa.

Mendung hadir, laksana hamil tua, watu tiba membawa kelahiran, hujan. Melahirkan rintik air hasil senggama kerinduan gunung yang menggebu, betemu dengan gelora lautan, melahirkan pergumulan, pergulatan, dibahah saksi terik sang surya yang membiarkan, mereka bersenggama melhirkan pelur yang membumbung ke angkasa. Membumbung ke angkasa, kerinduan lingga dan yoni, pergulatan, persenggamaan, melahirkan pertemuan yang dititipkan pada awan.

Awan berarak menuju ketinggian. “Giri, ini adalah anakmu, hasil pergumulanmu dengan Segara,” ucap rahim awan menegaskan, pada tiap tetasan hujan adalah anak dari senggama gunung dengan lautan.

***

“Ayahanda, aku pamit menuju Ibu, mewujudkan permintaataanmu, menjalani kodratku.” Toya mengucap kalimat sebelum memulai perjalanannya dan meninggalkan rumah. Meningalkan pelukan kerinduan.

***

Hjuan lebat  turun, turun mengisi, turun memenuhi. Butiran-butiran air lahir dari rahim awan, lahir terlahirkan, banyak, padat, lebat.

Mengisi setiap ngarai, menyentuh akar yang terpapar, lumut yang kering, rumput yang menguning dan mematuan terbakar terik.

Hujan turun, lebat, tercurah. Menjadikan tebing-tebing kering mejadi jembatan lompatan air yang mengalir. Menjadi peristiwa yang memukau. Menjadi konten yang dihadirkan, dipamerkan di media sosial. Dipamerkan oleh yang sosok-sosok yang hadir dalam kebetulan. Hadir dengan ambisi eksperimen akan kebetulan. Menangkap citra, menangkap kemungkinan tapa kesadaran ruang. Hadir, menangkap apa yang bisa di tangkap, lalu melangkah pulang, pergi begitu saja, pergi melupakan.

Hujan lebat turun, mengalirkan air mengikuti jalan lama, jalan lama dimana aliran air harusnya melintas. Karena itu satu-satunya rute yang diketahui untuk berjumpa pada ibu, pada lautan. Seperti halnya warga yang masih khusuk menjaga tradisi, menjaga keyakinan, seperti itu pula aliran air melangkah menyusuru cekungan yang biasa dilaluinya.

Selaknya siklus yang harus diputar, diselenggarakan, penuh kebingungan atara mitos dan dan kesadaran, yang pada kahirnya menjadi rutinitas simbolis ketaatan tanpa kepekaan nilai.  Penuh kebingungan akan kenyataan, yang tak terapalkan lewat mantara. Hanya rutinitas, rutinitas tradisi, rutinitas perayaan simbol.

Dan seperti itu pula perjalanan yang harus dilalui sang anak.  I Toya. Berjalan menyusuri jalan, menghadai kenyataan, menghadapi keaadan.

Dia mengalir, melonpati tebing bebatuan kering, menyurusi cekungan ngarai, mencari setapak lama. Mengingat, melangkah, mengingat, mengalir. Menyurusi cekungan alur, mengalir, menjaga permintaan, menjaga tugas, menjaga ingatan.

Toya terus melangkah, mengalir, mencari jalur ingatan, menemukan alur langkah untuk melintas. Menyapa, memeluk, mencium dan kemudian melintasi.

Namun pada kenyataannya, aroma dupa, rapalan mantra, lunan keringat, dan siklus yang dihadirkan ternyata merubah a;iran, merubah alur perjalanan.

“Sapalah dengan lembut!” Kalimat yang ayah sampaikan itu diingat Toya.

Toya mencoba memegang kalimat itu, melangkah dengan perlahan menyurusi setiap ngarai, tiap jalur yang menjadi lintasan perjalanan yang akan dilalui. Lintasan dulu, lintasan kemarin, lintasan hari ini dan lintasan besok.

Namun, seperti halnya tradisi yang berulang, dan terus diulang-ulang, diputar terus menerus laksana memutar sebuah kaset rusak, yang diputar tanpa ada yang mendengarkan.

Toya harus dihadapkan pada kenyataan. Jalan yang ditepuh tak lagi sama seperti jalan yang dilalui pada perjalanannya sebelumnya, jalan yang tidak sama dengan jalan pada perjalanan yag harus dilaluinya pada perjalanan digenerasi sebelumnya.

Setelah 10 tahun, Si Toya kembali menjalani perjalanannya dan menemukan kenyataan pada setiap petak yang dilaluinya.

Romantisme masa lalu, romantisme ingatan harus dihadapi dan luruh, hancur ketika Si Toya pada akhirnya harus melihat kenyataan dari perjalanan yang harus dilaluinya.

Alur ngarai berujung aliran sungai yang terbendung  lubang dalam, laksana danau akibat aktifitas penambangan pasir. Toya tertahan, menunggu mengisi lubang danau buatan dari aktifitas galian yang duselenggarakan, diupayakan.

Toya teringat akan apa yang disampaikan ayahnya, Sang Giri. “Mereka mengupayakan keyakinan apa yang diyakini dari generasi dulu hingga hari ini!”

Dan menemukan, selain menyakini keyakinan, mereka juga memiliki keyakinan lain, nafsu untuk mengeruk dan menjarah.

Toya dalam kebimbangan, menyapa dengan lembut dan kenyataan warna-warni bunga menyamarkan niat, arum dupa menyamarkan ambisi, alunan genta menutupi keinginan, dan  senandung mantra menyembunyikan kerakusan. Pergulatan nyata, antara pesan ayah, Sang Giri yang mendapat pemujaan, dan kenyataan yang selayaknya dinyatakan setelah perjalan merayapi tiap cekung dan relung kenyataan.

“Maaf, Ayahanda, aku berjalan mengikuti pintamu. Namun alur dulu tak lagi seperti kini!” Toya meminta maaf, laksana merapal mantra. “Aku akan memengang permintaanmu, sebisa mungkin memegang permintaanmu. Menyapa dengan lembut, mengalir dengan adil. Namun ayahanda, kenyataan membuatku bingung harus melangkah, harus mengalir!”

“Oh, Ayahanda, Oh Sang Giri, aku memohon maaf. Dalam kebingungan alur, dalam kekacauan aliran aku harus mencari jalan bertemu Ibu.”

“Mencari jalan menyampaikan pesanmu pada Ibu yang dengan gemuruhnya berharap, berharap kedatanganmu. Yang lewat deburan ombaknya berteriak, meneriakkan kerianduan padamu.”

“Sekali lagi aku momohon maaf atas kelancangannganku yang tidak cukup sabar menyadari bagaimana jalanku harus berhadapan dengan kerukan lubang kerakusan!”

“Aku, anakmu meminta maaf, Ayahanda, ketika aku tidak memiliki kesabaranmu menyadapi kenyataan yang aku lalui!” Toya bergumam dalam diri.

Perjalanannya ke selatan, tertahan lubang besar, lubang besar laksana danau di kaki gunung. Menjadi penghalang untuk melaksanakan permintaan sang ayah, Sang Giri. Aliran sungai telah terhalang kerakusan dalam rupa ambisi, dalam bentuk keinginan yang terbangun iklan yang mendoktrinasi.

Toya melangkah, mengalir, melihat dan mengingat. Toya mengalir, menahan diri, sabar, menghadi kenyataan, merekam keadaan, mengingat kelakuan. Dia terus mengalir, menyapa tiap jengkal yang bisa disapanya.

Toya hanya berusaha dan mengusahakan apa yang diminta oleh  ayahada, Sang Giri.

“Ayahanda, aku memohon maaf. aku kan menyapa setiap jengkal yang aku lalui. Akan menyapa dan dan membaca.  Dan aku juga akan menyampaikan kerinduanu pada ibunda. Namun aku juga akan menyampaian, seperti permintaanmu, aku akan menyampaikan cerita perjalananku kembali pada Ibu,” gumam Toya dalam hati.

“Pejalananku adalah usahan menyusuri ngarai dulu, sungai mati lalu. Seperti yang engkau sampaikan, menyusuri riwayat. Aku kan melakukannya.. namun pada kenyataanya, kenyataan telah berubah!”

“Ayahanda, aku meminta maaf, aku mencari jalanku sendiri untuk bisa menyampaikan kerinduanmu pada Ibu,”  upap Toya.

“Aku meminta maaf atas ketidak sabaran menghadi laku kenyataan. Aku memohon maaf. dalam kebingunagn atas kenyataan yang tercipta, ijinkan aku khusuk pada permintaan mu. Pada permitaanmu bahwasanya aku hadir untuk menyapa dan menyampaikan kerinduanku pada ibu. Pada lautan yang bersetia menunggu” toya merapal, merapal permohonan yang dia yakini akan sampai pada Sang Ayah, Sang Giri.

***

Hujan lebat tumpah. Tumpah ruah menjalari tubuh gunung. Mengaliri tiap cekungan, jalan aliran menuju muara.  

Di sisi selatan aliran air tertahan pada lubang besar yang diciptakan penambangan pasir, yang berhasil mebuat lubang, membuat danau baru. Danau baru ciptaan gelora ambisi yag berhasil memerangkap laju Toya untuk mengalir menemui sang ibunda. Berhasil menahan aliran kerinduan gunung pada lautan yang diucapkan lewat air yang mengalir melalui sungai, sungai sebagai nadi komuniskasi gunung dan lautan.

Eksafator terpaksa, dipaksa, bekeringat untuk menggali dan mengumpulan pasir. Keringan, kekecewaan, kematian hanya peristiwa, hanya angka. Hanya kuli, hanya buruh, hanya keringat hanya angka yang tak sebanding dari dari tiap rupisah yang disetorkan oleh tiap truck yang melintas, yang lewat, yang menyetorkan rupiah, yang melukai, yang mencelakai.

Di utara, aliran air coba berarak, aliran ekstrim yang curan menahan. Sungai tetap mati begitu saja.

Timur laut menganga, menganga dalam kecuraman dalam kelandaian. Dalam jarak yang dekat menuju laut, segara.

Air meluncur dari gunung, menguti lintasan, ngarai masa lalu. Kemudian kebingungan di hadapan kenyataan. Lubang baru, ekafator baru, galian baru, penambangan baru. Kebingunan sebentar, terhalang, hingga akhirnya memutuskan.

Selayaknya setiap rindu yang harus diusahkan, setiap pesan harus disampaikan dan pertemuan perlu diupayakan. Seperti halnya warga yang dengan teguh mengupayakan kehadiran keyakinan ritual 10 tahun sekali, sebagai sebuah ritual, sebagai sebuah keyakinan, seperti itu pula air menngupayakan, mengusahakan. Menjalani aliranya untuk menuampaikan pesan akan kerinduan gunung pada lautan, menceritakan perjalanan dari ayah yang diam menuju ibu yang beriak. Mengingat tiap ngari, mencari kelokan, menuju sungai mati, mencari rendah untuk mengalir, untuk mengalir menyampaikan cerita perubahan, menyampaikan kerinduan. Kerinduan ayah pada ibu, kerinduan gunung yang berdiri diam pada lautan yang bergerak, berdebur, beriak.

Air mengalir kenabg, meluncur.

Tak seperti disis selatan, dimana daratan menghadirkan jarak antara gunung dan lautan, timur laut menghadirkan jalur yang lebih singkat. Pertemuan gunung dan lautan.

**

Air bergemuruh, mengalir dengan kencang, coklat. Mengalir cepat, terburu-buru, tak peduli.

Membawa serta batu selama kemarau jumawa, menentang terik sendiri, kesepian. Bergelinding bersama aliran air, bersama tanah yang larut mencipta aliran coklat yang mengalir cepat, kencang, tak tertahan. Seperti rindu, aliran bergeru begitusaja, mengalir tidak peduli, mengalir pada ibu, pada segara, pada lautan.

Pada saat yang sama, orang-orang berhenti, terhenti, menunggu. Dalam kebimbangan kenyataan dan keinginan. Kenyataan aliran air yang mengalir liar, dan keinginan untuk melintas, melampaui kenyataan.

Sementara kesadaran telah pupus oleh keinginan yang menghimpit dan melupakan kepekaan akan ruang.

Lupa bahwasanya ada gunung yang berdiri, diam, perkasa menatap mengawasi. Lupa bahwasanya da riwayat uwug, hancur yang diceritakan dan mungkin menjadi mitos dan bualan kosong atau legenda mistis.

Air mengalir dengan cepat, dengan deras, degan bingung mencari jalan, mencari lintasan. Alur yang diguratkan waktu, diguratkan alam telahdiporong, hancur. Lintasan alur air tak sekuat keyakinan yang bisa menjadi dianmi oleh menntalitas substitusi. Alur air tidak tebisa terubstitusi, dia mencari jejak aliran yang telah tercipta oleh waktu. Dan kebingunan oleh kenyataan.

Kenyataan ketika, lintasan aliran harus berjumpa pada galian keinginan. Pada kerukan-kerukan eskafator yang seenaknya mengubah alur air demi pasir yang bisa ditambang, bisa dikumpulkan, bisa dijual dan memenuhi hasrat keinginan.

Menambang pasir, menambang uang, dan dengan uang yang berhasil ditambang upacara bisa dilaksanakan, siklus bisa dihadirkan.

**

Air berderu, dalam kebingunan menjadi jalan baru. Menemukan rabatan beton yang dihadirkan melalui dana desa, menyusuriya dengan deras, dengan laju, dengan gemuruh, dengan kebingungan mencari jalan pulang.  Mengalir kencang, mencari cekungan, mengalir, melaju untuk pulang.

Seperti pesan Ayah, pesang Ida Gunung, Sang Giri, mengalir menuju Ibu, Ida Segara, sang lautan. Dan sang anak, Toya, hanya bisa melangkah, mengalir, mengalir menuju ibu  di laut membawa pesan ayah dari gunung.

“Nak, kamu sudah pulang?” serang perempuan langsung menyapa ketika mendapati anaknya tiba.

“Sudah Bu. Sudah sampai pada dirimu,” jawab sang anak. “Ayahanda menitip salam rindu padamu” lanjut Toya.

Sang ibu hnya tersebyum, memahami kenyataan, rindu adalah rasa, kenyataan adalah hal lain yang harus dijalani.

“Bu, maafkan anakmu!” Toya memberanikan diri.

“Maaf untuk apa?” tanya Sang Ibu.

“Untuk lumpur yang aku bawa padamu. Lumpur yang aku dapati dari perjalananku!”

“Lumpur?” Sang ibu bertanya.

“Ya, lumpur. Kanyataan yang harus aku lalui tak seperti gemerlap perayaan siklus yang dihadirkan. Pada kenyataan, alur jalanku yang harus kulalui ternyata telah berlubang, penuh galian, sarat kerakusan dan nafsu!” Toya mengungkapkan.

“Dan kemudian aku menyeret tanah yang digali, demikian juga bebatuan yang dibangkitkan. Aku mohon maaf,  datang dengan lumpur dan batuan yang ditinggalkan dan memilih mengikutiku untuk pulang padamu. Sekali lagi maafkan aku, Bu, anakmu ini,” lanjut Toya.

“Hahahaha!” Sang Ibunda tertawa mendengar cerita anaknya.

“Jalannya berubah, telah berubah dari 10 tahun yang aku lalui. Sudah berubah, berbeda, sungguh berbeda!” Toya merengek manja. “Ayahanda juga merindukanmu, Bu!” Toya mencoba mengambil hati.

“Hahahaha. Ibu menerimamu anakku, menerimamu apa adanya. Dengan lumpur dan bebatuan yang kamu ajak serta  pulang ke rumah ini.”

Deburan ombak menyertai ucapan. Deburan ombak dan buih yang melata daratan. “Ibu menerimamu”.

“Ibu juga tahu kerinduan ayahandamu. Ibu tahu. Ibu tahu…. Lumpur dan bebatuan yang mengikutimu, yang kamu ajak ikut serta pulang, bukan salah mu!”

Sang Ibunda coba mendengarkan.

“Ayahandamu terlalu naif. Berada di puncak gunung membuatnya lupa diri. Aroma dupa, warna-warni bunga, senandung gamelan, darah binatang yang dikorbankan, baginya adalah niat baik, kerelaan”

 “Ayahmu terlalu naif anakku, terlalu naif!”

Toya hanya tertunduk, mendengan apa yang disampaikan Sang Ibu. Mendengarkan, menyimak.

“Toya, anakku. Ibu tidak pernah menyalahkanmu atas setiap lumpur yang kau bawa ke hadapan Ibu. Ibu tahu, kenyataan yang berlangsung hanya akan menghadirkan coklatnya lumpur, hanya lumpur yang pada akhirnya akan bermuara pada Ibu. Ibu tahu itu, tahu dengan pasti,” Sang Ibu menguatkan.

“Dan ibu tahu, di balik warna-warni bunga, aroma dupa, alunan genta dan rapalan mantra. Di tiap keterengahan napas, denyut lutut, energi, waktu dan usaha yang diupayakan untuk mengarak ayahmu menemuiku, menemui ibumu ini. Akan melahirkan lumpur, melahirkan kubangan. Ibu tahu itu.”

Toya tertunduk mendengarkan.

“Tidak usah merasa bersalah karena kamu pulang kepangkuan Ku dengan membawa lumpur. Karena itu adalah tugasmu, mengabarkan laku, mengabarkan kenyataan. Dan jikayang kau bawa kesehapanku, aku, ibumu menjadi tahu seperti apa laku yang sedang dilakukan,” lanjut sang Ibunda.

“Jangan khawatir, anakku, kamu sudah melakukan amanat ayahandamu. Menceritakan percalananmu. Dan ketika yang dirimu bawa kehadapan ibumu ini adalah lumpur, maka ibu tahu, warna-warni bunga yang disajikan, semerbak aroma dupa, alunan genta dan rapalan mantra tak lebih dari dari upaya untuk menyembunyikan kerakusan. Menyembunyikan kerakusan di balik upaya menjaga tradisi”.

“Toya… Anakku. Apa kau mendengarku?”

“Ya, Ibunda, saya mendengarkan,” jawab Toya.

“Dengarkan buat dirimu. Ingat. Dengarkan buat dirimu. Jangan kau sampaikan pada ayahanda, karena jika dia tahu, dia akan murka. Dan jika dia murka, kau tahu apa yang akan terjadi.”

“Ya, Ibunda, saya tidak akan menceritakannya pada Ayahanda,” jawab Toya.

Ombak menurunkan intensitasnya, menahan deburan, manjadi tenang.

Menerima, memeluk, mencengkram. [T]

08.01.2025

Penulis: Lanang Taji
Editor: Adnyana Ole

  • BACA JUGA:
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi
Tags: Cerpen
Previous Post

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Next Post

Menguatkan Spiritualitas dan Kesadaran Budaya melalui Tumpek Krulut

Lanang Taji

Lanang Taji

Part time citizen, full time netizen. tukang tulis di I NI timpalkopi

Next Post
Tumpek Landep dan Ketajaman Pikiran

Menguatkan Spiritualitas dan Kesadaran Budaya melalui Tumpek Krulut

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Wayang Kulit Style Bebadungan, Dari Gaya Hingga Gema

by I Gusti Made Darma Putra
June 7, 2025
0
Ketiadaan Wayang Legendaris di Pesta Kesenian Bali: Sebuah Kekosongan dalam Pelestarian Budaya

JIKA kita hendak menelusuri jejak wayang kulit style Bebadungan, maka langkah pertama yang perlu ditempuh bukanlah dengan menanyakan kapan pertama...

Read more

Efek Peran Ganda Pemimpin Adat di Baduy

by Asep Kurnia
June 7, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

PENJELASAN serta uraian yang penulis paparkan di beberapa tulisan terdahulu cukup untuk menarik beberapa kesimpulan bahwa sebenarnya di kesukuan Baduy...

Read more

Menguatkan Spiritualitas dan Kesadaran Budaya melalui Tumpek Krulut

by I Wayan Yudana
June 7, 2025
0
Tumpek Landep dan Ketajaman Pikiran

TUMPEK Klurut, sebagai salah satu rahina suci dalam ajaran agama Hindu di Bali, memiliki makna yang sangat mendalam dalam memperkuat...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Cerita Keberlanjutan dan Zero Waste dari Bali Sustainable Seafood dan Talasi di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Cerita Keberlanjutan dan Zero Waste dari Bali Sustainable Seafood dan Talasi di Ubud Food Festival 2025

AWALNYA, niat saya datang ke Ubud Food Festival 2025 sederhana saja, yaitu bertemu teman-teman lama yangsaya tahu akan ada di...

by Julio Saputra
June 7, 2025
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co