SELAMA ini, kita mengenal Pablo Picasso sebagai pelukis dan pematung. Sepertinya, tidak banyak yang tahu kalau dia juga menulis puisi. Meskipun karyanya dalam bidang sastra ini tidak sepopuler seni visualnya, namun tetap menarik untuk dikaji.
Picasso mulai menulis puisi sekitar tahun 1935 dan melanjutkan hingga akhir hidupnya. Puisinya mencerminkan gaya surealis dan seringkali memiliki elemen-elemen yang tidak konvensional, seperti kurangnya tanda baca, permainan kata, serta pencampuran antara citra visual dan emosional.
Salah satu aspek menarik dari puisi Picasso adalah bahwa dia membawa elemen dari seni visualnya ke dalam tulisan, menciptakan teks yang sering kali sulit dipahami. Karya puisinya, penuh dengan simbolisme dan metafora. Meskipun tidak ada kumpulan puisi Picasso yang terkenal secara luas, beberapa di antaranya telah diterbitkan dalam buku berjudul “Pablo Picasso: Collected Writings” yang diterbitkan secara ‘posthumous’ (diterbitkan setelah kematian seseorang: penghargaan anumerta.)
Puisi-puisi Pablo Picasso mungkin tidak seterkenal karya rupanya, tetapi mereka menawarkan wawasan menarik tentang pemikirannya yang ‘multidimensional’ dan tidak biasa. Picasso mulai menulis puisi ketika ia sedang mengalami fase kehidupan yang penuh gejolak.

Pablo Picasso, 25 Oktober 1881 – 8 April 1973
Pada waktu itu, 1935, ia menghadapi masalah pribadi, seperti perpisahannya dengan istri pertamanya, Olga Khokhlova, serta krisis identitas dalam karyanya sebagai seniman. Inilah yang mendorongnya untuk beralih ke medium lain sebagai bentuk ekspresi diri, yaitu menulis.
Seperti halnya dalam lukisannya yang dipengaruhi oleh kubisme dan surealisme, puisi-puisi Picasso seringkali tidak mengikuti aturan linear atau struktur yang jelas. Puisinya berisi fragmen-fragmen pikiran, ide, dan citra yang seringkali aneh atau tidak masuk akal jika dilihat secara harfiah. Gaya ini serupa dengan gerakan surealis dalam sastra, yang lebih mengutamakan eksplorasi alam bawah sadar dan mimpi.
Picasso tidak hanya menulis dalam satu bahasa, ia sering mencampur berbagai bahasa seperti Spanyol, Prancis, dan kadang-kadang bahasa lain. Dia juga sering bermain dengan bentuk-bentuk kata, menciptakan frasa-frasa yang tidak biasa. Puisinya seringkali bersifat fraktal, penuh dengan pengulangan yang tidak mengikuti aturan tata bahasa yang baku. Ada banyak frasa yang tampaknya hanya berfungsi sebagai eksperimen linguistik, bukan sekadar sebagai medium komunikasi.
Banyak yang mengatakan bahwa puisi Picasso bersifat sangat “visual”, dalam artian ia menggambarkan gambar-gambar mental melalui kata-kata, sebagaimana ia menggambarkan bentuk dalam seni lukisnya. Misalnya, puisi-puisinya penuh dengan detail yang konkret, seperti warna, bentuk, dan tekstur, yang mengingatkan pada gaya kubisme dan caranya memecah objek menjadi fragmen-fragmen di atas kanvas.
Picasso sering menyebut bahwa ia menulis seperti orang menggigit kuku – sebagai kebiasaan, reaksi spontan terhadap emosi yang dirasakannya. Ia tidak menulis untuk mengikuti gaya puitis yang formal atau menghasilkan karya sastra yang sempurna. Puisinya sering tampak sebagai catatan singkat atau percikan ide yang tiba-tiba muncul di benaknya. Teksnya juga kadang penuh dengan catatan-catatan yang bersifat pribadi atau bahkan sepele.
Selain itu, Picasso acap menggunakan tanda baca dengan sangat tidak konsisten. Hal ini membuat pembaca merasa seperti “tersesat” dalam teks yang mencerminkan perasaan Picasso tentang ketidakteraturan dan fluiditas dunia serta pikirannya sendiri.
Coba simak petikan puisinya, terjemahan Dewi Rinjani ini ;
“Saya menulis seperti orang lain menggigit kuku mereka.
Karena gugup, bosan, bingung, gembira, sedih, gembira, atau lelah.
Saya menulis seperti orang lain melangkah maju mundur.
Pikiran saya, sebaris semut, tak pernah diam,
tetapi mengembara dalam penjelajahannya terhadap segala hal.”
Karya puisi Picasso bersifat eksperimental, dengan seringkali mengekspresikan pikiran dan emosi yang tidak langsung. Bisa kita simak juga karya yang lainnya, Berikut salah satu contoh puisi dari Picasso yang mencerminkan gaya surealisnya:
“Bau tempat tidur
bau malam
bau matahari
bau pergelangan tangan pembantu
bau waktu yang berlalu di bawah celah pintu…”
Di sini, kita bisa melihat bagaimana Picasso mencoba menangkap bukan hanya benda atau objek fisik, tetapi juga aspek tak kasat mata, seperti waktu dan perasaan, melalui deskripsi aroma. Puisi ini hampir seperti catatan tentang momen-momen inderawi, cara yang sangat pribadi bagi Picasso untuk mengekspresikan dunianya.

Pablo Picasso dan istrinya, Francoise Gilot 1952
Seperti kita ketahui, tahun 1930-an adalah masa ketika gerakan surealisme dan eksperimentalitas dalam seni berkembang pesat di Eropa. Penulis seperti André Breton dan pelukis Salvador Dalí adalah beberapa tokoh terkenal dari gerakan ini, yang juga berusaha menggali alam bawah sadar, mimpi, dan realitas yang tidak masuk akal. Picasso, meskipun lebih dikenal karena seni visualnya, tampaknya sangat dipengaruhi oleh trend ini dalam puisi-puisinya.
Meskipun tidak sepopuler karya visualnya, puisi-puisi Pablo Picasso telah menarik perhatian beberapa kritikus sastra. Mereka tertarik dengan pendekatan unik Picasso terhadap bahasa dan bentuk. Reaksi para kritikus terhadap puisi Picasso bervariasi, mulai dari kekaguman terhadap eksperimen bahasanya hingga kebingungan atas sifat puisinya yang sulit diakses (Istilah penyair Umbu Landu : ‘puisi gelap’). Berikut adalah beberapa pandangan kritikus sastra tentang karya puisinya:
Banyak kritikus mengakui bahwa puisi-puisi Picasso sangat eksperimental, mencerminkan sifat “avant-garde” yang sama dengan lukisan-lukisannya. Mereka menekankan bahwa Picasso tidak mengikuti norma-norma puitis tradisional, seperti ritme atau meter yang teratur. Dia menggunakan kata-kata seperti sapuan kuas, menciptakan gambar mental dan atmosfer yang bersifat fraktal dan tidak logis. Beberapa kritikus membandingkan teknik puisinya dengan gerakan surealis dan dadaisme, yang sama-sama mendekonstruksi konvensi linguistik.
Beberapa kritikus menganggap puisi Picasso sebagai perpanjangan dari seni visualnya, di mana ia terus bermain dengan bentuk, warna, dan ruang, tetapi dalam medium kata-kata. Saya menyebutnya kosa bentuk, kosa warna, kosa garis, kosa ruang – dalam memahami perbendaharaan teknik senirupa. Menurut mereka, meskipun Picasso adalah seorang pelukis dan pematung yang terlatih secara visual, dia mencoba mengubah persepsi pembaca melalui bahasa seperti halnya dia mengubah persepsi penikmat melalui gambar kubistik
Penulis dan kritikus sastra Pierre Daix, misalnya, mengomentari bahwa puisi Picasso mencerminkan kebebasan berpikir yang sama yang diterapkan dalam karya-karya visualnya. Ini, sebuah upaya untuk melepaskan diri dari batasan logika atau narasi linier. Daix melihat puisi-puisi Picasso sebagai “coretan-coretan pikiran” yang mirip dengan bagaimana Picasso bekerja di atas kanvas: spontan dan eksperimental.
Sementara itu, kritikus John Richardson dalam biografinya tentang Picasso, menulis bahwa puisi Picasso sulit untuk dipahami dalam konteks sastra tradisional, tetapi bila dilihat sebagai ekspresi artistik yang lebih luas, maka akan ditemui refleksi dari pikirannya yang selalu terobsesi dengan bentuk dan komposisi.

Coretan puisi Picasso
Di sisi lain, ada juga kritikus yang merasa bahwa puisi Picasso terlalu eksperimental dan sulit diakses. Kritik ini terutama berasal dari mereka yang mencari kejelasan dan struktur dalam puisi. Mereka menyoroti bahwa meskipun eksperimentasi linguistik Picasso menarik, hal itu kadang membuat puisinya sulit untuk dibaca secara menyeluruh atau dinikmati sebagai karya sastra mandiri.
Salah satu kritik datang dari Geoffrey Grigson, seorang penyair dan kritikus sastra, yang mengatakan bahwa puisi Picasso tampak seperti latihan spontan yang tidak pernah benar-benar disusun atau diperhalus. Bagi Grigson, karya-karya ini tampak seperti “buku catatan pribadi” daripada karya sastra yang lengkap dan koheren. Beberapa kritikus lain setuju dengan pandangan ini, menilai bahwa puisi Picasso lebih merupakan produk dari percobaan pribadi daripada upaya serius untuk menciptakan sastra yang bertahan lama.
Saya pribadi kurang setuju dengan Grigson. Menurut saya, karya Picasso membuka jalur baru untuk memahami hubungan antara bahasa dan gambar. Saya melihat bagaimana seniman seperti Picasso menggunakan puisi untuk menjelajahi apa yang tidak dapat audiens capai dengan gambar, yaitu permainan linguistik, suara, dan arti kata-kata.Saya menghargai keberanian Picasso untuk mengeksplorasi bahasa dan bentuk baru, meskipun hasil akhirnya mungkin tidak selalu berhasil menurut standar puitis konvensional. Saya menyebut upaya Picasso ini sebagai tekstualisasi karya rupa.

Pablo Picasso dan Olga Khokhlova
Namun, bagi sebagian besar pembaca umum, puisi Picasso sering kali dinilai terlalu eksperimental atau tidak mudah dimengerti. Beberapa kritikus bahkan berpendapat bahwa puisi-puisinya mungkin tidak akan dihargai sebanyak ini jika bukan karena nama besar Picasso sebagai seniman visual, sebuah kritik yang menunjukkan bahwa reputasi Picasso sebagai pelukis bisa jadi membayangi karyanya di bidang sastra.
Memang harus kita akui bahwa karyanya sangat eksperimental dan tidak mengikuti konvensi sastra tradisional. Namun, saya melihatnya sebagai perpanjangan alami dari karya visualnya yang penuh dengan kebebasan dan eksperimentasi. Masih menurut saya, puisi-puisi Picasso tetap menjadi bagian penting dari upayanya yang lebih luas dalam mengeksplorasi berbagai bentuk seni, dan menawarkan perspektif tambahan tentang pemikirannya sebagai seorang seniman yang selalu medobrak batas-batas kreativitas. Picasso, setidaknya mengajari kita semua tentang bagaimana meretas ‘dinding beku’ kreatifitas. Baiknya, saya petik puisi Picasso yang berjudul “A Lonely Road Is That I Walked”. …// Aku berjalan di jalan sepi, satu-satunya yang pernah kukenal// Aku tidak tahu ke mana arahnya, tetapi aku terus berjalan dan terus berjalan//….(Hartanto)
- Puisi-puisi Pablo Picasso, dikutip dari https://www.poemhunter.com/pablo-picasso/ – Di terjemahkan oleh : Dewi Rinjani.
- Sejumlah referensi dan foto-foto diambil dari sejumlah sumber
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA