KAMIS Umanis Sinta, 13 Februari 2025, sehari menjelang hari Kasih Sayang (Valentine Day), adalah hari pertama Nyejer Pujawali di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung Desa Adat Kutuh, Gumi Delod Ceking. Pujawali yang jatuh pada Purnama Sasih Kawulu, pada 2025 menjadi istimewa bersamaan dengan Buda Kliwon Sinta (12 Februari 2025) yang disebut Pagerwesi. Ida Bhatara nyejer selama tiga hari sampai Sabtu Pon Sinta, 15 Februari 2025.
Nyejer hari pertama menjadi menarik dan meriah karena Sekaa Unen Jaba Bualu ngaturang ayah mapajar di Madya Mandala Pura. Menarik karena mampu merapatkan barisan para pemedek terkonsentrasi di panggung yang disebut kalangan tanpa rangki. Pemedek menikmati tontonan dan tuntuan sambil melepas rutinitas kerja dengan tekanan yang kadang membuat bad mood.
Meriah karena banyaknya pemedek dura desa (luar Desa Adat Kutuh) yang tangkil ngaturang bakti selain dari Sekaa Unen Jaba Bualu juga dari luar Sekaa Unen. Semua persembahan dari Sekaa Unen Jaba Bualu gratis dan pemedek bebas memotret dari berbagai angle untuk diberitakan di Media Sosial masing-masing. Kemeriahan dan kemenarikannya menembus batas ruang dan waktu, sekala niskala (nyata dan maya).



Sekaa Unen Jaba Bualu mapajar di Madya Mandala Pura Gunung Payung (13/2/2024)
Begitulah prosesi berkesenian di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung berlangsung secara turun – temurun sebagai seni persembahan yang menjadi cikal bakal turunnya taksu dari Kahyangan kepada penari yang mendapat fulung ketakson. Itulah sebabnya, ketika selesai ngodak pelawatan sebagai Pralingga Ida Bhatara, prosesi pasupati dilakukan dengan ngerehang pada saat hari baik (suba dewasa) tengah malam di tempat sepi keramat dengan lampu-lampu dimatikan. Ngerehang itu adalah proses penyepuhan untuk memperkuat sinar taksu di tengah gelap malam, tak ubahnya masuk ke goa peteng di dalam dan di luar diri.
Goa Peteng di dalam diri adalah goa gue (jagat alit, mikrokosmos), sedangkan goa peteng di luar diri adalah Goa Duwe (jagat agung, makrokosmos). Sinar taksu adalah mempersatukan sinar di dalam dengan di luar melalui ritual banten penyadaran. Prosesnya tidak instan, tetapi melalui tahapan dengan langkah-langkah metodik didaktik berdasarkan pendekatan desa kala patra. Pendekatan ini adalah kearifan lokal yang visioner menembus batas ruang dan waktu. Hal itu lahir melalui proses renungan mendalam (kontemplasi) saat sepi di malam gelap, segelap Goa Peteng tempat yang djadikan taman usadha (terapi Kesehatan) melalui proses malukat.
Begitulah ketika Sekaa Unen Jaba Bualu mapajar di Pura Gunung Payung, tiba-tiba saja saya kembali teringat Goa Peteng di Banjar Cengiling Jimbaran. Memang secara historis, Pura Goa Peteng dan Pura Gunung Payung adalah jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha dengan status Pura Dang Kahyangan. Yang berbeda, Gunung Payung di atas tebing (ngampan) sedangkan Goa Peteng di tegalan abian rada tersembunyi. Persamaannya, keduanya memiliki sumber air (Tirta) yang ajaib. Gunung Payung di Kubung Patirtan di bawah pohon awar-awar, Goa Peteng di sela-sela siagan sungai kecil di bawah tanah yang airnya mengalir jernih, konon terhubung dengan Uluwatu.
Di Kubung Patirtan Gunung Payung terdapat Patung Dang Hyang Dwijendra dekat pohon awar-awar, begitu pula di Goa Peteng terdapat patung beliau, di bawah pohon beringin yang rimbun dengan ranting-ranting menjulur ke tanah. Terkesan Magis. Lalu, hubungan Hindu – Buda juga tampak baik di Pura Gunung Payung maupun di Pura Goa Peteng, seperti juga di Pura Goa Gong dan Pura Batu Pageh. Itu artinya jejak Siwa – Buda terpatri sejak dulu, zaman ilu. Lebih-lebih jika memerhatikan Sekaa Unen dengan Barong Landung yang biasanya ngaturang ayah di Pura Karang Boma saat Tumpek Landep.
Jika ditarik lebih lanjut, ke teks sastra tentu bisa diapresiasi melalui geguritan Sampik Ingtay. Lalu, jika kita buka halaman budaya Bali yang lain jejak juga ditemukan di Pura Dalem Balingkang dan Pura Batur. Jika kita buka dunia perdagangan, jelas hubungan Bali – Cina berelasi melalui alat jual beli uang kepeng (pis bolong) yang sampai kini dilestarikan penggunaannya dalam ritual upacara, walaupun pis bolong-nya kini banyak yang palsu. Belum lagi, dari segi tarinya, Baris Cina di Sanur dan Renon Kota Denpasar. Peninggalan Konco tertua Budha di Gumi Delod Ceking ada di Desa Adat Tanjung Benoa.
Cina dengan Agama Buda-nya tampaknya sudah mengintai Bali sejak zaman ilu dan berakulturasi dengan budaya setempat, bahkan sampai ke tempat yang paling gelap sekali pun. Mencari terang di tempat gelap, di Goa Peteng melalui jalan berbatu melewati abian yang kering kerontang pada musim kemarau. Hijau memukau kala musim hujan, bisa bertemu pengangon di dalam perjalanan. Keroncongan sapi adalah musik hiburan tradisi agraris mengiringi perjalanan menuju pendakian spiritual yang tidak mudah, perlu kesadaran matahari dengan kesabaran ibu pertiwi. Begitulah perjalanan menuju Pura Goa Peteng sebagai tempat melakukan terapi kesehatan secara alami.
Dengan memerhatikan tipikal manusia Hindu Bali yang tidak memiliki budaya berwisata, eksplorasi pengalaman religius di Gumi Delod Ceking bisa menjadi pilihan wisata spiritual dengan Tirtayatra berfokus pada lokus Goa-Goa yang berdekatan dengan medan eksotik bin cantik memantik alam pikiran untuk kreatif inovatif. Kesegaran udara dan kealamian goa tanpa polesan adalah tinggalan peradaban purba zaman mesolitikum. Secara historis, masa itu adalah peradaban zaman berburu, hidup berpindah-pindah secara nomaden dari goa ke goa. Mulut goa yang sempit dengan lambung goa yang besar menampung sampai puluhan bahkan ratusan pemedek. Pengandaian goa gue sebagai mikrokosmos dengan Goa Duwe sebagai makrokosmos menjadi relevan.

Pura Goa Peteng Cengiling Jimbaran Gumi Delod Ceking
Dalam konteks pariwisata kini, goa-goa ini perlu dijelajah sebagai destinasi wisata minat khusus. Bagi umat Hindu Bali, menjelajah goa-goa di Gumi Delod Ceking adalah menjelajah goa gue. Menjelajah ke tengah rimba diri yang juga dipenuhi oleh binatang buas yang agresif (rajas) dan binatang kemalasan (tamas) yang perlu dikendalikan dengan pegangan ajaran agama (satwam). Untuk itulah, Goa Peteng seyogyanya menjadi goa pencerahan walaupun melalui perjalanan yang melelahkan. Namanya juga wisata spiritual minat khusus : khusus bagi mereka yang ingin menjinakkan ternak-ternak dalam diri dengan masuk ke goa-goa yang terhubung satu sama lain. Lalu, bertemu di Pura Goa Peteng Alam Tunjung Mekar sebagai mana terpatri di pintu masuk candi. Menemukan tunjung mekar di dalam goa gue, di padma hrdaya, sebagai pusat gravitasi kesadaran.
IBG Agastia (1987) menyebutnya berpaling ke dalam diri-sendiri setelah melalui proses penjelajahan teks dari karya Jawa Kuno (Wyasa, Walmiki, Tantular, Nirartha, Ranggawasita) hingga pengarang modern seperti Shakespeare. Tulis Agastia, “Penciptaan dunia dimulai di dalam diri manusia sendiri. Pada mulanya semua merupakan kegelapan ; kemudian terbit cahaya dan dipisahkan dari kegelapan…Cahaya itu senantiasa dipersamakan dengan kebenaran dan kebebasan”.
Senada dengan statemen itu, mencermati penyupatan dua ular naga oleh Dang Hyang Nirartha yang melapangkan jalannya menuju Goa Gong, maka Goa Peteng adalah Goa Pencerahan. Menemukan jalan titik terang di tengah kegelapan Goa Peteng. Sangatlah logis bila Goa Gong adalah Pusat Perguruan (Pasraman) Tinggi Rohani tempo doeloe melengkapi goa-goa di Gumi Delod Ceking sebagai goa bertuah. Sinarnya melesat sampai ke ujung dunia, diminat orang segala negeri, termasuk dari Negeri Cina. Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina, barangkali perlu dikoreksi menjadi tuntutlah ilmu sampai ke Gumi Delod Ceking. Menemui sang diri di goa gue.
Begitulah Goa Peteng menjadi penanda penting bagi peningkatan kualitas diri manusia Bali sejak dulu, kini, dan nanti. Pasangan Gubernur Bali terpilih (Koster-Giri) dengan visi Sat Kerthi Loka Bali tentu berkesempatan untuk memproteksi tinggalan-tinggalan goa-goa itu agar situs-situs penuh ritus yang kudus itu tidak tercemar, apalagi sampai berpindah tangan ke investor. Jangan sampai terjadi. Oleh karena itu,menemui goa gue di Goa Duwe adalah menyadari goa peteng diri untuk mohon pencerahan melalui prosesi malukat agar tis, dayuh menjalankan kehidupan menuju sehat lahir batin. Rahayu sekala niskala. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT