KARYA instalasi Ni Komang Atmi Kristia Dewi yang bertajuk ; ‘Neomesolitikum’. menggunakan beberapa bahan, seperti gerabah, cermin, batu pantai, dan elemen wajah primitif yang ditorehkan pada gerabah. Ini, memiliki potensi untuk menjadi refleksi mendalam tentang hubungan antara masa lalu dan masa kini, serta bagaimana manusia memandang dirinya sendiri. Gerabah adalah medium tradisional yang sering diasosiasikan dengan masa lalu, budaya, dan kehidupan primitif.
Dalam konteks ini, gerabah dapat melambangkan akar sejarah manusia, yang sering kali sederhana namun penuh makna. Dengan menambahkan coretan wajah primitif dan hewan-hewan aneh, karya ini mengingatkan pada seni gua prasejarah, seperti lukisan di dinding gua Leang Karampuang, di kawasan karst Maros-Pangkep, di Sulawesi Selatan. Lukisan di gua tersebut, menggambarkan tiga figur menyerupai manusia sedang berinteraksi dengan seekor babi hutan. Tradisi gerabah maupun lukisan di dinding gua, berada di satu era, yakni Mesolitikum (jaman batu madya).
Cermin sebagai elemen reflektif menciptakan dialog antara penikmat dan karya seni. Ketika seseorang melihat ke dalam gerabah dan melihat wajahnya sendiri di samping batu pantai yang dilukis wajah primitive oleh Atmi, ini menciptakan pengalaman introspektif. Penikmat diajak untuk merenungkan identitas mereka dalam konteks sejarah manusia—apakah kita masih memiliki jejak “primitif” dalam diri kita, atau apakah kita telah terlalu jauh terpisah dari akar kita?

Ni Komang Atmi Kristia Dewi, “Kaca dalam Gerabah”, sarana reflesi audiens
Menurut pengakuan Atmi, ide ini muncul ketika ia mengamati masyarakat banyak yang selfie depan cermin – entah untuk flexing, atau baru beli handphone bermerk, mungkin pamer minuman favorit atau merasa happy melihat wajah karena filter handphone, dan masih banyak lagi. Oleh karenanya ia bikin seni instalasi ini untuk sarana refleksi. “Jadi, Atmi mencoba buat seperti itu, manakala bercermin dalam gerabah dan didekatkan dengan wajah premitif – bagaimana tanggapan audiens nantinya”, Atmi menjelaskan.
Dinding-dinding gerabah di ‘doodle’ penuh secara bebas wajah primitif dan hewan2 aneh. Di doodle, maksudnya cuma di coret-coret pakai cat yang timbul. Ini, seperti melukis di gua2, sekedar dicoret-coret – bentuk gambarnya lebih tidak beraturan. Mengutip dari Wikipedia, doodle adalah gambar sederhana yang dapat memiliki makna representasi konkret atau hanya terdiri dari garis acak dan abstrak, umumnya tanpa pernah mengangkat perangkat gambar dari kertas, dalam hal ini biasanya disebut “coretan”. Karya seni ini biasanya menggambarkan pikiran, persepsi, dan suasana hati perupanya
Coretan yang tidak beraturan dengan cat timbul memberikan kesan spontanitas dan kebebasan, seperti seni gua yang dibuat tanpa aturan formal. Ini menciptakan kontras dengan budaya modern yang sering kali terobsesi dengan kesempurnaan, seperti yang terlihat dalam fenomena selfie dan penggunaan filter. Jadi, Judul karya ‘‘Neomesolitikum’ sangatlah tepat, apalagi jika menumbuhkan kesadaran yang berarti bagi penikmatnya.
Batu-batu yang dipasang ini juga bisa menjadi simbol waktu, karena batu di pantai sering kali terbentuk melalui proses erosi yang panjang, mencerminkan perjalanan sejarah. Selain itu, batu dengan wajah primitif yang tidak beraturan mengingatkan kita pada seni gua prasejarah, sementara refleksi wajah modern di cermin mengundang audiens untuk merenungkan identitas mereka dalam konteks sejarah manusia. Batu ini juga dapat dilihat sebagai simbol ketahanan dan keberlanjutan, yang relevan dalam diskusi tentang refleksi mendalam hubungan manusia dengan alam dan sejarah.

Ni Komang Atmi Kristia Dewi, “Neomesolitikum”, instalasi, mix media
Karya ini juga dapat dilihat sebagai kritik terhadap budaya modern yang seolah-olah masih berada di era Mesolitikum , di mana orang sering kali mencari kebahagiaan melalui teknologi dan citra diri yang “sempurna.”. Dengan menghadirkan wajah primitif di samping cermin, karya ini mengingatkan sekaligus menjadi refleksi kita bahwa kebahagiaan sejati mungkin lebih sederhana dan lebih mendasar daripada yang kita pikirkan.
Audiens mungkin akan merasa terhubung secara emosional dengan karya ini, terutama karena elemen cermin memungkinkan mereka menjadi bagian dari karya seni. Fenomena selfie yang Atmi amati juga dapat memperkuat daya tarik karya ini, karena orang cenderung tertarik pada karya yang melibatkan refleksi diri. Karya ini memiliki kedalaman konseptual yang menarik.
Instalasi ‘Neomesolitikum’ karya Atmi ini tampaknya merupakan upaya yang cermat untuk menggabungkan elemen-elemen arkeologis, antropologis, dan refleksi kontemporer dalam satu narasi visual yang kuat. Melalui pemanfaatan gerabah, cermin, batu pantai, dan elemen wajah primitif, karya ini menyentuh berbagai lapisan makna. Secara etimologis, “Neo” (baru) dan “Mesolitikum” (zaman batu tengah) menyiratkan upaya Atmi untuk menghidupkan kembali atau menafsirkan ulang semangat zaman prasejarah di era modern.
Bukan dalam artian literal, tetapi sebagai bentuk refleksi: bagaimana nilai-nilai dasar manusia purba – bertahan hidup, beradaptasi dengan alam, mencipta artefak – masih relevan hingga kini dalam bentuk yang lebih kompleks. ‘Neomesolitikum’ bukan hanya instalasi visual, tapi juga instalasi pemikiran. Ia menyuguhkan pertanyaan: di tengah teknologi dan kompleksitas hari ini, apakah kita benar-benar telah lepas dari akar manusia purba kita? Ataukah justru, dalam kondisi sosial-psikologis saat ini, kita sedang kembali ke nilai-nilai dasar manusia yang lebih intuitif dan naluriah?

Ni Komang Atmi Kristia Dewi, “Perahu Naga”, acrylic on canvas, 2024
Selanjutnya, mari kita simak karya Ni Komang Atmi Kristia Dewi yang bertajuk “Perahu Naga”. Karya ini menyuguhkan perenungan mendalam tentang perpaduan antara tradisi, ritual, dan identitas budaya. Secara visual, lukisan ini menyajikan sebuah perahu dengan dua naga—satu bernuansa Tionghoa dan satu bernuansa Bali – yang saling terjalin menjadi satu kesatuan simbolis. Penggambaran dua naga ini bukan hanya sekadar estetika, tetapi juga merupakan metafora dari pertemuan dan interkoneksi dua budaya yang telah lama hidup berdampingan. Dalam konteks ritual, perahu naga yang mengangkut persembahan ke laut mengingatkan kembali pada praktik leluhur yang sekaligus merupakan bentuk penghormatan terhadap kekuatan alam dan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan laut.
Dari segi tematik, lukisan ini merefleksikan pergeseran nilai dan tradisi. Di masa lalu, baik masyarakat Tionghoa maupun Bali menjalankan ritual serupa – baik melalui lempar bakcang maupun banten hasil karya para nelayan – sebagai upaya memohon keselamatan dan keberkahan saat melaut. Namun, penulis karya merasakan bahwa seiring berjalannya waktu, mitos dan cerita yang melatarbelakangi ritual tersebut mulai memudar dalam ingatan generasi muda. Dengan menggabungkan dua sosok naga yang berbeda, Atmi seolah mengajukan dialog tentang keberlangsungan tradisi di tengah modernitas yang kian mengikis keotentikan cerita leluhur. Panggilan untuk melestarikan dan mengingat kembali nilai-nilai tersebut tersirat sebagai seruan agar budaya dan lingkungan alam tidak dilupakan begitu saja.
Secara teknis, penggunaan warna-warna yang kaya dan pola-pola detail dalam lukisan ini menegaskan nuansa magis, kegembiraan, dan penuh semangat yang melekat pada setiap unsur ritual. Komposisi lukisan – dengan perahu sebagai pusat perhatian dan elemen lain seperti figur-figur yang mengenakan pakaian berwarna-warni, sungguh menarik. Selain itu, format segitiga di bagian atas yang menampilkan sosok anak dengan kostum tari singa – membangun atmosfer yang hidup dan mengalir. Teknik acrylic pada kanvas menghasilkan tekstur yang dinamis, menonjolkan perpaduan antara realitas dan imajinasi, serta mengundang penikmat untuk merenungkan hubungan antara tradisi dan perubahan zaman.
Lebih dalam lagi, karya ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat keindahan visual, tetapi juga menengok makna sosial-budaya yang lebih luas. Di balik pesonanya, “Perahu Naga”adalah refleksi tentang betapa tradisi bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ini merupakan seruan untuk mempertahankan kisah dan nilai yang sudah dilestarikan oleh leluhur meskipun narasi tersebut kian tersisihkan dalam kehidupan modern.
Lukisan ini menjadi medium untuk menyuarakan pentingnya merenungi hubungan antara manusia dengan alam, serta merayakan keragaman budaya yang saling menguatkan. Menurut saya, penggabungan elemen Tionghoa dan Bali dalam satu karya mencerminkan harapan bahwa dialog antarbudaya dapat membuka jalan bagi penyatuan nilai-nilai yang pada akhirnya bermanfaat bagi kehidupan dan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks yang lebih luas, pesan ini sangat relevan di era globalisasi di mana identitas lokal sering kali terancam oleh homogenisasi budaya.
Secara naratif, lukisan ini dapat diinterpretasikan sebagai simbolisasi perjalanan kolektif. Empat figur yang berada di punggung naga bisa jadi melambangkan perjalanan bersama menuju suatu tujuan, di mana setiap individu berkontribusi dalam harmoni komunitas. Naga yang tampil dengan wajah yang bersahabat mengubah narasi tradisional tentang sosok yang menakutkan menjadi representasi kekuatan positif dan membahaguakan.
Ini mengingatkan kita bahwa budaya merupakan sesuatu yang hidup dan terus berkembang, selalu memberikan ruang bagi reinterpretasi dan kreativitas. Selain itu, kita juga bisa menggali lebih dalam tentang peran warna dalam memengaruhi emosi penikmat. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa warna-warna cerah dapat meningkatkan perasaan positif dan energik, yang sejalan dengan apa yang disampaikan oleh karya-karya dwi matra ATMI.

Ni Komang Atmi Kristia Dewi, “Persembahan”, acrylic on canvas, 2025
Selanjutnya, mari kita ‘telisik’ karya Atmi yang bertajuk : “Persembahan”. Karya Ni Komang Atmi Kristia Dewi ini mengacu pada apa yang tampak secara visual dan simboliknya. Karya ini menampilkan sebuah sosok gurita berwarna pink sebagai elemen pusat. Gurita itu tidak hanya besar, tetapi juga memiliki ekspresi yang hidup dengan mata yang ekspresif dan senyum yang mengundang kehangatan.
Dengan berbagai tentakel (organ tubuh gurita) yang melambangkan keluwesan dan kemampuan untuk menyentuh banyak sudut kehidupan, gurita ini tampil sebagai pusat persembahan dalam arti metaforis – ia sebuah simbol penghubung antara alam dan manusia dalam kisah ritual kontemporer.
Di sekeliling gurita, tersusun berbagai elemen kecil: terdapat figur-figur kecil, hewan-hewan, dan struktur yang didistribusikan di sepanjang tentakel serta area sekitarnya. Setiap elemen ini menyatu dalam komposisi yang padat namun tidak kacau, menciptakan aliran visual yang membawa mata penonton menyusuri narasi dinamis dari karya tersebut.
Penggunaan warna dalam karya ini sangat dominan dan cerah. Warna pink dari gurita menyiratkan keceriaan dan semangat, sementara latar belakang yang dihiasi dengan nuansa hijau dan sentuhan merah pada pohon serta bunga-bunga merah memberikan keseimbangan antara kehangatan dan kesegaran. Warna-warna tersebut berinteraksi untuk menciptakan suasana surealis yang mengangkat unsur fantasi, namun juga terasa sangat hidup dan organik.

Herve DI ROSA, Lithograph in colors on wove paper
Selain itu, adanya figur-figur awan di latar belakang menambah rasa angkasa dan keabstrakan, seolah mengesankan bahwa persembahan yang terjadi tidak hanya bersifat duniawi melainkan juga mengandung dimensi spiritual yang melampaui batas realitas. Meski judulnya mengacu pada “persembahan”, karya ini tidak menggambarkan ritual dengan upacara yang kaku atau struktur simbolik tradisional secara konvensional. Sebaliknya, persembahan di sini diinterpretasikan secara imajinatif melalui Gurita sebagai Simbol Multi-dimensi.
Dengan banyak tentakel yang merambah ke berbagai arah, gurita dapat diartikan menghubungkan berbagai aspek kehidupan. Ia melambangkan kapasitas alam untuk meresapi dan mengalirkan energi kepada berbagai elemen yang ada di sekitarnya. Elemen-elemen seperti makhluk hijau yang muncul secara imajinatif (tanpa dimasukkan konteks budaya tertentu) menambah lapisan interpretasi sebagai wujud kreativitas bebas yang merayakan keberagaman makna dalam setiap persembahan.

Takashi Murakami, koleksi Amalia Dayan and Adam Linderman
Gaya naivisme yang di gunakan dalam lukisan-lukisan Atmi memiliki kesamaan dengan beberapa seniman internasional yang juga mengeksplorasi tema budaya dan lingkungan dalam karya mereka. Menurut pengamatan saya, seniman seperti Takashi Murakami dari Jepang menggunakan warna-warna cerah dan bentuk sederhana untuk menyampaikan pesan budaya dan sosial, mirip dengan pendekatan Atmi dalam mengangkat tradisi Bali.
Selain itu, seniman Hervé Di Rosa dari Prancis juga dikenal dengan gaya naif yang penuh warna dan sering kali mengangkat tema identitas budaya dalam karyanya. Meskipun belum ada bukti langsung bahwa Atmi dipengaruhi seniman luar negeri, pendekatan visual dan tematiknya sejalan dengan tren global dalam seni kontemporer yang berusaha menggabungkan tradisi lokal dengan ekspresi modern.
Karya Ni Komang Atmi Kristia Dewi, meskipun berakar pada kekayaan simbolisme budaya Bali, juga menghadirkan gaya yang resonan dengan tren seni internasional. Secara visual, penggunaan warna-warna cerah dan bentuk sederhana dalam karyanya mengingatkan saya pada karya seniman naive Barat seperti Henri Rousseau. Rousseau, misalnya, juga menciptakan dunia fantasi dengan palet warna yang ekspresif dan detail yang minimal namun sarat imajinasi. Kedua pendekatan tersebut menekankan pada pengalaman visual yang langsung dan mendalam tanpa mengorbankan kekayaan narasi simbolis.

Henri Rousseau, Tiger in a Tropical Storm, oil on canvas, 1891
Di sisi lain, aspek pop dan imajinatif dalam karya dwi matra Atmi memiliki kemiripan dengan gaya “superflat” yang dipopulerkan oleh seniman Jepang seperti Takashi Murakami. Murakami pun menggabungkan simbol-simbol budaya tradisional dengan estetik modern yang playful, sehingga menghasilkan karya yang dapat diterima di tataran global. Seperti Murakami, Atmi menyuguhkan reinterpretasi dari elemen tradisional – dalam hal ini, simbol naga dan gurita – dengan sentuhan modern yang membuatnya relevan sekaligus mendekati penikmat seni internasional.
Sementara itu, seniman asal Prancis Hervé Di Rosa ini mengusung gaya naive dan penuh warna yang serupa dengan estetika Atmi. Di Rosa, meskipun tidak secara spesifik mengangkat tema laut atau ritual pelayaran, karyanya mencerminkan keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional sambil menjadikannya relevan dalam konteks seni modern. Pendekatan ini sejalan dengan bagaimana Atmi menggabungkan elemen budaya Tionghoa dan Bali untuk mengingatkan kita akan ritual leluhur. Sungguh menarik bagi saya menikmati karya-karya ‘narasi naïve visual’ Atmi. [T]
- Sejumlah referensi diambil dari sejumlah sumber
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA