SORE itu beruntung hujan tidak turun seperti hari-hari sebelumnya. Krisna Satya atau yang kerap saya panggil Krisna sedang berada di ujung studi magister seninya selama 2 tahun di Pasca Sarjana, Prodi Penciptaan Seni, ISI Denpasar.
Sikapnya menunjukkan kegelisahan, tak banyak kata yang keluar dari mulutnya selain ucapan terimakasih kepada setiap orang yang telah datang dan akan menyaksikan ujian akhir tesis magisternya pada sore hari itu.
Bagaimana tidak, di detik itu juga seharusnya pertunjukan telah dimulai, namun seperti biasa, dewan penguji belum juga datang. Huhhh…..
Datang terlambat saat akan menguji seperti telah menjadi kewajiban di Kampus ISI Denpasar yang kini telah berubah menjadi ISI Bali.
Krisna Satya menawarkan hasil risetnya tentang hubungan antara arsitektur dan tubuh yaitu sikut awak yang ia geluti kurang lebih 4 tahun belakangan ini. Gagasan sikut awak/gegulak yang dialih wahanakan ke dalam karya tari adalah praktik artistik oleh Krisna Satya yang menghubungkan arsitektur tradisional Bali dan interpretasi mengukur dengan tubuh sebagai medianya.
Dalam hal ini, mengukur ditanggap sebagai laku untuk mengetahui dan memaknai “jarak” dan “posisi”.
Sikut awak merupakan kata yang sering dipakai pada penciptaan dan pembangunan arsitektur Bali yang berpatokan pada asta kosala-kosali (konsep rancangan bangunan arsitektur Bali yang memuat perpaduan harmonis terhadap mikrokosmos dengan makrokosmos). Dalam asta kosala-kosali ini juga terdapat sikut satak (ukuran yang ideal untuk pekarangan rumah dalam perhitungan tradisional Bali dengan memperhitungkan Asta Kosala Kosali, Asta Wara, Asta Bhumi).
Pada tahun 2021 gagasan ini ditawarkan dan menjadi salah satu yang lolos dalam helatan platform Helatari Salihara 2021. Helatari Salihara diselenggarakan secara rutin dalam kurun waktu 2 tahun sekali. Dapat dikatakan Krisna Satya adalah orang yang cukup berani dengan gagasan yang radikal dalam setiap penciptaan karya tarinya.

Film tari “Sikut Awak”-Helatari Salihara. | Youtube Salihara Arts Centre 2021
Setelah menunggu beberapa menit, kursi-kursi yang sengaja dipajang begitu saja tanpa ditata rapi mulai dipenuhi penonton, beberapa orang membetulkan posisi kursi dan sebagian ada yang tetap kukuh mengikuti arah posisi kursinya.
Saya yakin kedatangan mereka tidak sesuai ekspektasi Krisna yang telah mengundang beberapa komunitas tari di Bali secara resmi tetapi hanya sedikit yang datang. Masih saja sampai hari ini apresiasi karya seni di Bali khususnya pertunjukan kontemporer yang sedikit menguras pikiran sangat sepi peminat dibanding yang berbau festival tradisi tahunan. Hal ini menambah kesenduan wajah Krisna, matanya terlihat bergelinang.
Ada peristiwa unik yang menurut saya tidak selayaknya terjadi ketika dewan penguji mulai hadir di sekitar kursi yang berantakan. Mulai terdengar sayup-sayup bisikan Dewan Penguji saling membisik antar sesama. Mereka mempertanyakan set artistik yang ditawarkan Krisna, dari kursi yang bertumpukan tak tertata rapi dan juga ketidakhadiran lighting megah seperti pertunjukan pada umumnya.
Kata demi kata dalam sambutan oleh Krisna Satya mulai terdengar di depan panggung dadakan berbentuk arena layaknya panggung kalangan dalam seni pertunjukan tradisi Bali, menandakan pertunjukan akan dimulai.
Empat penari berjalan perlahan dari kerumunan penonton sembari menunduk, laku menunduk yang mereka lakukan sangat khusyuk dan berkonsentrasi seakan sedang menghitungan setiap langkahnya. Langkah mereka terhenti tepat di bawah tiang bendera yang berada di sebelah kiri panggung.
Keempat penari terlihat mengenakan kostum yang berbeda, ada 2 perempuan, mengenakan kostum bak SPG (Sales Promotion Girl) lengkap dengan high heels, satunya lagi mengenakan kostum casual, dan 2 laki-laki, yang satunya mengenakan blazer rapi halnya pegawai corporate kantoran, satunya lagi mengenakan kostum lari seperti yang sering saya temui di sekitar lapangan Puputan Badung pada sore hari.
Penari laki-laki berkostum lari adalah orang yang saya kenal betul dan memiliki minat yang cukup masif dalam mengikuti perkembangan kesenian di Bali yaitu Gus Sena.

Pertunjukan “Sikut Awak” | Dokumentasi Krisna Satya, 2024
Gerakan yang pertama mereka hadirkan adalah menghormat ke ujung atas tiang bendera, mengingatkan saya pada upacara bendera rutin di hari Senin. Lambat laun tangan mereka menurun dan mulai menempelkan jari telunjuk serta ibu jari pada setiap jengkal tubuhnya. Hidung, dagu, bibir tak luput dari sentuhan. Tak hanya dengan kedua jari, sesekali telapak tangan juga mereka gunakan untuk mengukur tubuhnya. Tatapannya terlihat menitik pada satu fokus seperti membayangkan angka-angka pada roll meter tertulis di kulit. Objek ukur mulai beralih keluar tubuhnya, teman disamping bahkan pangkal tiang bendera tak luput dari sentuhan jari.
Gerak-gerik keempat penampil yang menampilkan kelugasan membuat mata saya menjadi ikut fokus pada titik yang mereka tuju dan juga segala unsur semiotika yang ditampilkan.
Saya lantas teringat dengan beberapa penyebutan simbol tubuh pada Sikut Gegulak. Alengkat (merujuk pada pengukuran dengan jari tengah dan ibu jari), anyari (pengukuran dengan ujung jari hingga batas pertama), adepa (bahu-ujung jari garis lurus) dan masih banyak lagi sampai penggunaan telapak kaki. Dulu ketika masih sering melukis tradisi (lukisan wayang gaya Ubud) saya selalu ditemani oleh Bapak. Bapak mengajarkan saya membuat proporsi tubuh lukisan wayang menggunakan jari sebagai alat ukur lengan juga kaki wayang agar terlihat selaras.


Simbol sikut gegulak (sumber: laman Facebook @BASAbaliWIKI)
Setelah semua penari mendapatkan bagiannya masing-masing, perlahan tapi pasti mereka menuruni anak tangga sembari menunduk mengisyaratkan sedang menghitung langkahnya. Dalam keheningan, samar-samar mulai muncul bunyi-bunyian yang kerap kali terdengar di alam bebas.
Krisna sengaja tak menggunakan musik beraksen halnya tari tradisi ataupun modern pada umumnya yang setiap geraknya dipengaruhi oleh aksen-aksen yang timbul pada musik pengiring. Ia memilih sound scape, bunyi-bunyian yang hadir dalam lingkungan sekitar manusia. Rekaman suara alam dengan campuran kicauan burung, suara jangkrik, sesekali hembusan angin dan akhirnya berganti dentingan besi serta benda keras menambah kealamian pertunjukan dan membaur dengan lingkungan sekitar.
Saya masih belum tau pasti mengapa Krisna memilih soundscape sebagai musik. Tebakan saya, Krisna ingin menghadirkan kembali sesuatu yang telah hilang dan sulit dijumpai. Dulu ketika masih kecil, sebagian besar hari-hari saya habiskan disawah dan tegalan (lahan kosong, biasanya banyak tumbuhan merambat dan pohon-pohon besar), kicauan burung dan gesekan ranting pohon selalu mengiri saya bermain dengan teman-teman sebaya.
Beberapa bulan yang lalu saya kembali mengunjungi sawah juga tegalan yang sama, namun telah berganti menjadi beton dan hunian bule-bule asal Rusia, kicauan burung ditelan riuhnya suara mesin gerinda juga molen pengaduk semen.
Alunan soundscape tetap berjalan stagnan, salah seorang penari mengambil posisi kuda-kuda ngaad dalam tari Bali untuk putra, tangan lurus horizontal sembari berpindah dengan level yang sama. Penari lain mengikuti dengan arah yang berbeda hingga mereka berada pada jarak yang berjauhan satu dengan lainnya. Dari kejauhan itu setiap penari sibuk dengan gerakannya sendiri-sendiri, hingga satunya kembali menyentuh tubuh Gus Sena dengan gerak-gerik mengukur. Secara tiba-tiba penari lain mengikuti arah tatapan mata Gus Sena kemanapun ia menatap.

Pertunjukan “Sikut Awak” | Dokumentasi Krisna Satya, 2024
Saya pikir Krisna berusaha menghadirkan tubuh-tubuh yang berada pada titik 0 dan netral dalam komposisi koreografi dan setiap kalimat gerak yang dituangkan agar terlihat lebih organik. Namun sepertinya sangat sulit hadir dalam tubuh Gus Sena yang setengah hidupnya dihabiskan bersama Dayu Ani yang bergulat dengan kedalaman kerja tubuh tradisi namun dengan gagasan yang visioner dalam setiap karyanya. Bayang-bayang genre praktik artistik Dayu Ani masih sangat kental terikat dalam diri Gus Sena ketika menjadi penari dalam karya “Sikut Awak” walau tidak dihadirkan secara kasat mata.
Salah satu penari perempuan dengan lugas menandakan dirinya adalah seorang modern dancer (break dance, pop dan sejenisnya). Di luar itu, perempuan bersepatu heels menunjukan kenetralan, bukan berarti kosong. Yak, ia adalah Sintya, salah seorang mahasiswa tari semester 2 asal Kupang, Provinsi NTT. Ia yang berkostum bak SPG tak memikul genre apapun pada pembawaan tubuhnya.

Pertunjukan “Sikut Awak” | Dokumentasi Krisna Satya, 2024
Tatapannya memekik, sesekali mengerutkan dahinya, tubuhnya bahkan jauh dari penari lain yang telah membawa bekal sejak jauh hari. Sepengalaman saya ketika kampus mengadakan pergelaran jarang sekali mahasiswa asal luar Bali dilibatkan di dalamnya, saya pikir mereka sama saja dengan teman-teman asal Bali lainnya. Namun saya sangat senang ketika ia hadir di dalam karya “Sikut Awak”. Walau tubuh yang natural menjadi kejaran dalam karya “Sikut Awak”, heterogenitas dalam karya ini menjadi keunikan tersendiri.
Keempat penari lantas duduk di kursi yang telah disediakan di pojok panggung, mereka saling bertukar kostum. Terlihat sangat lucu ketika kostum yang bukan ukurannya dipaksakan pada tubuh mereka. Tawa riuh dalam kesunyian mengalun dalam jarak pandang samar-samar lapangan waktu itu, ketika penari laki-laki kebetulan mengenakan kostum SPG lengkap dengan higheels yang sebelumnya dikenakan oleh Sintya (penari perempuan).
Mereka berjalan, berlenggak-lenggok bagaikan di atas cat walk high fashion show Balenciaga (brand fashion asal Spanyol dengan kejutan-kejutan unik di setiap produknya) yang selalu menampilkan model-model unik diluar standard konvensional modelling (kadang menyeramkan).

Pertunjukan “Sikut Awak” | Dokumentasi Krisna Satya, 2024
Seusai bertukar kostum, dinamika pertunjukan meninggi, beragam kain yang mereka kenakan mulai ditanggalkan satu persatu, hanya tersisa pakaian dalam. Intensitas gerak yang dipercepat sedikit terlihat samar-samar pada tubuh penari karena hari semakin malam tanpa penerangan sedikit pun.
Saat penari mulai terdiam, lampu mulai hidup dari belakang kursi penonton, Gus sena mengajak seluruh penonton untuk berdiri. Sebagian penonton bersedia berdiri kecuali dosen pembimbing yang duduk di barisan depan. Penonton diarahkan untuk mengikuti beberapa bagian pola gerak koreografi sikut awak yang mereka tampilkan pada bagian awal pertunjukan. Hal ini dilakukan berulang sampai semua penonton berada pada titik tengah dan saling berhimpitan.
Sikut Awak Mengukur Tubuh Penari, Pikiran Bahkan Kebudayaan
Satu kali di sela-sela latihannya, saya sengaja membuka obrolan dengan Krisna. Percakapan saya dengannya di bawah atap wantilan tidak hanya berkutat tentang penggunaan pengukuran tubuh arsitektur Bali sikut gegulak/sikut awak secara harfiah. Obrolan hangat tentang lingkungan sekitar kami juga turut muncul ke permukaan diikuti pudarnya hangat matahari sore itu.
Saya berkeluh kesah bagaimana seni-senian dan tari berkembang di lingkungan sekitar saya. Diawali dengan bagaimana sebetulnya lembaga/institusi mengkonstruksi bahkan mengkoreografi tubuh dan cara berpikir seniman yang bernaung dibawah payungnya. Nampaknya hal ini dialami oleh segenap seniman, khususnya penari Bali belakangan ini secara sadar maupun tak sadar.
Apa yang saya maksud pada kalimat sebelumnya? Saya menyinggung persoalan standardisasi yang melekat pada tubuh seni pertunjukan di Bali hampir setengah abad lamannya. Tentang apa yang menjadi alat ukur, presentase, sukat dan sikut dalam mengukur suatu kebudayaan dan segala unsur-unsur yang ada dibelakangnya.
Sontak Krisna memotong argumen saya tentang persoalan ini. “Yah ae Mang, saya juga berpikir hal yang sama, berarti sikut (ukuran) apa yang dipakai untuk mengukur tubuh (notabene heterogen)?!”.
Dalam konteks ini ternyata Krisna juga mencoba membentangkan benang pada sikut awak dengan standaritas yang berlaku dan melekat pada seniman bahkan tenaga pengajar seni di Bali hari ini.
Nampaknya standardisasi ini telah mengakar bak doktrin agama yang normatif hanya memandang dunia ini sebatas baik buruk, benar dan salah. Sejujurnya saya memiliki permasalahan yang cukup beririsan dengan standarisasi pada tubuh serta praktik artistik yang saya geluti. Memang, telah menjadi suatu hal yang wajar bahwa lembaga seni memiliki kewenangan dalam menciptakan segala standard dan aturan dalam berkesenian. Tetapi keterlibatan atas kepentingan kuasa menjadi permasalahan yang jarang disadari oleh orang-orang.
Perilaku hiper konservatif yang terjadi di Bali lebih mendominasi dari pada pengembangan dan konstruksi berpikir dalam memandang kembali kebudayaanya. Kepentingan pariwisata berlindung dibalik glorifikasi pelestarian tradisi yang membunuh usaha-usaha pembaharuan, pemaknaan ulang atas kegunaan kesenian itu sendiri.
Kata pakem dijadikan tameng dalam penyebaran elemen-elemen standarisasi di Bali. Seniman tari sering kali menjadi terjebak dan kehilangan pemikiran-pemikiran baru dalam memandang kembali kebudayaanya karena berpatok pada interpretasi pakem sebagai peraturan mutlak. Pakem yang seharusnya dipandang sebagai pembekuan pengetahuan malah berbelok tajam menjadi peraturan mutlak, solid dan tidak boleh diganggu gugat bak kutukan jika berada diluar ruangnya.
Pikiran saya selalu berontak acap kali mendengar argumen yang menilai kebudayaan hanya dengan parameter baik dan buruk, serta perilaku etnosentrisme seperti huru-hara netizen pasca festival seni tahunan kebanggan masyarakat Bali dengan embel-embel pelestarian kebudayaan.
Saya dan Krisna memiliki kegelisahan yang sama dalam isu standarisasi pada tari Bali. Dalam “Sikut Awak” Krisna mencoba menghadirkan isu ini dengan melihat kembali pose-pose agem penari Bali saat ini. Tentang bagaimana sebetulnya penari Bali ditanamkan ideologi pose agem yang dipandang pada posisi kebenaran yang hakiki secara postur dan format, bukan pada cocok atau tidak cocok jika dipadukan dengan anatomi tubuh penari yang beragam. Pertanyaan yang hadir pada konteks ini adalah alat yang seperti apa dijadikan sumber dan patokan ukuran pada tubuh, bagaimana cara mengukurnya?
Dalam pencarian koreografi, Krisna menghadirkan teori sirang susu dan sirang mata (tangan sejajar dengan mata, tangan satunya lagi sejajar dengan payudara/susu) yang kerap kali dijadikan bahan ajar dalam penanaman dasar-dasar agem tari Bali. Memang, di beberapa hal penyeragaman jadi sangat indah dan rapi, tetapi dalam hal ini saya rasa penari Bali kehilangan identitas dan kepribadiannya.
Dapat dilihat pada arsip-arsip tari Bali di bawah tahun 1970 setiap penari Bali yang terpampang pada arsip visual ini memiliki bentuk agem yang berbeda-beda pada setiap tubuhnya. Setiap penari memiliki karakter dan identitas agemnya masing-masing. Agem, nyeruji, nyeledet, ekspresi, volume gerakan yang besar bahkan banyak lagi satuan pola gerak yang jika hari ini dipandang kembali terlihat sangat-sangat berbeda dan asing.
Saya kadang mempertanyakan isi pikiran penari dan pengajar tarinya pada masa itu, apa mereka juga menganggap pakem sebagai peraturan layaknya hari ini. Seniman bahkan masyarakat Bali secara umum menganggap pakem sebagai garda terdepan lestarinya seni budaya Bali, tetapi hal yang tak mereka sadari pakem yang dikonotasikan sebagai peraturan telah menyerang segenap gagasan dan pemikiran baru pada kebudayaan khususnya seni perkembangan seni tari di Bali.
Keberagaman di masa itu bagi saya adalah kekayaan dan kemajuan cara berpikir, namun penyeragaman hari ini adalah kemunduran yang menyebabkan kemiskinan.
Dalam penelusuran yang saya lakukan akhir-akhir ini, dapat disadari bahwa standarisasi dalam tubuh tari bahkan seni pertunjukan di Bali erat kaitannya dengan relasi kuasa pemerintahan terhadap lembaga seni pada rezim orde baru. Seni menjadi barang dagangan politik yang cepat laris untuk menyokong eksistensi kekuasaan pada masa itu. Lembaga seni menjadi tunduk kepada rezim dan mulai menyebarkan ideologi kepada masyarakat Bali yang memposisikan seni pada segenap kehidupan beragamanya.
KKN(Kuliah Kerja Nyata) adalah salah satu sarana yang dijadikan wadah doktrin bak misionaris gereja di zaman kolonial. Sebagai salah satu contoh di tahun 1970-an, Lembaga ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) yang saat ini berganti jadi ISI Bali mulai menyebar luaskan garapan baru berupa Tari Baris Gede dan Rejang Dewa kepada masyarakat Bali sebagai salah satu sarana yang dipandang wajib dihadirkan dalam setiap upacara keagamaan. Proyek ini terbilang berhasil menjadi paham baru dan menubuh pada badan tradisi juga keagamaan masyarakat Bali hingga detik ini, masyarakat awam menganggap jika tari Baris Gede dan Rejang Dewa tidak ditarikan maka upacara tidak dapat dikatakan lancar serta berjalan dengan baik.
Di satu sisi standardisasi memang berperan besar pada kemudahan proses transfer pengetahuan terutama pada praktik tari Bali. Namun di sisi lain konteks standardisasi perlahan menggrogoti perkembangan cara berpikir seni terutama masyarakat yang memposisikan seni sebagai sarana wajib di dalam setiap pelaksanaan ritual dalam kehidupan beragama.
Begitu pun hari ini, seniman yang ingin memperluas jangkauan dalam memandang seni bahkan tradisi di Bali menjadi sangat takut untuk membawanya dalam ruang-ruang umum, hal ini menghambat perkembangan kesenian di Bali yang sudah sangat tertinggal jauh.
Baris Berbaris (LKBB/PBB/PASKIBRA)
Walaupun tidak secara gamblang menyatakan bahwa pencarian gerak dalam koreografi karya ini muncul dari LKBB atau latihan baris berbaris, site dan pembawaan penari menunjukan adanya intensi baris-berbaris dalam karya tari “SIkut Awak”. Energi dari memori yang tertinggal pada lapangan upacara seakan muncul dalam tubuh penari. Gesture, laku, juga cara mereka melangkah mengisyaratkan ketegasan dan kedesiplinan tubuh yang tegas.
Selama pertunjukan saya sama sekali tidak menemukan ritme gerak yang mengalun (flow). Stakato mendominasi design gerak tubuh penari halnya pasukan paskibra pada upacara bendera rutin setiap senin di tempat ini. Isu standardisasi dalam karya “Sikut Awak” menurut saya juga beririsan dengan segala hal bahkan paham-paham yang ada di belakang LKBB. Yak, mereka sama-sama produk yang dikembangkan kembali pada rezim Orde Baru dan menubuh pada lembaga pendidikan juga institusi seni di Indonesia. Tentang kedisiplinan.
Isu Penyempitan Ruang Dalam Gagasan Sikut Awak
“Sikut Awak” yang berbicara tentang arsitektur dan kaitannya dengan ruang, waktu juga manusia menjadi satu hal menarik yang saling terkait antara satu dengan yang lain.
Dalam beberapa kesempatan saya mencoba untuk menonton karya film tari “Sikut Awak” (https://www.youtube.com/live/vvPeQRtoFds?si=uDg1E7-GwnPO4ieV) yang diunggah di laman youtube @SaliharaArtCentre. Krisna mencoba mengangkat isu tentang penyempitan lahan yang terjadi di Bali.
Obrolan saya dengan Krisna tak terhenti pada isu standardisasi yang ia singgung pada gagasannya. Krisna juga mempunyai kegelisahan pada kondisi Bali akibat pengaruh pariwisata. Dimulai dengan persoalan penggunaan sikut satak pada hunian tradisional Bali.
“Mang, adi jani langah nak ngelah umah nganggon sikut satak nah??” (Bertanya tentang jarangnya pekarangan rumah yang menggunakan konsep dan tata tempat menurut sikut satak).
Saya lantas menanggapi pertanyaan Krisna juga dengan pertanyaan dan sedikit pengalaman pribadi. “Apalagi di kota, Wi, Mang kan sai ke Sidakarya (desa di bagian selatan Denpasar) hampir 99% sing ade ne nganggon sikut satak!” ujar saya. Artinya, daerah kota terkhusus di wilayah Sidakarya hampir 99% rumah masyarakat sudah meninggalkan tata letak menurut sikut satak).
Dalam 30 tahun terakhir Bali mulai berada pada titik kepadatan penduduk yang membeludak akibat pariwisata dan banyaknya pendatang yang mencoba mengadu nasib di tanah ini, khususnya wilayan Kota Madya Denpasar. Dengan mulai ditinggalkannya sikut satak sebagai tata letak rumah, dapat dilihat terjadi pergeseran tata ruang di Bali yang awalnya penuh dengan perancangan sirkulasi menjadi bangunan yang sekedar jadi.
Di akhir pertunjukan konteks penyempitan dihadirkan dalam partisipatory kepada penonton. Dengan mengajak penonton untuk masuk ke dalam panggungnya, Krisna mencoba untuk menawarkan penyempitan ruang dengan sensasi terhimpit, walaupun saya yakin hampir sedikit yang menyadari isu ini di dalam karyanya.
Perluasan Makna Koreografi dan Dramaturgi Waktu Sebagai Peralihan
Keberadaan atas isu dan persoalan dalam gagasanya menandakan Krisna Satya telah menggunakan perluasan koreografi di dalam karyanya. Ia nampaknya sengaja menggunakan lapangan upacara sebagai panggungnya guna memberikan kebebasan pikiran dalam membangun imajinasi. Layaknya bermain lego dan puzzle, tubuh-tubuh penari menawarkan material koral, besi, semen, batako, ubin, rangka atap, untuk dibangun dan ditata menjadi bangunan yang seutuhnya pada ruang imajinasi . Tawaran koreografi ini bagi saya menjadi barang mahal yang bahkan tak sempat saya pikirkan sebelumnya.
Krisna Satya juga mencoba menawarkan dramaturgi waktu sebagai simbol peralihan dan pergeseran atas pemanfaatan lahan di Bali. Ia sengaja menggunakan pergerakan Matahari di sore hari sebagai pencahayaan untuk menempatkan posisi peralihan pada keadaan Bali belakangan ini.
Saya berefleksi dan membayangkan keadaan Bali seperti masa peralihan dari abad pertengahan yang penuh dengan pengaruh gereja ke masa renaissance dan aufklarung (pencerahan) pada baroque abad ke 15-18 di dunia barat. Namun kebalikannya, jika renaissance bangkit dari kegelapan menuju masa pencerahan, Bali hari ini menyambut kegelapan.
Seiring terbenamnya mentari, visual pertunjukan menjadi semakin tidak tampak. Suasana mulai riuh, mayoritas kerumunan suara yang saya dengar berasal dari kursi dewan penguji.
“Adi sing tepuk ape nah, nak engken ne adi sing nganggon lampu!”. Ini celoteh mengapa pertunjukan ini tidak memakai lampu atau penerangan.
Saya berkekspektasi jika teknologi semakin maju seharusnya SDM juga maju. Sering kali pertunjukan tari di Bali layaknya orang dewasa yang masih ingin disuapi oleh ibunya. Kemanjaan masih membebani punggung seni pertunjukan di Bali. Hal ini juga merasuki ruang-ruang akademis yang semestinya menyadari bahwa pertunjukan kontemporer bukan hanya mengejar keindahan, unison dan rampak tapi lebih kepada impresi, kesan, isu bahkan pengalaman empiris si seniman yang dibagikan kepada penonton, harapannya penonton juga dapat melahirkan pemikiran baru bahkan juga ikut tersadar atas isu yang ditawarkan.
Skenografi, Kursi Dalam Kebebasan Berimajinasi
Teringat pada celotehan dewan penguji menyinggung set artistic kursi yang umumnya pada pertunjukan di tata rapi namun dalam pertunjukan “Sikut Awak” di luar konvensional. Bukannya mempertanyakan dan menanggapi dengan subjektifitas, mereka malah menuding hal ini adalah kesalahan dan ketidaksiapan panitia dalam mempersiapkan pertunjukan. Pikiran saya seakan tidak terima mendengar celotehan itu.
Mungkin mereka akan terkejut ketika menonton performance art/seni performans yang belakangan ini berkembang pada ekosistem dunia seni kontemporer.
Pemilihan set artistik pada karya “Sikut Awak” dalam fungsinya tak hanya semata-mata barang pakai untuk diduduki. Penonton diberikan kebebasan dalam memilih dan memaknai posisi kursi sebagai salah satu benda yang secara kasat mata berdimensi.
Krisna Satya dengan sengaja menawarkan pilihan kepada penonton untuk mengkonstruksi kembali ruangnya sesuai dengan tujuan dan sudut pandang masing-masing individu. Hal ini berkaitan dengan realita ruang yang selalu mengikuti keadaan sekitar dan dipengaruhi oleh keperluan subjeknya.
Saya berspekulasi jika dewan penguji lebih mengingiinkan penampilan yang megah dan meriah bak fragmentari ataupun yang sering kali ditarikan pada perhelatan PKB (Pesta Kesenian Bali) setiap tahun. Jika teknologi sudah maju semestinya perkembangan konstruksi berpikir dan transfer pengetahuan khususnya dibidang seni juga serta merta maju.
Nampaknya apa yang saya pikirkan tak seindah apa yang telinga saya dengar. Pandangan tentang kreatifitas inovatif menjadi sangat sempit sekali ketika mendengar celotehan itu. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam persoalan ini? Dosen yang minim apresiasi dan pembaharuan pengetahuan? Atau pengalaman artistik Krisna yang terlalu maju?
Saya mungkin akan mentolerir jika hal ini terjadi di tahun 1980-2000-an, pertunjukan tari dengan format seperti pertunjukan “Sikut Awak” memang menjadi hal yang awam pada masa itu. Tidak untuk hari ini, kualitas pertunjukan yang notabene berada di ruang akademis seharusnya tidak lagi dinilai dari batas-batas ruang lingkup visual semata. Isu, gagasan, pengalaman empiris yang telah dilalui berulang mempunyai nilainya sendiri dan menjadi sesuatu yang mahal dibelakang tirai panggung.
Krisna sempat bercerita kepada saya ketika ia mempresentasikan gagasannya di depan para dosen dan teman-teman kelasnya. Dalam satu penjelasan, kata dramaturgi muncul sebagai salah satu pendukung gagasannya yang merujuk kepada struktur. Salah satu dosen menyela penjelasannya dan mempertanyakan mengapa ia menggunakan terminology dramaturgi di dalam presentasinya yang notabene memperbincangkan pertunjukan tari.
Yang bersangkutan juga menambahkan bahwa dramaturgi tidak diperlukan dalam tari, kata itu hanya dipakai pada pertunjukan teater.
Dalam hal ini menurut saya mengikuti zaman dan sedikit mendobrak konvensionalisme bukanlah dosa besar. Pembaharuan pengetahuan dalam akademisi seni di Bali saya pikir perlu ditingkatkan kembali untuk mengejar ketertinggalan ini. Glorifikasi kebudayaan Bali merupakan budaya yang paling adiluhung dalam keperluan kemajuan pariwisata berimbas pada proses berkesenian dan konstruksi berpikir masyarakat bahkan Lembaga dalam menanggap seni di Bali.
Hal itu seolah-olah menutup mata seniman pada pembaharuan dan seakan menolak segala pengetahuan baru yang berada diluar selimut tebal yang membungkusnya.
Sayang sekali, Krisna tidak menyediakan ruang diskusi seusai pertunjukan. Saya pikir akan lebih menarik ketika penonton juga dapat memberikan sumbangsih pendapat, feedback, saran dan kritiknya setelah menonton pertunjukan ini.
Seakan menjadi otokritik, “Sikut Awak” telah membuat saya berefleksi kepada masa depan Bali. Tak hanya menyoal seni-senian, tetapi jauh lebih besar dari pada itu. Pertunjukan “Sikut Awak” bukanlah pertunjukan yang megah pada bingkai visualnya,namun kemegahan terletak pada isu atas gagasannya yang menimbang keadaan Bali di masa depan. Krisna Satya seperti sedang meneropong pulau Bali dari masa ini ke masa depan. Mulai dari penyempitan lahan, kuasa pemerintah terhadap rakyat, dan tentunya konteks pariwisata yang di satu sisi masyarakat Bali merasa di untungkan, namun di sisi yang lain Bali hanya menjadi sapi perah. [T]
Penulis: Mang Tri
Editor: Adnyana Ole