GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat yang menyala. Tujuan kami adalah Bukit Tapak, di kawasan Bedugul, Kecamatan baturiti, Tabanan. Bukit Tapak, atau orang biasa juga menyebut Gunung Tapak, adalah salah satu puncak yang menjanjikan panorama dan pengalaman spiritual di Bali.
Perjalanan kami dimulai sekitar pukul enam pagi. Matahari yang malu-malu muncul di sela awan gerimis, memancarkan sinar yang terpecah menjadi lima bagian. Jalanan basah seperti cermin, memantulkan keindahan cahaya itu.
Kami melewati jalan shortcut setelah Gitgit, menikmati pemandangan dan udara dingin yang menyapa wajah. Saat sampai di puncak Wanagiri, saya mengira akan melihat aktivitas para pedagang, tetapi mereka belum buka. Yang ada hanyalah beberapa monyet berjejer, dengan bulu mereka yang tampak hangat di tengah hawa dingin.
Setelah melewati Pancasari, gerimis mulai mereda, dan di kejauhan, Gunung Agung menjulang megah, terlihat jelas dari shortcut titik empat.

Saat mendaki menuju puncak Bukit Tapak | Foto: Prayoga
Pemandangan itu seolah menjadi dukungan alam bagi perjalanan kami. Jalanan menuju Kebun Raya Bedugul membawa kami ke percabangan yang terkenal, satu arah menuju Kebun Raya, dan satu lagi menuju Gang Wortel. Di sana berdiri patung kol yang berbuah jagung. Dari dulu, patung ini selalu membuat saya bertanya-tanya. Apakah ia merepresentasikan hasil alam di daerah itu? Entahlah, hahahaha, kol kok berbuah jagung, itu hanya menambah kesan di perjalanan.
Pendakian Dimulai
Tibalah kami di parkiran menuju Bukit Tapak pada pukul 08.15. Tiket masuk seharga Rp 20 ribu per orang. Jalan rusak tengah hutan menjadi pembuka perjalanan sejauh 500 meter, hingga kami sampai di percabangan Wanasari. Di sana, kami berhenti sejenak untuk bersembahyang, memohon keselamatan dan kelancaran. Tujuan kami jelas, Bukit Tapak. Maka, kami memilih jalur ke kanan. Jika ke kiri, itu menuju arah ke Bukit Pohen.

Persimpangan Wanasari | Foto: Prayoga
Di awal perjalanan, kami melewati area geotermal bekas pabrik. Bau sulfur yang menusuk hidung menjadi ujian kecil sebelum sampai di kaki bukit. Sepanjang perjalanan, suara hewan-hewan hutan mengiringi langkah kami. Kami tidak tahu suara hewan apa itu, tetapi pikiran kami tidak terusik oleh hal mistis. Fokus kami adalah menikmati suasana indah dan belajar dari alam.
Vegetasi di sekitar sangat beragam. Pohon paku, tanaman cakar ayam, bunga lonceng karang, dan bunga gairah biru menambah semangat kami. Setiap beberapa ratus meter, pohon besar dengan bekas kulit canang mengingatkan bahwa tempat ini juga menjadi lokasi persembahyangan bagi mereka yang melewati jalur. Jalur pendakian bagaikan perjalanan kehidupan. Kadang landai, kadang penuh tanjakan berakar yang membutuhkan tali untuk dilewati.
Kami sempat teralihkan oleh papan penunjuk arah menuju Pura Batu Enggang. Rasa penasaran membawa kami menyusuri jalur itu. Namun, jalanan yang kami lewati menjadi semakin sempit, dihimpit tumbuhan berduri, dan akhirnya buntu. Tekad kami tidak surut.

Proyek geothermal | Foto: Prayoga
Kami terus menelusuri jalur lembab, sesekali memegang akar untuk mendaki, sambil waspada terhadap pacet. Rasa takut akan ular atau hewan lain seolah tertutup oleh rasa penasaran. Prayoga yang terbiasa dengan hal ini memberi semangat, seolah ia juga menutupi rasa takutnya akan tersesat. “Gasss ajaa, Rik,” ucapnya.
Akhirnya, kami sampai di Pura Batu Enggang. Tempat itu menyimpan aura misterius dengan papan kecil bertuliskan “Secret Hill 1500 mdpl.” Mungkin ini yang dimaksud sebagai surga tersembunyi di Bukit Tapak, pikir saya.
“Ohh ini yang di bilang tempat tersembunyi itu, waktu itu aku engga ke sini, Rik,” kata Prayoga, sama kagumnya.
Kami bersembahyang di sana, bersyukur atas pengalaman ini, sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak.
Puncak Bukit Tapak menyambut kami dengan pohon besar yang dihiasi papan penanda, menandakan kami telah sampai di Puncak Tapak dengan ketinggian 1909 mdpl. Pemandangan yang sangat langka jika di pikirkan, kami melihat Gunung Batur, Gunung Abang, dan Gunung Agung dari puncak ini, dan juga ada lautan awan di sekitar Danau Beratan.
Lalu mata kami teralihkan, di salah satu titik, kami menemukan gubuk kecil yang ternyata adalah makam Wali Pitu, bersebelahan dengan Pura. Kami menemukan dua sisi di satu bukit tapak. bersembahyang dulu di pura, secara tidak sadar saya sujud sukur di hadapan pura itu, yang belum saya tahu nama pura itu, tenyata namanya pura Puncak Teratai Bang.

Pura dan makam wali yang bersebelahan | Foto: Prayoga
Keberadaan Pura dan makam ini mencerminkan toleransi antarumat beragama, takjub melihat simbol kerukunan antara umat Hindu dan Muslim di tempat ini.
Di sekitar gubuk, kami melihat tempat untuk berwudhu, tetapi sayangnya, rasa penasaran kami akan makam Habib Umar, salah satu wali pitu, tidak terpuaskan karena tidak ada juru kunci. Dari celah jendela di belakang gubuk, kami hanya bisa melihat tiga makam lain, tidak dengan makam Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi.
Di tengah ruangan, terlihat denah pulau Bali, gambar Wali Pitu dan beberapa sajadah, menunjukkan pentingnya tempat ini bagi umat Islam.
Tekad, Menemui Juru Kunci
Kami memutuskan untuk pulang, walaupun rasa penasaran belum terjawab. Setelah menikmati pemandangan danau Beratan dari puncak, kami memutuskan untuk turun melalui jalur Kebun Raya. Di awal perjalanan, saya mengira jalur ini akan lebih mudah, tidak begitu melelahkan seperti jalur sebelumnya. Namun, ternyata saya salah besar.
Jalan yang kami tempuh justru jauh lebih licin, meski berbentuk seperti tangga yang terbuat dari gundukan tanah dan batang pohon paku, beban tubuh yang terus menekan saat menuruni tangga membuat setiap langkah terasa menyakitkan. Beberapa meter sekali, kami berhenti untuk beristirahat. Begitu seterusnya, berjalan, istirahat, berjalan lagi. Rasa lelah makin menjadi, tetapi kami tetap melanjutkan perjalanan.

Tiga makam diyakini makam murid Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Magribhi | Foto: Prayoga
Di tengah jalan, saat sedang beristirahat, kami bertemu dengan rombongan, berjumlah delapan orang muslim yang hendak berziarah ke Bukit Tapak. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan, rasa penasaran tentang makam Wali Pitu akhirnya membawa saya untuk bertanya kepada salah satu dari mereka.
Pemimpin rombongan itu, seorang pria bernama Jumadi, dengan ramah menjelaskan bahwa kunci untuk masuk ke area makam dapat diperoleh dari Fahridin, seorang juru kunci yang tinggal di dekat Kebun Raya.
“Carinya gampang kok, Mas, rumahnya ada plang bertuliskan ‘Juru Kunci Makam Wali’. Cari aja, nanti sampean bisa ketemu Pak Fahridin,” kata Jumadi.
Informasi ini seperti membuka jalan baru bagi kami. Dengan semangat yang kembali menggebu, kami melanjutkan perjalanan menuruni bukit, meskipun kaki terasa semakin nyeri.

Pemandangan dari puncak Bukit Tapak | Foto: Prayoga
Akhirnya, kami tiba di Kebun Raya. Jika dipikirkan lagi, kami membayar tiket masuk dari Bukit Tapak seharga 20 ribu rupiah tapi kami juga bisa menikmati beberapa tempat menarik di Kebun Raya tanpa harus bayar, sangat beruntung ya, hahaha. Tentu saja, kami hanya tertawa kecil karena perjalanan ini memberi kami lebih banyak pengalaman daripada sekadar pemandangan.
Keluar dari gapura Kebun Raya, kami berjalan sekitar 50 meter hingga menemukan rumah dengan plang yang dimaksud oleh Jumadi. Di sana, kami bertemu langsung dengan Fahridin satu-satunya juru kunci makam Wali Pitu di Bukit Tapak.
Fahridin menyambut kami dengan ramah. Setelah berbincang singkat tentang perjalanan kami dari hutan hingga Kebun Raya, saya mulai menanyakan tentang makam Wali Pitu di Bukit Tapak. Fahridin, yang tampak terbiasa dengan pertanyaan semacam ini, dengan sabar mulai menceritakan sedikit sejarahnya.
Sedikit Kisah, Makam Wali Pitu di Bukit Tapak
Menurut Fahridin, sejarah makam Wali Pitu bermula dari kedatangan Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghribi ke Bali pada abad ke-14 atau ke-15. Habib Umar adalah seorang tokoh penting dalam penyebaran Islam di Bali. Ia berasal dari Timur Tengah, sebagaimana tercermin dari nama “Al-Maghribi,” yang berarti “dari Maghrib” atau wilayah barat, merujuk pada Afrika Utara.

Bertemu para peziarah saat turun dari Bukit Tapak | Foto: Prayoga
Sebelum tiba di Bali, Habib Umar pernah bermukim di Jawa bagian barat dan Madura, di mana ia menjalin hubungan erat dengan raja-raja setempat. Hubungan antara raja-raja Madura dan Bali yang cukup erat kala itu menjadi alasan mengapa Habib Umar diutus untuk berdakwah di Bali, bersama beberapa muridnya. Mereka memulai perjalanan dari wilayah Kalianget Timur di Madura, sebelum akhirnya menetap di Desa Candikuning, kawasan pegunungan Beratan, Bali. Mencari sinar kuning, terkait sinar kuning ini, dulu dikatakan sebagai suatu hal yang sangat berbahaya.
Wilayah Candikuning kala itu dikenal sebagai daerah yang angker, penuh dengan makhluk halus yang sering mengganggu masyarakat. Dengan kesaktian yang dimiliki, Habib Umar berhasil menundukkan makhluk-makhluk tersebut, menciptakan ketentraman, dan membuka jalan untuk menyebarkan ajaran Islam. Ia bahkan mendirikan sebuah kerajaan kecil yang dikenal sebagai Kerajaan Beratan dan diangkat sebagai rajanya dengan gelar Syekh Maulana Raden Hasan.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Fitnah dan adu domba mulai menghantui kerajaan, memaksa Habib Umar untuk mencari petunjuk. Ia memutuskan untuk bersemedi di puncak Bukit Tapak, bersama tiga muridnya, dan tidak pernah kembali ke Desa Candikuning
Penemuan makam Wali Pitu bermula pada tahun 1917, ketika ayah Fahridin tengah mencari kayu rotan di hutan Bukit Tapak.
“Dalam keadaan tersesat, istilah Balinya paling, ia menemukan gundukan tanah dengan nisan tidak bernama, yang diyakini sebagai makam Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghribi dan murid-muridnya,” ucap Fahridin.

Fahridin | Foto: Prayoga
Pada tahun 1975, makam ini mulai dibangun menjadi tempat ziarah orang-orang Muslim yang tinggal di Bali, bahkan di luar Bali. Seiring waktu, bangunan makam mengalami renovasi. Pada tahun 2015, Fahridin bersama pemuda-pemuda setempat dan orang-orang dari Desa Pegayaman memperbaiki makam tersebut. Bangunan baru ini berukuran sekitar 9,5 x 9,5 meter, dilengkapi ruang untuk umat Muslim bersembahyang, serta makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Habib Umar dan murid-muridnya.
Cerita ini menambah rasa kagum saya terhadap warisan spiritual yang ada di Bukit Tapak. Bukan sekadar mendaki puncak, tetapi juga menelusuri jejak sejarah. Sebuah pelajaran yang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat yang menyimpan makna mendalam, tersembunyi di balik lebatnya hutan dan puncak nan indah pula berkisah. [T]
Penulis: Arix Wahyudhi Jana Putra
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: