LELAKI itu jarang diperhatikan. Nyaris dilupakan. Padahal ia punya peran penting. Jika tak ada lelaki itu, barangkali prosesi dan euforia ogoh-ogoh saat malam pengerupukan menjelang Hari Nyepi tidak akan bisa jalan, atau setidaknya, jalannya tersendat-sendat.
Lelaki penting itu juga ada saat pengarakan ogoh-ogoh di Banjar Kelod Kauh, Desa Panji, Buleleng-Bali. Pada malam pengerupukan, Sabtu, 28 Maret 2025, saat mata semua orang tertuju pada ogoh-ogoh yang menjulang tinggi, lelaki itu mengambil peran tak biasa—peran atau tugas yang jarang mau diambil orang.
Lelaki itu membawa bambu sepanjang empat sampai lima meter. Bambu itu ia bawa ke sana kemari. Ia berada di depan. Ia harus mendahului jalannya ogoh-ogoh.
Jika tak jalan di depan, ogoh-ogoh tak bisa jalan. Jika belum beraksi, ogoh-ogoh bisa macet.
Ia adalah lelaki penjolok kabel. Atau di Banjar Kelod Kauh, Desa Panji, lelaki itu biasa disebut “tukang tunjuk kabel”. Lelaki itu, dengan bambu di tangan, bertugas untuk menyangga kabel listrik, kabel telepon, kabel internet, dan segala jenis kabel, yang melintang rendah, untuk kemudian ditinggikan, agar ogoh-ogoh bisa lewat.
Bambu panjang memang digunakan untuk menyangga kabel yang berserakan dan sembraut di atas kepala. Agar ogoh-ogoh bisa lewat dengan lancar. Diarak keliling desa. Dan orang-orang bersorak.
Ogoh-ogoh yang Tinggi, Kabel yang Rendah dan Semrawut
Di banyak daerah di Bali, kini ogoh-ogoh selalu dibuat lebih besar dan lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya. Tak hanya jadi seni dan budaya, kini ogoh-ogoh seakan jadi penanda kewibaan sebuah banjar dan sekaa teruna. Semakin besar ogoh-ogohnya, semakin tinggi ukurannya, sepertinya kewibawaan banjar dan sekaa teruna akan semakin tinggi. Sehingga, ogoh-ogoh dibuat besar dan tinggi. Paling besar atau paling tinggi, itu membanggakan.
Semakin tinggi ini ternyata juga jadi persoalan. Ogoh-ogoh semakin sulit diarak. Bukan karena semakin berat, tapi semakin ribet jalannya. Kalau urusan berat, itu masalah ringan bagi pemuda desa. Mereka sedang garang-garangnya menunjukkan kekuatan. Mereka akan dengan mudah bisa mengangkatnya dan mengaraknya sampai jauh.

Laki-laki penjolok kabel selalu berada di depan ogoh-ogoh | Foto: Gading Ganesha
Ini tentang persoalan di atas kepala. Tentang kabel-kabel yang dipasang begitu rendah, membentang melintasi jalan. Ini menyulitkan para pengarak ogoh-ogoh. Seperti kabel untuk internet itu. Kabel fiber optik ini dipasang hanya setinggi tiga sampai empat meter di atas aspal jalan. Menjuntai di pinggir jalan, di tengah jalan dan bahkan menyilangi jalan.
Di sinilah peran pembawa bambu penyangga kabel jadi penentu. Berada di depan memantau kabel-kabel yang merintangi jalan ogoh-ogoh. Begitu ada yang menghambat, lelaki penjolok kabel itu akan bergerak. Lelaki itu tak hanya satu, bisa dua, sampai tiga. Mereka akan bergerak tanpa komando—meninggikan kabel agar ogoh-ogoh bisa lewat.
Setelah ogoh-ogoh lewat, para lelaki itu mesti berlari ke depan melewati ogoh-ogoh, melewati kerumunan. Menyiagakan diri. Tak jarang bambunya tersangkut di ranting pohon di pinggir jalan. Begitu seterusnya hingga ogoh-ogoh bisa sampai di tempat tujuan.
Bambu penyangga atau “tunjuk kabel”, begitu pemuda Desa Panji menyebutnya, dibuat dari bambu yang sudah matang, warnanya menguning, kering dan keras. Tingginya sampai lima meter. Di bagian atas didesain sedemikian rupa, agar mampu menahan beban kabel. Berjalan dengan bambu sepanjang itu tentu sukar dilakukan.
Lebih Suka Mengarak Ogoh-ogoh Ketimbang Bawa Bambu Panjang
Gede Tirta, adalah salah satu lelaki penjolok kabel itu. Pemuda dari Banjar Kelod Kauh Desa Panji itu menuturkan, tangannya bahkan sampai keram membawa bambu itu sepanjang rute ogoh-ogoh.
Perjalanan memutari banjar memang cukup jauh. Ditambah kini kabel yang mesti ditunjang sangat banyak. “Kabel wifinya hampir di setiap rumah di pinggir jalan. Jalan sedikit harus berhenti mengangkat kabel,” ujarnya.
Tirta menambahkan, ia dan teman-temanya bergantian. Kadang ia bergiliran dengan pemuda lain, tapi begitu teman-temannya dilihat mengarak ogoh-ogoh, pemuda itu maunya angkat ogoh-ogoh juga. Tak banyak yang mau, karena mereka lebih suka mengarak ogoh-ogoh.
“jadi kami bergiliran dengan pemuda yang lebih senior saja. Yang senior biasanya ambil peran ini. Biar pengarakan tetap berjalan lancar,” kata Tirta penuh bijaksana.

Gede Tirta | Foto: Gading Ganesha
Selain butuh fisik yang prima, petugas penyangga kabel nyatanya juga butuh kedewasaan diri. Pekerjaan yang melelahkan dan tanpa sorotan. Orang-orang hanya fokus menyaksikan pengarak ogoh-ogoh, pemain baleganjur dan penari.
Melihat begitu banyak kabel yang berserakan dan sembraut, tidak salah jika menyebut Gede Tirta dan para pembawa bambu “tunjuk kabel” ini sebagai man of the match.
Dalam sepak bola, man of the match diberikan kepada pemain yang berperan penting dalam kemenangan atau penampilan maksimal tim. Pemain yang berhak mendapatkan predikat ini biasanya adalah pencetak gol penentu, pencetak gol terbanyak, kiper yang melakukan penyelamatan penting, pemain yang berperan penting dalam penyerangan atau pertahanan.
Pada malam pengarakan ogoh-ogoh itu, pemuda pembawa bambu “tunjuk kabel” ini layak diberi penghargaan. Mereka memiliki peran penting memastikan tim pengarak ogoh-ogoh dapat berjalan dengan lancar, mengikuti parade dan mengelilingi desa, disaksikan warga desa dengan antusias di hari pengerupukan.
Sementara untuk pemasang kabel-kabel itu patutnya sadar diri. Meski berada di atas, kudu dipasang dengan memperhatikan etika dan estetika. Parade ogoh-ogoh akan ada setiap tahun. Tetapi para pemuda seperti Gede Tirta dan teman-temannya belum tentu ada setiap tahun, mau jadi pembawa tunjuk kabel di setiap malam sebelum Nyepi. [T]
Penulis: Gading Ganesha
Editor: Adnyana Ole